Mitos-mitos yang Dapat Membuat Anak Stres

Setiap orang akan terus mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya. Proses ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sekitar

oleh Liputan6 diperbarui 01 Des 2014, 19:00 WIB
Diterbitkan 01 Des 2014, 19:00 WIB
Mitos-mitos yang Dapat Membuat Anak Stres
Setiap orang akan terus mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya. Proses ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sekitar

Liputan6.com, Jakarta Setiap orang akan terus mengalami proses perkembangan dalam kehidupannya. Proses ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Pada usia kanak-kanak, pengaruh paling besar datang dari keluarganya khususnya orangtua. Selanjutnya, saat memasuki masa pendidikan formal, guru akan menjadi pihak yang juga ikut memberikan pengaruh penting dalam perkembangan anak. Berbeda dengan orang dewasa,pengaruh orangtua dan guru kepada anak bersifat khusus karena dalam banyak hal, anak akan sangat menggantungkan dirinya kepada kedua sosok tersebut.

Karena adanya ketergantungan anak pada orangtua dan guru, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa dalam hampir semua aspek perkembangan kehidupan anak, orangtua dan juga gurulah yang akhirnya menjadi penentunya. Mulai dari aspek perkembangan fisik, biologis, motorik, kognitif, sosial, dan psikologis. Berkaitan dengan hal ini, dapat dipahami juga jika pada akhirnya kondisi anak berhubungan sangat erat dengan keyakinan yang dimiliki orangtua dan guru mengenai apa yang seharusnya dialami dan dicapai anak. Yang perlu diperhatikan adalah munculnya berbagai mitos tentang anak yang saat ini secara diam-diam atau pun terang-terangan menjadi keyakinan orangtua dan guru yang berpotensi membuat anak mengalami masalah tekanan psikologis. Mitos-mitos tersebut antara lain adalah:

Semua anak sama

1. Semua anak adalah sama

Mitos pertama adalah adanya keyakinan bahwa semua anak adalah sama. Pandangan ini akan berdampak pada pengabaian fakta bahwa setiap anak adalah pribadi yang unik bahkan meskipun mereka adalah anak kembar identik. Akibat yang ditimbulkannya akan menjadi kurang positif bagi anak karena mereka akan dituntut dan diperlakukan dengan cara sama baik ketika di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah. Seperti gambaran mengenai barang dengan kualitas sama yang diproduksi dalam pabrik, anak juga dipandang dengan cara seperti itu. Dalam sehari-hari , mitos ini membawa pada sikap orangtua dan guru yang cenderung membandingkan satu anak dengan yang lain dan menuntut anak menjadi serupa dengan anak lain. Misalnya saja tuntutan pada anak yang memiliki minat pada bidang yang mungkin secara sosial dipandang kurang populer untuk menyukai bidang lain yang lebih populer atau bergengsi.

Semua anak harus jadi rangking satu

2. Semua anak harus menjadi ranking satu

Mitos kedua berhubungan dengan capaian prestasi anak baik dalam bidang akademis maupun non-akademis. Meskipun banyak sekolah mulai menghapuskan pencatuman ranking, namun pembicaraan mengenai ranking anak menjadi salah satu topik yang paling banyak dilakukan di kalangan orangtua khususnya sesudah masa penerimaan rapor. Bagi banyak orangtua, rangking tinggi adalah kebanggaan yang dapat membawa mereka pada posisi sosial tertentu sehingga mereka menekankannya sebagai sebuah capaian penting yang harus diusahakan anak. Kenyataannya, kemampuan inteligensi anak sangat variatif sedangkan area akademis di sekolah sangatlah terbatas dan tidak mencakup area yang luas. Oleh karenanya, akan banyak anak yang sebenarnya berbakat di bidang tertentu namun bidang tersebut tidak termasuk dalam area akademis yang dijadikan materi ujian di sekolah. Akibatnya, anak-anak dengan kemampuan seperti ini akan berada pada ranking rendah sehingga dianggap kurang berprestasi.  Di sisi lain, pandangan bahwa semakin tinggi ranking maka akan menjadi jaminan anak sukses di masa depan juga tidak sepenuhnya benar. Kesuksesan individu pada kenyataannya juga dipengaruhi oleh berbagai aspek lain misalnya kemampuan manajemen diri, daya tahan, kemampuan manajemen emosi, kemampuan sosial, dan sebagainya.

Makin cepat selesaikan sekolah lebih baik

3. Semakin cepat anak menyelesaikan sekolah akan semakin baik

Mitos ketiga adalah adanya keyakinan bahwa semakin cepat anak menyelesaikan sekolahnya maka akan semakin baik. Oleh karenanya, selain banyak orangtua yang mulai memasukkan anak di usia yang relatif masih sangat muda, banyak juga orangtua yang berlomba-lomba menuntut anak menyelesaikan sekolahnya dalam waktu singkat. Kelas akselerasi pun menjadi program yang sangat populer dan menjadi kebanggaan. Faktanya, pendidikan adalah sebuah proses yang tidak dapat bergitu saja dipercepat atau dipaksakan dengan melanggar tahap perkembangan individu. Jika ini dilakukan, mungkin memang akan dicapai hasil yang segera terlihat misalnya lulus dalam waktu cepat atau meraih nilai yang tinggi. Namun demikian, ada potensi munculnya efek negatif karena tidak dikelolanya aspek yang lain misalnya aspek pengelolaan emosi, kemampuan sosial, dan sebagainya. Dengan tidak dikelolanya aspek-aspek ini, maka sangat mungkin di masa depan, meskipun memiliki prestasi dan capaian akademis relatif baik, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bermasalah baik dengan dirinya maupun dengan lingkungan sosialnya

Makin banyak materi makin baik

4. Semakin banyak materi dan ketrampilan yang dikuasai anak maka akan semakin baik

Mitos keempat adalah adanya keyakinan dari orangtua dan guru bahwa semakin banyak materi dan ketrampilan yang dikuasai anak maka akan semakin baik. keyakinan ini mendorong banyak orangtua berlomba-lomba menuntut anak menguasai materi dan ketrampilan sebanyak mungkin. Tidak cukup dengan apa yang menjadi tuntutan di sekolah, anak dibebani dengan berbagai beban tambahan untuk menguasai materi dan ketrampilan lain lewat berbagai les dan pelajaran tambahan di luar sekolah. Selain menimbulkan potensi adanya tekanan dalam hidupnya, kenyataannya, kesuskesan hidup seseorang tidak dipengaruhi oleh seberapa banyak dia menguasai dan mengetahui sesuatu namun seberapa dalam pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya tersebut. Sudah menjadi hukum alam bahwa semakin banyak orang mengetahui dan memiliki ketrampilan melakukan sesuatu maka akan semakin dangkal pengetahuan dan ketampilan yang dimiliknya tersebut. Sebaliknya orang akan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang lebih dalam jika dia mampu membatasi jumlahnya. Intinya adalah fokus dan mendalami suatu jenis pengetahuan dan ketrampilan tertentu akan lebih baik dibanding mengetahui dan melakukan banyak hal namun hanya sekedar pengetahuan dan ketrampilan yang dangkal.

Y. Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya