Liputan6.com, Jakarta Kasus perselingkuhan semakin sering terdengar di kalangan masyarakat. Dahulu kala, hal ini masih dianggap tabu, namun kini sudah menjadi tindakan buruk yang terjadi setiap harinya dan berujung menjadi rahasia umum.
Ini merupakan fakta yang cukup ironis. Di satu sisi, sebagian besar dari kita mencita-citakan hubungan cinta berujung pernikahan. Akan tetapi, di sisi lain banyak dari mereka yang awalnya mendambakannya atau sudah berhasil meraih cita-cita tersebut justru tetap memilih untuk berselingkuh.
Baca Juga
Lantas, apa sebenarnya penyebab seseorang berselingkuh?
Advertisement
Liza M. Djaprie, seorang ahli psikolog, menyatakan sebabnya beragam. Mulai dari rasa tidak bahagia dalam hubungannya hingga selalu haus pujian, berikut penjelasannya secara psikologis.
1. Ketidakbahagiaan dalam hubungan
Banyak dari mereka yang berselingkuh didorong oleh satu alasan kuat, yaitu tidak bahagia atau gagal mendapatkan kepuasan dari pasangan. Orang-orang ini umumnya menaruh harapan terlalu tinggi dan percaya bahwa kemungkinannya untuk menjadi kenyataan lebih besar dibandingkan sebaliknya.
Pasalnya, ketika tidak sesuai dengan harapannya, ia akan merasa sangat kecewa dan percaya bahwa untuk mengobati luka sepenuhnya ia harus mendapatkan apa yang ia harapkan itu, meski harus mencarinya dari orang lain.
“Ada gap ekspetasi dia dengan realita yang terjadi dalam hubungannya yang membuat gap-nya jadi terlalu jauh. Sehingga pas dia ketemu orang lain yang bisa mengisi gap tersebut, akhirnya jadi perselingkuhan,” ujarnya saat dihubungi oleh Health-Liputan6.com, Rabu (28/9/2016).
2. Komunikasi yang kurang baik
Jika komunikasi di antara kedua pasangan tidak bagus, misalnya jika mereka sama-sama tidak terbuka mengenai hal apa pun, maka sangat mungkin perselingkuhan terjadi.
“Komunikasi yang kurang baik tersebut juga bisa membuat gap-nya antara ekspektasi dan realita itu jadi tidak terselesaikan dengan baik,” Liza menjelaskan.
3. Karakter orang tersebut
Penyebab lain terjadinya perselingkuhan adalah karakter buruk pasangan yang menunjukkan kesulitan untuk berkomitmen.
“Jadi, sebagus apa pun komunikasinya, sesolid apa pun hubungannya, atau bahkan sesempurna apa pun pasangannya, kalau dia punya karakter yang tidak bisa berkomitmen, ya susah juga gitu. Ini terlepas dari genetik atau apa, memang karakternya saja,” katanya.
Karakter tersebut bisa terbentuk dari pola asuhnya sejak kecil, dipengaruhi oleh lingkungannya, ataupun akibat suatu trauma.
“Misalnya jika dia melihat di lingkungannya itu tidak apa-apa kalau selingkuh, dia mungkin mikir kenapa enggak? Atau mungkin dia trauma, mungkin dia dulu punya orangtua yang saling setia, namun kok mereka saling menyakiti, dan akhirnya bisa bilang ngapain setia juga, enggak perlu-lah, misalnya seperti itu,” Liza menerangkan.
4. Butuh pujian
Menurut Liza, ada beberapa orang yang membutuhkan pujian terus-menerus. Tidak peduli jika pasangannya misalnya sudah sering memberinya pujian ataupun menanggapinya dengan respons positif, ia tetap saja merasa kurang.
“Karena ia selalu merasa kurang, akhirnya ketika ada orang lain yang memberikan pujian tersebut, nanti ia lama-lama dekat, tapi ini juga enggak berlangsung lama. Namun nanti mungkin akan terulang lagi, gitu aja terus,” tutupnya.