Liputan6.com, Jakarta Menstruasi atau datang bulan kerap dianggap sebagai hambatan bagi sebagian wanita. Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib berkerja pada hari pertama dan kedua pada waktu menstruasi.
Menanggapi hal tersebut, pakar okupasi dari Universitas Indonesia, dr. Nuri Purwito Adi, MKK, SpOK., mengungkapkan setiap perusahaan menerapkan aturan terkait cuti menstruasi yang dimodifikasi. Menurutnya, pekerja wanita berhak mendapatkan cuti menstruasi dalam situasi dan kondisi tertentu.
Baca Juga
"Cuti dapat diberikan jika pekerja wanita mengalami gejala seperti rasa nyeri, pusing, atau juga keluarnya darah yang berlebihan," jelas Nuri saat diwawancarai Health Liputan6.com, Kamis (1/3/2018).
Advertisement
Nuri pun berpendapat kebijakan cuti menstruasi penting untuk diterapkan di perusahaan. Namun demikian, perusahaan harus berhati-hati dalam penerapannya. Menurutnya, perlu ada aturan yang mengurangi penyalahgunaan cuti menstruasi tersebut.
"Misalnya seperti surat istirahat dari dokter. Menurut saya itu upaya yang baik," tegas Nuri.
Â
Saksikan juga video berikut ini :
Cuti menstruasi idealnya diberikan satu atau dua hari
Meski menjadi hak bagi pekerja wanita, cuti menstruasi idealnya hanya dapat diberikan bagi mereka yang benar-benar mengalami rasa nyeri saat datang bulan tiba. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PB POGI, Dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K).
"Ya karena tidak semua perempuan mengalami perubahan kualitas hidup saat masa haid. Jadi menurut saya, tidak perlu semuanya dapat," ujar Andon, saat diwawancarai Health Liputan6.com, Kamis (1/3/2018).
Menurut Andon, gejala menstruasi yang membuat pekerja wanita layak mendapatkan cuti menstruasi yaitu kram pada perut yang hebat, rasa melilit yang hebat yang dapat disertai dengan sakit kepala, mual, muntah, pusing, lemas, dan terkadang disertai nyeri saat berkemih dan bahkan diare.
Advertisement