Liputan6.com, Athens - Mengejutkan, ternyata 20 persen mahasiswa AS pernah melakukan serangan seksual berbagai jenis dan 4 persen pernah memperkosa, demikian menurut suatu penelitian yang diterbitkan oleh University of Georgia yang mengkaji kaitan antara narsisme dengan kejadian serangan seksual.
Baca Juga
Dikutip dari Science Daily pada Rabu (13/4/2016), penelitian itu mengungkapkan adanya kaitan kuat antara narsisisme patologis dengan perilaku serangan seksual. Hasil ini didapat setelah melakukan survei di antara 234 mahasiswa S1, terutama mahasiswa tahun pertama dan ke dua.
Temuan ini secara garis besar konsisten dengan sejumlah penelitian sebelumnya, kata pimpinan penulisan Emily Mouilso, yang adalah seorang asisten profesor klinis di jurusan psikologi Franklin College of Arts and Sciences.
Advertisement
Ia menjelaskan, orang yang menunjukkan ciri-ciri narsisisme patologis memiliki kesulitan membangun relasi dengan orang lain.
Sebaliknya, orang narsisis yang bukan patologis, bisa bermanfaat karena hal itu malah berwujud sebagai rasa percaya diri yang tinggi dan membuatnya lebih mudah bangkit dari kegagalan, kata salah seorang penulis Karen Calhoun, yang menjelaskan bentuk “sehat” suatu narsisisme.
Namun demikian, para peneliti tercengang melihat kaitan antara narsisisme dengan kejadian pemerkosaan. Kaum narsisis yang ringkih menunjukkan tingkat percaya diri yang tinggi namun sebenarnya merasa sangat tidak aman, kata Mouilso.
Penelitian itu mengungkapkan bahwa kaum pria dengan ciri-ciri narsisistik rentan akan lebih kerap menggunakan alkohol dan obat pembius untuk melemahkan korban sehingga temuan ini secara khusus menjadi keprihatinan di kampus, jelas Mouilso.
“Saya kira orang tidak membayangkan betapa jahatnya mabuk di kampus itu,” kata Calhoun. “Bukan sekedar masalah jumlah minuman keseluruhan yang membuat wanita mabuk, tapi seberapa banyak yang diminum pada suatu waktu, minum-minum keblinger, menjadi mabuk, dan tidak awas atau waspada terhadap lingkungan atau risiko yang ada. Hal ini sangat berisiko bagi wanita.”
Dua Teori tentang Alasan Pemerkosaan
Mouilso dan Calhoun menjelaskan hasil temuan ini dalam konteks suatu teori bahwa ada dua jalan umum yang akhirnya bermuara pada pemerkosaan.
“Jika produk akhirnya adalah tindakan pemerkosaan, ada lebih dari satu profil yang dapat membuat seseorang lebih mungkin melakukan serangan seksual,” kata Mouilso. “Salah satu alurnya adalah percabulan. Jadi orang yang memiliki minat seksual yang lebih tinggi dan dengan pasangan seksual yang lebih banyak, mereka lebih masa bodoh dengan seks sembarangan. Itu salah satu alur faktor risiko.”
“Alur ke dua adalah alur maskulinitas yang sengit. Hal ini lebih terkait kepada bagaimana seseorang memandang kaum wanita, jadi adanya orientasi sengit dan marah kepada kaum wanita pada umumnya dan melihat bahwa suatu hubungan sebagai pertarungan…lebih kepada: Apa yang bisa saya dapat dari orang ini sesuai yang saya mau? Saya tidak terlalu peduli tentang apa yang mereka mau.”
Wanita itu menjelaskan, orang bisa saja memiliki entah banyak atau sedikit faktor pada dua alur tersebut, namun jika seseorang memiliki dua-duanya, orang itu lebih berkemungkinan melakukan serangan seksual, demikianlah menurut teori yang ada.
Seorang narsisis merasa berhak mendapatkan apapun yang mereka mau, sehingga memudahkan mereka membenarkan perilaku mereka yang agresif dan terkadang melawan hukum, kata Mouilso.
Advertisement
Penelitian yang Lebih Umum
Banyak penelitian sebelumnya yang melibatkan pelaku serangan seksual yang sedang dihukum, yaitu kumpulan contoh pelaku yang mirip, sehingga menyulitkan membuat kesimpulan yang lebih umum pada populasi yang lain. Sampel mahasiswa yang dilibatkan oleh Mouilso dan Calhoun cukup mewakili populasi mahasiswa universitas besar di AS bagian tenggara.
“Dengan demikian penelitian ini membantu mengungkapkan sejumlah hal lazim pada profil kepribadian antara pria yang akhirnya dibui dengan pria yang bebas berkeliaran karena belum tertangkap.”
Pemikiran bahwa kebanyakan pelaku penyerangan seksual adalah seorang asing yang membekap wanita di lorong-lorong gelap tidaklah tepat, kata Mouilso.
“Lebih kecil kemungkinannya dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal,” katanya. “Lebih mungkin dilakukan oleh seseorang yang duduk di sampingmu di dalam kelas.”
Pandangan dalam masyarakat tentang bahaya orang tak dikenal membawa risiko karena orang-orang kemudian malah mencari-cari orang lain di tempat yang salah daripada orang-orang yang memiliki akses dan kesempatan yang lebih besar untuk melakukannya, kata para peneliti tersebut.
Angka persen mahasiswa pelaku serangan seksual memang beragam, tapi temuan ini menengarai bahwa “hanya persentase kecil kaum pria yang melakukan sebagian besar” serangan ini, sehingga hal tersebut memberi harapan kepada para peneliti.
“Jika kita bisa mencirikan mereka dan campur tangan dengan cara tertentu, hal itu akan memberikan harapan lebih baik untuk mencegahnya,” katanya.