Liputan6.com, Jakarta Pemerintah baru saja memutuskan untuk tidak menaikkan cukai rokok dan menunda penyederhanaan golongan cukai rokok untuk tahun 2019. Keputusan ini tentu saja menuai kontroversi. Ada yang mendukung namun ada juga yang merasa tidak puas bahkan kecewa dengan langkah yang diambil pemerintah.
Di saat pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif cukai tembakau, beberapa temuan justru menunjukkan bahwa ini bukan langkah yang seharusnya diambil. Seperti hasil Riskesdas 2018 yang menunjukkan bahwa prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% di tahun 2018. Belum lagi pernyataan BPJS Kesehatan yang mengindikasikan besarnya beban biaya kesehatan yang harus ditanggung akibat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Baca Juga
Tidak heran bila muncul dugaan keputusan ini mengandung kepentingan politis mengingat tahun 2019 adalah tahun pemilu.
Advertisement
“Ekonomi itu tidak bisa terlepas dari politik. Saat berpolitik, pembuat keputusan pada umumnya berjanji untuk melindungi rakyat miskin. Namun, saat kebijakan ini keluar kita jadi bertanya-tanya siapa yang sebenarnya dilindungi? Oleh karena itu, saya harus mengatakan bahwa saya kecewa dengan keputusan pemerintah. Ini menyangkut kesehatan masyarakat, terutama masyarakat miskin,” ujar Hasbullah Thabrany, pakar Ekonomi Kesehatan sekaligus Calon Anggota Legislatif periode 2019-2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Hasbullah menyampaikan kekecewaannya dalam diskusi publik Ruang.Temu yang diselenggarakan oleh CISDI dan Asumsi pada Kamis (8/11) lalu di Cocowork Working Space, Plaza Kuningan, Jakarta Selatan. Diskusi ini mengangkat tema “Menilik Politik Cukai Tembakau” dengan mengundang beberapa politisi dan pegiat ekonomi. Selain Hasbullah, hadir pula Dedek Prayudi selaku Calon Anggota Legislatif periode 2019-2024 dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Didi Irawadi Syamsuddin selaku Anggota Komisi XI DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat sebagai narasumber.
Sementara itu dari kacamata Dedek, isu cukai rokok adalah isu yang dilematis. “Seharusnya pemerintah menaikkan cukai rokok untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya rokok. Tapi, di saat yang bersamaan, pemerintah juga harus siap memitigasi economic damage yang bisa terjadi apabila kita mematikan industri tembakau. Oleh karena itu, harus ada satu perangkat kebijakan yang bisa menahan laju peningkatan jumlah perokok namun di saat yang bersamaan mampu meminimalisir dampak dari kehancuran industri yang mungkin terjadi,” jelas Dedek.
Hampir senada dengan argumen Dedek, Didi juga menganggap bahwa harus ada win-win solution yang diberikan pengambil kebijakan mengenai isu cukai tembakau. “Kita harus mengingat bahwa ada 6 juta petani yang menggantungkan hidupnya hanya pada tembakau. Sehingga, apapun kebijakan yang dikeluarkan, saya harap pemerintah bisa berikan win-win solution,” ujar Didi.
Klaim kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian seringkali menjadi penghambat ketika berbicara mengenai isu cukai tembakau. Sementara, jika dilihat dari sisi lain, terdapat potensi besar dari peningkatan tarif cukai rokok guna pemanfaatan yang lebih terarah, baik untuk pembiayaan layanan kesehatan maupun program pembangunan berkelanjutan lainnya.
Potensi pemanfaatan penerimaan cukai untuk membantu peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan melalui JKN yang sedang defisit perlu diprioritaskan lebih lanjut. Selain itu, peningkatan penerimaan cukai dari peningkatan tarif juga dapat disalurkan untuk memitigasi efek samping kebijakan cukai terhadap kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada tembakau, seperti program alih tanam dan alih profesi bagi petani dan pekerja.
“Jika kita menaikkan harga rokok, kita bisa memperoleh pemasukan yang lebih tinggi. Kemudian, pemasukan tersebut bisa dimanfaatkan untuk melatih petani dalam beralih profesi karena industri rokok sudah memasuki fase sunset industry. Mau tidak mau, petani dan pekerja rokok pun harus beralih profesi,” tegas Hasbullah.
“Fokus saya dan teman-teman di PSI adalah bagaimana menghindarkan anak-anak dan remaja dari menjadi perokok pemula. Berkali-kali cukai sudah dinaikkan namun tampaknya belum efektif dalam menurunkan konsumsi. Saya percaya bahwa cukai adalah salah satu instrumen untuk menurunkan konsumsi, namun bukan satu-satunya instrumen,” tambah Dedek.
“Upaya pengendalian tembakau harus dimulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Setelah keluarga, dilanjutkan dengan sekolah. Para guru seharusnya bisa menjadi contoh agar anak-anak tidak merokok,” tutup Didi.