Liputan6.com, Jakarta Perceraian bukanlah berita yang sulit ditemukan saat ini. Fenomena ini mudah ditemukan pada kalangan yang tidak dikenal hingga tokoh publik. Jika di masa lalu, banyak pasangan suami istri yang berusaha menutup-nutupi perceraian mereka karena masih dipandang sebagai aib, maka sekarang ini, kisah mengenai perceraian banyak diobral.
Ironisnya lagi, pada banyak tokoh publik, kasus perceraian justru sering menjadi alat mendongkrak popularitas.
Apa alasan pasangan yang sudah menikah pada akhirnya memutuskan bercerai? Secara umum, ada banyak alasan yang dikemukakan. Yang paling banyak adalah merasa sudah tidak ada kecocokan lagi. Alasan lain, perilaku pasangan yang dianggap sudah tidak dapat ditolerir lagi. Misalnya melakukan kekerasan atau perselingkuhan.
Advertisement
Jika dilihat lebih mendalam lagi, ada sebuah alasan mendasar mengapa banyak terjadi perceraian di zaman sekarang. Alasan tersebut adalah meningkatnya harapan individu terhadap segala hal, termasuk di dalamnya harapan terhadap kualitas pribadi pasangan hidupnya.
Di sisi lain, mendapatkan pasangan yang memiliki kualitas pribadi seperti diharapkan semakin tidak mudah. Menemukan calon pasangan ideal misalnya dengan menunjukkan kualitas pribadi berupa setia, bertanggung jawab, dan mau bekerja keras pada zaman sekarang bukanlah hal gampang.
Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama adalah budaya hedonis, instan, dan konsumtif yang melanda masyarakat kita, dan seakan tanpa dapat dibendung. Budaya-budaya tersebut membuat banyak orang menjadi semakin memikirkan diri sendiri.
Kecenderungan memikirkan diri sendiri ini kemudian akan membuat orang-orang tersebut menjadi semakin serakah, rakus, dan ingin serba gampang.
Baca Juga
Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah saat orang-orang tersebut menjalin relasi, termasuk relasi dekat dengan orang lain ketika mereka menjadi seorang suami atau istri.
Bukannya berpikir untuk kepentingan bersama, mereka hanya menjadikan relasi dengan pasangannya sebagai alat untuk dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya, dan tidak memikirkan kebutuhan pasangannya.
Alasan kedua adalah semakin rapuhnya keluarga-keluarga yang bertanggungjawab, membentuk individu semenjak masa kanak-kanak untuk menjadi pribadi berkualitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa akan menjadi seperti apa kepribadian individu, sebagian besar tergantung dari bagaimana proses pembentukan yang terjadi dalam keluarga. Proses pembentukan dalam keluarga meliputi pengasuhan, model, dan pembelajaran.
Proses ini membutuhkan kondisi stabil. Adanya berbagai pergeseran nilai dan apa yang dianggap penting dalam banyak keluarga di zaman sekarang, menggoncang kondisi stabil tersebut.
Dengan alasan mengejar kepentingan ekonomi dan gaya hidup, banyak orangtua yang mengalokasikan sebbagian besar waktunya untuk pekerjaan, sehingga semakin sedikit waktu yang diberikan untuk anak dan keluarganya.
Relasi-relasi yang buruk dalam keluarga, misalnya dengan semakin banyaknya kekerasan dalam rumah tangga, affair, dan perceraian orangtua, juga akan berpengaruh buruk pada pembentukan kepribadian anak-anak yang ada di dalam keluarga tersebut.
Menghadapi masalah-masalah ini, pasangan yang telah memutuskan untuk menikah perlu melakukan langkah-langkah antisipasi agar tidak mudah terseret dalam perceraian. Langkah pertama adalah meninggalkan kecenderungan untuk berpusat pada diri sendiri dalam hidup.
Saat seseorang memutuskan untuk hidup bersama orang lain, terlebih dalam ikatan yang sangat dekat yakni sebagai suami istri, kecenderungan memikirkan diri sendiri dapat menjadi ancaman bagi laju bahtera kehidupan rumah tangga.
Untuk menjadikan relasi dalam rumah tangga sebagai magnet positif, tidak ada pilihan lain selain mulai keluar dari diri dan mulai memperhatikan orang terdekat di luar dirinya, yakni suami dan anak-anaknya.
Daripada menuntut pasangan berubah, lebih baik mengubah diri sendiri terlebih dulu. Dengan mengubah diri sendiri lebih dulu, pasangan bisa saja kemudian akan berubah seperti yang kita harapkan.
Terkait dengan ini adalah berpandangan realistis. Pandangan realistis didasari oleh kemampuan menerima suatu kenyataan, termasuk kenyataan mengenai pasangan hidup meskipun terkadang kenyataan itu tidak sesuai harapan.
Orang yang sehat secara mental bukanlah mereka yang mampu mendapatkan semua yang diharapkan, namun mereka yang mampu menerima adanya berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan, dan tetap menjalani hidupnya dengan penuh makna.
Mereka yang mengalami masalah mental hingga menjadi orang yang terganggu secara kejiwaan, umumnya diawali dengan adanya harapan yang tinggi terhadap sesuatu. Namun ketika realita tidak menjadi seperti yang diharapkan, mereka tidak dapat menerimanya dan pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya.