Pengamat: Menkes Terawan Perlu Kembali Kaji Kenaikan Iuran JKN

Terkait rencana kenaikan iuran JKN, pengamat menyarankan Menkes Terawan perlu melakukan kajian kembali.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Okt 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2019, 17:00 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Menkes yang baru dilantik dokter Terawan Agus Putranto dirasa perlu mengkaji soal rencana kenaikan iuran JKN. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Usai resmi dilantik sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) RI periode 2019-2024, dokter Terawan Agus Putranto, memiliki banyak pekerjaan rumah. Salah satunya kembali mengkaji rencana kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.

Hal ini disampaikan pengamat kebijakan publik Universitas Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Andre Ratumakin.

"Saya rasa ini menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri Kesehatan yang baru dilantik untuk masalah rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan," kata Andre seperti dikutip Antara, Jumat (25/10/2019).

Pada awal 2020 nanti rencananya iuran JKN bakal mengalami kenaikan. Untuk kelas I dan kelas II naik 100 persen, sementara kelas III mengalami kenaikan sebesar 60 persen. Kenaikan ini dilakukan untuk mengatasi defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan.

Namun, Andre mempertanyakan apakah kenaikan mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Dosen ilmu politik ini khawatir bila kenaikan ini terjadi bakal lebih banyak masyarakat yang menunggak membayar iuran.

"Pertanyaannya yang paling penting sebenarnya adalah apakah dengan kenaikan iuran dapat menuntaskan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang layak bagi semua warga sebagai pemenuhan kebutuhan dasar," katanya.

Saksikan juga video menarik berikut:

Defisit bukan karena premi iuran rendah

Iuran BPJS Kesehatan Naik
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com

Menurut Andre, penyebab defisit bukan karena rendahnya premi iuran JKN melainkan tunggakan membayar oleh peserta mandiri atau pembayaran premi dilakukan hanya pada saat peserta mau menggunakan fasilitas BPJS. Belum lagi manajemen BPJS yang tidak dikontrol publik.

Selain itu kata dia dugaan fraud yang dilakukan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) dengan pemberlakuan berbagai kebijakan dan tuntutan BPJS Kesehatan. Seperti kapasitas berbasis kinerja dan INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups) yang sulit terpenuhi pemberi layanan kesehatan.

Menurut dia praktek INA CBG’s juga dapat membuat pihak rumah sakit berusaha mencari celah agar tidak merugi. Misalnya, memulangkan pasien kronis karena sudah melewati batas waktu paket pembayaran yang boleh diklaim ke BPJS. Akibatnya tujuan utama pelayanan tidak tercapai hanya demi efisiensi.

"Saya melihat bahwa di satu sisi ada niat baik pemerintah, terutama birokrat untuk untuk membuat segala bentuk layanan dasar publik menjadi lebih efisien dan efektif. Di lain sisi, upaya ‘profesionalisasi’ layanan non profit pemerintah ala pelayanan ‘swasta’ belum disertai manajemen yang mumpuni. Mungkin ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah, termasuk kabinet jilid II Jokowi-Ma’aruf, khususnya lagi Menkes," tambah dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya