Liputan6.com, Jakarta Kalimat seperti “cinta itu membutakan” bukanlah sekadar semboyan belaka yang bisa diremehkan begitu saja. Meski banyak orang kerap kali berusaha menepis tudingan bahwa dirinya dibutakan oleh cinta, mereka tidak akan bisa membohongi diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya yang merasakan perbedaan drastis dari perilaku dan sikapnya setelah menjalin hubungan cinta dengan sosok yang ia dambakan.
Ketika seseorang jatuh cinta, umumnya ia akan lebih banyak tersenyum dan memancarkan aura positif ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya, dalam kondisi yang sama, seseorang bisa menjadi lebih acuh tak acuh atau lupa akan pentingnya menghabiskan waktu dengan keluarga, teman dan sosok-sosok penting lain di hidupnya.
Terlebih lagi, keputusan dan pilihan hidup--termasuk karir, gaya hidup, sudut pandang lalu juga tata krama--secara langsung dan tidak dipengaruhi oleh pasangannya. Jika pasangannya adalah tipe yang suportif, maka tidak ada masalah dengannya melakukan hal dan menggapai mimpinya yang telah ia kembangkan sedari dulu sebagai individu.
Akan tetapi, jika pasangannya terbukti lebih dominan, keputusan orang tersebut cenderung akan lebih banyak dikendalikan dan ini bisa membuatnya berhenti atau terjauhkan dari cita-cita dan impian positif yang sebetulnya ia inginkan.
Yakin mau menikahinya?
Yakin mau menikahinya?
Banyak dari mereka yang sudah menjalin hubungan cinta dalam jangka waktu tergolong lama merasa bahwa pasangannya adalah yang terbaik, terlepas dari segala bentuk kesalahan yang ia perbuat dan kejanggalan yang pernah dirasakan selama bersama.
Hati-hati, durasi berpacaran lama bukanlah faktor penentu yang membuktikan bahwa orang tersebut adalah yang terbaik untuk dijadikan pendamping hidup. Ketika seseorang sudah lama berpacaran, tentunya ia akan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya hingga mengenal diri pasangan dari luar dan dalam, keluarganya, lingkungannya, pekerjaannya, hobinya dan apa pun tentangnya.
Sering menemuinya lambat laun menjadi suatu kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Terbiasa akan suatu hal secara alami membuat seseorang nyaman lantaran ia tidak lagi harus menyembunyikan sifat aslinya dan juga bisa melakukan hal-hal yang ia tidak bisa lakukan di depan orang lain.
Ini namanya adalah kenyamanan. Meski kenyamanan merupakan salah satu unsur penting dalam hubungan percintaan, namun nyaman dan cinta itu dua hal yang berbeda dan memikirkannya penting bagi mereka yang berniat untuk maju setingkat ke ranah pernikahan.
ini dikarenakan, sekedar nyaman bisa membuat hubungan lebih rentan akan kekacau-balauan seperti adanya isu perselingkuhan, kurangnya transparansi, meningkatnya potensi sakit hati dan kekecewaan mendalam.
Terlalu nyaman terkadang membuat seseorang lupa dan memaklumi saat dirinya disakiti, dibohongi dan dipermainkan.
Idealnya, cinta tidak seperti itu atau setidaknya memiliki risiko jauh lebih kecil dalam menghadirkan masalah-masalah serupa.
Advertisement
Cinta vs Nyaman
Mari simak perbedaan betul cinta dan sekedar nyaman dengan pasangan menurut berbagai sumber, Rabu (9/11/2016):
Perhatikan kata-katanya
Jika lebih sering mengatakan ‘aku butuh kamu’ dibandingkan ‘aku sayang/cinta kamu’, maka ini membuktikan pasangan tersebut hanya sekedar nyaman. Cinta itu tidak egois dan bukanlah suatu kebutuhan yang mengharuskan seseorang hadir dalam hidup orang lain hanya di momen-momen tertentu saja, khususnya yang lebih banyak bernuansa sukacita. Ketika duka melanda, umumnya mereka yang hanya sekedar nyaman akan lebih memilih untuk menghindar, sekedar menasehati singkat lalu enggan untuk berada di sekitar pasangannya yang sedang galau akan masalah lain.
Perhatikan niatnya
Jika sudah terlalu lama berpacaran namun sang pria tidak kunjung datang ke orangtua wanita untuk menikahinya dengan alasan situasi finansial, pekerjaan atau ketidaksiapan, maka sangatlah mungkin orang tersebut hanya sudah terlalu nyaman tapi masih ragu soal komitmen. Jika ia betul-betul ingin serius melangkah bersama wanita tersebut, tidak akan ada apa pun yang menghalanginya, bahkan perbedaan tradisi atau latar belakang.
Cinta tulus akan membuatnya berani mengambil keputusan dan menghadapi risiko pahit yang mungkin ia dapat untuk memperjuangkan hubungannya. Uang bisa dicari bersama-sama, pekerjaan dan kesuksesan itu bisa dijalankan sekaligus diraih seiring berjalannya pernikahan, jadi kebanyakan alasan harusnya sudah membuat seorang wanita lebih sadar akan tidak niatnya pasangan untuk menikahinya dan hanya ingin ada keberadaan sang wanita di sisinya agar tak kesepian.
Perhatikan sifatnya
Jika pasangan terlalu sering menghindari perbincangan seputar pernikahan, maka dirinya memang belum siap atau belum merasa cinta dan hanya merasa nyaman menghabiskan waktu dengan pasangannya. Awas, jika terlampau lama hubungannya dan tidak ada kejelasan, maka sakit hati yang harus dilewati bisa berjangka panjang dan memicu depresi akut.
Perhatikan cara pikirnya
Jika masih terlalu sering bertengkar karena salah satu atau keduanya melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya berarti hanya sekedar nyaman. Cinta tidak akan membuat seseorang ingin menyakiti pasangannya dan ia akan belajar untuk menghindari dirinya dari potensi melakukannya lagi.
Perhatikan gerak-geriknya
Jika terlalu cepat baikan setelah bertengkar dan lebih sering menyelesaikan masalahnya dengan make-up sex, maka sangatlah mungkin itu hanya sekedar nyaman. Cinta akan membuat kedua pihak dalam suatu hubungan berpikir lebih panjang ketika dilanda masalah seputar hubungannya. Mereka pun akan lebih memilih untuk menyelesaikannya secara verbal, non-seksual dan dewasa.
Demikian beberapa hal yang membedakan cinta dengan kenyamanan. Akan tetapi, masih banyak contoh lain yang pantas dijadikan bahan renungan untuk memastikan bahwa seseorang itu betul-betul cinta dan yakin akan pasangannya sebagai pendamping hidup atau hanya menganggap pasangannya zona aman sekaligus nyaman di waktu-waktu tertentu saja dalam hidupnya.