Memilihkan Sekolah yang Baik untuk Anak

Kesibukan orangtua dalam membantu anaknya sebagai siswa baru dapat menjadi salah satu indikator kepedulian para orangtua

oleh Liputan6 diperbarui 05 Agu 2015, 06:30 WIB
Diterbitkan 05 Agu 2015, 06:30 WIB
3 Alasan Mengapa Libur Lebaran Menyenangkan Bagi Anak Sekolah
Anak sekolah mana yang nggak menyukai libur lebaran? :D

Liputan6.com, Jakarta Tahun ajaran baru telah dimulai. Ribuan anak di segenap penjuru nusantara pada waktu yang kurang lebih bersamaan baru saja menyandang status sebagai siswa baru di berbagai jenjang pendidikan. Segera sesudah menyandang status sebagai siswa baru, dimulailah proses pembelajaran yang membutuhkan banyak biaya, energi, waktu, dan pemikiran. Proses yang harus dijalani seringkali tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tidak hanya para siswa baru sendiri yang  energi dan waktunya terkuras saat menjadi siswa baru. Banyak orangtua siswa baru pun yang kemudian juga ikut menjadi sibuk membantu anak-anaknya melakukan berbagai persiapan di sekolahnya yang baru.

Kesibukan orangtua dalam membantu anaknya sebagai siswa baru dapat menjadi salah satu indikator kepedulian para orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya. Hal ini dapat dimengerti karena bagi orangtua, salah satu fokus utama dalam konteks tugas sebagai orangtua adalah menjamin anak-anaknya mendapatkan sekolah yang baik.

Pertanyaannya adalah seperti apakah sekolah yang baik? Apakah sekolah yang baik dapat dilihat dari gedungnya yang besar? Apakah sekolah yang baik dapat dilihat dari biayanya yang semakin mahal? Sekolah yang baik semestinya adalah sekolah yang dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran para siswanya. Lalu bagaimanakah indikator dari keberhasilan proses belajar? Apakah keberhasilan proses belajar dapat dilihat dari tingginya ranking akademis anak? Apakah keberhasilan proses belajar dapat disimpulkan dari semakin cepatnya anak menyelesaikan masa sekolahnya?

Empat pilar

Empat Pilar

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu bertanya mengenai apakah belajar itu. UNESCO mengagas empat pilar pembelajaran yakni learn to know, learn to do, learn to be, dan learn to live together (Marinova & McGrath, 2004). Apa yang disampaikan UNESCO sebagai suatu pilar pembelajaran tampaknya cukup lengkap. UNESCO berusaha mengembangkan aspek kehidupan dalam diri anak didik secara keseluruhan. Anak tidak hanya dididik menjadi individu yang memiliki pengetahuan dan kecakapan namun juga menjadi individu yang memiliki identitas dan konsep diri yang kokoh. Pada akhirnya proses pembelajaran semestinya dapat menjadikan individu memiliki kemampuan untuk hidup bersama orang lain dan menjadi bagian dari suatu masyarakat.

Sayangnya, tidak semua sekolah menyadari pentingnya mendorong pembelajaran anak didiknya dalam semua aspek belajar seperti yang di gagas oleh UNESCO. Banyak sekolah sebenarnya sudah memaparkan berbagai aspek belajar yang perlu dipelajari secara utuh oleh anak didiknya. Akan tetapi, ternyata banyak yang hanya berhenti pada paparan berupa promosi, dokumen, jargon, dan pengumuman. Pada pelaksanaannya, hanya sebagian aspek saja yang diperhatikan dan menjadi fokus dengan menginggalkan aspek lainnya.

Padahal jika hanya mengolah aspek tertentu dalam pembelajaran, anak akan tumbuh baik di satu sisi namun menjadi lemah di sisi lain. Yang sekarang ini cukup memperihatinkan adalah munculnya individu-individu yang pandai dan cakap namun ternyata tidak mempunyai kemampuan yang baik dalam kehidupan sosial dan bahkan menjadi benalu yang menggerogoti kehidupan bersama dalam masyarakat misalnya dengan melakukan plagiasi dan korupsi.

Referensi

Referensi

Dengan merujuk pada empat pilar pembelajaran yang diungkapkan oleh UNESCO ini, orangtua dapat menggunakannya sebagai referensi cara memilih sekolah bagi anak-anaknya. Misalnya saja orangtua patut berpikir kritis saat ada lembaga pendidikan yang meskipun jargon yang dipakai untuk mendidik anak tampak bagus dan lengkap namun pada pelaksanaannya hanya melakukan pembelajaran di salah satu aspek saja. Semua aspek dalam pembelajaran tersebut perlu diberi waktu dan ruang untuk diolah dan dikembangkan di sekolah dan bukan hanya diasumsikan saja dalam jargon-jargon sekolah.  

Kurikulum yang dibuat khususnya pada tingkat pendidikan pra sekolah, dasar, dan menengahperlu menampilkannya secara eksplisit dan menjalankannya. Misalnya saja untuk dapat menjadi warga masyarakat yang baik, individu perlu untuk diberi kesempatan untuk berlatih dan belajar dalam kehidupan nyata. Banyak latihan dan pembelajaran yang bisa dilakukan. Tidak hanya mau benar sendiri namun mau melihat sudut pandang orang lain, peka terhadap kebutuhan orang lain, mau memaafkan dan tidak mendendam, menghargai yang kalah saat jadi pemenang, dan berbesar hati serta mau menerima kenyataan saat kalah merupakan contoh-contoh latihan individu agar dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Dan sekali lagi kemampuan-kemampuan ini butuh waktu dan proses pembelajaran yang serius agar dapat dicapai oleh anak-anak di usia sekolah dan bukan hanya terpampang dalam jargon atau papan tempel di sekolah-sekolah.

 

Yohanes Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma dan Pemilik PAUD Kerang Mutiara, Yogyakarta

 

Referensi

Marinova, D., & McGrath, N. (2004). A transdisciplinary approach to teaching and learning sustainability: A pedagogy for life. Seeking Educational Excellence. Retrieved from http://otl.curtin.edu.au/events/conferences/tlf/tlf2004/marinova.html

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya