Liputan6.com, Jakarta Meskipun pemerintah akan melakukan rapid test sebagai skrining dan upaya pencegahan penyebaran COVID-19, namun pemeriksaan tersebut dinilai memiliki kelemahan.
Beberapa pakar menyebutkan, meski bisa dilakukan secara massal dan cepat, rapid test untuk COVID-19 memiliki potensi tingkat akurasi yang paling rendah dibandingkan tes lainnya.
Baca Juga
Herawati Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta menyebutkan tes molekul sesungguhnya menjadi standar emas World Health Organization (WHO) dalam mendeteksi COVID-19.
Advertisement
Herawati menjelaskan, standar semacam ini dibutuhkan apabila pemeriksaan dilakukan di negara lain, maka hasilnya akan sama dan memungkinkan apabila membutuhkan opini sekunder.
"Dengan tes molekul, kita dapat mendeteksi langsung virus penyebabnya. Ini kan berhubungan dengan isu yang sekarang. Kita harus melakukan tes yang cepat, tes yang massal dan sebagainya," kata Herawati dalam diskusi jarak jauh yang diselenggarakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives, ditulis Jumat (20/3/2020).
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Tes Molekul untuk Konfirmasi Rapid Test
Herawati mengatakan, tes molekul di Indonesia bisa dilakukan dan hasilnya bisa keluar dalam waktu empat sampai delapan jam. Selain itu, tingkat kepercayaan pada tes ini paling tinggi dibandingkan yang lainnya.
Herawati menjelaskan selain tes molekul dan rapid test, ada juga pemeriksaan kultur. Namun, pemeriksaan tersebut membutuhkan fasilitas Bio-Safety Laboratory level 3 yang terbatas di Indonesia dan hanya ada sekitar 10 atau 12 di seluruh dunia.
Selain itu, menurut Herawati, karena kurangnya akurasi dari rapid test, ada baiknya juga sampel mendapatkan tes molekul sebagai konfirmasi dan mendapatkan hasil yang lebih akurat.
"Bahwa itu penting (rapid test) dan harus kita lakukan saya setuju tapi jangan lupakan mengenai sensitivitas, deteksi molekul itu adalah golden standar. Jadi kalau ragu, kirimlah atau lakukan ataupun dokter melakukan tes molekul tadi."
Herawati mengatakan bahwa Indonesia sudah mampu melakukan pemeriksaan semacam ini. "Menurut saya, kenapa tidak perkuat yang sudah ada, yang dapat melakukan tes molekul dan memanfaatkan tenaga mereka," ujarnya.
Advertisement