Terkait Dokter Terawan, Rektor Unhas: Dia Layak Dapat Gelar Doktor

Rektor Universitas Hasanuddin akhirnya buka suara terkait dokter Terawan. Dia membenarkan, dokter cuci otak itu mengambil S3 di sana.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 06 Apr 2018, 12:30 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2018, 12:30 WIB
Dokter Terawan
Dokter Terawan tidak merasa pernah mengiklankan diri. (Foto: Liputan6.com/Benedikta Desideria)

Liputan6.com, Jakarta Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA membenarkan bahwa dokter Terawan Agus Putranto menempuh dan mendapatkan gelar S3 di sana.

"Dia (dokter Terawan) lulus kalau tidak salah tahun 2016, promosinya," kata Dwia saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Kamis, (5/4/2018) sore.

Sebelum berbicara lebih lanjut, Dwia menggarisbawahi dia bukan promotor yang bersinggungan langsung dengan Terawan, juga bukan seorang praktisi dari bidang kedokteran. Dwia berbicara dari aspek mekanisme akademiknya.

Menurut Dwia, dokter Terawan mendapat gelar S3 setelah mengikuti pembelajaran dengan baik. Disertasi hasil temuan tersebut kemudian dipublikasikan ke dalam jurnal ilmiah.

"Semuanya dipenuhi oleh dokter Terawan sehingga dia layak mendapat gelar doktor."

"S3 itu selalu ada temuan. Nah, temuannya ini adalah metode terapinya itu, brain wash. Dari segi akademik, tidak ada yang keliru dari dokter Terawan."

Dwia tidak bisa berbicara banyak mengenai permasalahan yang tengah dihadapi dokter Terawan. Dia melihat masalah ini, hanya perbedaan persepsi saja.

"Begini, kalau temuan itu kemudian dipraktikkan untuk terapi kepada perawatan, itu bukan lagi ranah kami," 

 

 

 

Saksikan juga video menarik berikut:

 

 

Pro Kontra Metode Dokter Terawan

Dokter Terawan dan Komisi I DPR RI
Dokter Terawan melakukan konferensi pers bersama anggota Komisi I DPR RI di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Rabu (4/4/2018). (Liputan6.com/Benedikta Desideria)

Menurut Dwia, suatu inovasi memang selalu ada pro dan kontra. Hal itu lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan.

"Membuat satu gagasan baru, ditolak gagasan itu, apalagi beda paradigma, beda perspektif. Kalau ada peluang untuk membuat suatu terobosan apalagi sebuah metode yang memberi kebaikan untuk masyarakat, kenapa tidak kita tangkap peluang itu?" tutur wanita yang juga Guru Besar Sosiologi Universitas Hasanuddin itu. 

Bila ada beberapa pihak yang mengatakan temuan dokter Terawan itu keliru dan salah, kenapa tidak dibantah secara ilmiah juga? "Dalam sidang ilmiah dan publikasi atau dalam suatu forum ilmiah juga untuk membantah, misalnya. Tidak dibawa ke ranah publik," katanya. 

Ketika suatu permasalahan sudah sampai ke ranah publik, yang terjadi kemudian malah membuat masyarakat bingung. Contohnya seperti temuan dokter Terawan ini. Di saat para pasien, yang terdiri dari petinggi negeri ini seperti Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan tanda bahwa temuan tersebut bermanfaat untuk orang banyak.

"Ini kan tanda, hasil temuan tersebut memberi harapan kepada masyarakat, apalagi yang mengidap stroke," tuturnya. 

Dwia menyarankan agar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), dokter Terawan duduk bersama dan menyelesaikan permasalahan ini dengan bijak.

"Kalau inovasi ini adalah peluang bagus, kenapa tidak secara bersama-sama kita selesaikan yang katanya kekeliruan itu, iya kan? Kalau memang secara ilmiah dianggap keliru, kenapa tidak dipantang secara ilmiah juga?" tandasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya