Banyak yang Pro Rokok di Pemerintahan Jokowi

Permasalahan penyakit akibat rokok sepertinya masih dianggap bukan prioritas di Indonesia.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 28 Mei 2015, 16:33 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2015, 16:33 WIB
Ilustrasi Rokok 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Rokok 4 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Permasalahan penyakit akibat rokok sepertinya masih dianggap bukan prioritas di Indonesia. Bagaimana tidak, setelah sempat mendapat dukungan untuk aksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari beberapa Kementerian tahun lalu, kini aturan ini hanya menjadi isapan jempol belaka.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Kartono Mohammad mengatakan, Indonesia mengalami kemunduran di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Kalau dulu, presidennya yang tidak mau aksesi FCTC. Sekarang semua Kementerian sepertinya tidak mau. Langkah mundur ini disusul dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan yang tidak perlu namun lolos ranah DPR. Jadi sekarang tinggal menunggu keputusan Presiden," katanya pada wartawan di acara `Konferensi Tembakau atau Kesehatan Indonesia (ICTOH) 2015` di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (28/5/2015).

Padahal menurut Kartono, semua fakta, bukti dan data, jelas-jelas menunjukkan kerugian tembakau dari berbagai aspek. "Lihat saja, dana BPJS akan habis bila jumlah perokok tidak diturunkan."

Data Kementerian Kesehatan mencatat, merokok merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti stroke, kardiovaskular, Diabetes dan hipertensi. Proporsi kematian akibat PTM ini di Indonesia juga terus meningkat dari 50,7 % di 2004 menjadi 71 % di 2014. PTM juga menyebabkan beban ekonomi sebesar 4,47 triliyun dolar AS atau sekitar 17.863 dollar AS per kapita 2012-2030.

Mirisnya, jumlah perokok wanita dan usia muda meroket tajam. Riskesdas mencatat, proporsi perokok pemula (10-14 tahun) mengalami kenaikan pesat dari 2010-2013 sebesar 6,2 persen. Sedangkan usia 15-19 tahun khususnya perempuan merokok meningkat 10 kali lipat. Pada 2013 saja, diperkirakan ada 6,3 juta wanita Indonesia yang merokok dan dikaitkan dengan risiko melahirkan anak dengan bayi berat lahir rendah (BLBR) dan segala risiko penyakit saat dewasa.

Lintas Sektor

Masalah Lintas Sektor

Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Nila Moeloek beranggapan, FCTC adalah masalah lintas sektor sehingga pendekatan ke Kementerian lain masih diperlukan untuk mengaksesi FCTC.

"Masih belum, kita butuh dukungan dari lintas sektor. Kita mau menyelamatkan anak muda, meningkatkan SDM berkualitas termasuk meningkatkan kesehatan. Tapi masih kita bicarakan untuk FCTC," kata Menkes.

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto beberapa waktu lalu juga sempat menyatakan, hingga saat ini posisi pemerintah masih pada sikap yang sama, yaitu tidak menandatangani FCTC. Alasannya, FCTC hanya akan mengancam keberlangsungan industri rokok di Indonesia.

Sebelumnya, Indonesia terus dikucilkan negara-negara lain karena menjadi satu-satunya negara Asia yang belum mengaksesi FCTC. Sejumlah pihak menilai, FCTC akan mengganggu penghasilan para petani tembakau.

Namun hal ini telah dibantah langsung oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tiga produsen daun tembakau tertinggi dunia yakni Cina, Brazil dan India mengakui kalau produksinya tidak menurun setelah ikut serta FCTC.

FCTC sendiri merupakan perjanjian yang dibuat oleh sejumlah negara termasuk Indonesia pada World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia yang terdiri dari Negara-Negara anggota WHO) pada 1996. Namun dalam fase penandatanganan pada 16 Juni 2003 -29 Juni 2004, Indonesia justru belum mau terlibat. Sehingga pada 27 Februari 2005, hanya 40 Negara yang sepakat meratifikasi FCTC.

"FCTC merupakan komitmen global yang diadopsi ke hukum nasional. Tujuannya bukan untuk mematikan petani, pekerja atau buruh. Melainkan melindungi generasi muda dari dampak kesehatan, sosial dan ekonomi. Penggunaan tembakau di satu negara dapat menyebabkan kerugian negara," ungkap National Profesional for Tobacco Free Initiative, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dina Kania beberapa waktu lalu.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya