Perkembangan Vaksin Covid-19, 35 Perusahaan Adu Cepat Uji Coba Manusia

Empat dari 35 kandidat vaksin Covid-19 telah memasuki masa uji pada hewan. Vaksin pertama yang diproduksi oleh biotech firm Moderna yang berbasis di Boston akan segera memasuki uji coba manusia.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 27 Mar 2020, 23:59 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2020, 23:59 WIB
20160628-Ilustrasi-Vaksin-iStockphoto
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Ada sekitar 35 perusahaan dan lembaga akademik berlomba untuk membuat vaksin Covid-19, empat di antaranya sudah dijadikan kandidat yang telah mereka uji pada hewan.

Seperti dilansir the Guardian, vaksin pertama yang diproduksi oleh biotech firm Moderna yang berbasis di Boston akan segera memasuki uji coba manusia.

Ini merupakan perkembangan yang luar biasa cepat yang belum pernah terjadi sebelumnya (biasanya pengembangan vaksin membutuhkan waktu bertahun-tahun baru bisa diuji coba pada manusia).

Seperti diketahui, produsen pabrik vaksin melalui tahap panjang sebelum memberikan vaksin kepada seseorang. Mereka bertanggung jawab secara resmi terhadap jaminan kualitas (mutu), keamanan dan efektifitas vaksin yang beredar, dan menjamin bahwa apabila diberikan kepada masyarakat. 

Vaksin yang diberikan juga, menurut WHO, harus melalui berbagai uji keamanan, efikasi dan berbagai uji klinis terhadap kemungkinan munculnya efek simpang, cara pencegahannya dan cara penanganannya kalau efek simpang ini terjadi. 

Dalam uji klinis (clinical trials) ini dipelajari juga absorpsi, distribusi, metabolisme,dan ekskresi dari bahan farmasi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia agar didapat informasi tentang efikasi dan keamanan dari produk farmasi tersebut. Uji klinis biasanya dibagi menjadi fase I—IV, fase IV dimaksimalkan sebagai studi klinis yang menentukan setelah produk farmasi mendapat izin beredar dan telah dipakai oleh masyarakat luas

Dalam hal Covid-19, para ahli sepakat kecepatan penelitian vaksin tidak terlepas dari upaya China yang sejak awal mengurutkan genetik Sars-CoV-2, atau lebih dikenal dengan virus corona (virus yang menyebabkan Covid-19). Sars-CoV-2 berbagi sekitar 80% -90% dari materi genetiknya dengan virus yang menyebabkan Sars - karena itulah dinamakan demikian.

Para ahli di China telah membagikan urutan genetiknya sejak awal Januari, sehingga memungkinkan para peneliti di seluruh dunia untuk mengembangkan virus dan mempelajari bagaimana virus tersebut menyerang sel manusia dan membuat orang sakit.

Ada alasan lain pengembangan vaksin dipercepat, yaitu karena flu umumnya menimbulkan risiko pandemi terbesar, meskipun belum tentu akibat virus corona. Ahli vaksinologi telah bertaruh dalam mengerjakan prototype patogen ini.

"Kecepatan saat ini (sehingga menghasilkan kandidat-kandidat vaksin) sangat bergantung pada investasi dalam memahami bagaimana mengembangkan vaksin untuk virus corona lain," ujar Richard Hatchett, CEO nirlaba Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (Cepi) yang berbasis di Oslo, yang memimpin upaya untuk membiayai dan mengoordinasikan pengembangan vaksin Covid-19.

 

 

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Siap uji coba manusia

Ilustrasi vaksin
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Virus corona sebelumnya telah menyebabkan dua epidemi, yaitu severe acute respiratory syndrome (Sars) di Cina pada tahun 2002-04, dan Middle East respiratory syndrome (Mers), yang dimulai di Arab Saudi pada tahun 2012. Saat ini vaksin kedua virus tersebut ditangguhkan.

Satu perusahaan, Novavax yang berbasis di Maryland, kini telah menggunakan kembali vaksin-vaksin itu untuk Sars-CoV-2, dan mengatakan mereka memiliki beberapa kandidat yang siap memasuki uji coba manusia pada musim semi ini.

Sementara itu, Moderna yang bekerja untuk pengembangan vaksin Mers di US National Institute of Allergy and Infectious Diseasesdi Bethesda, Maryland, kembali mengajukan vaksinnya sebagai kandidat mengatasi Covid-19.

Pada prinsipnya, vaksin yang umumnya dalam bentuk injeksi, bekerja untuk mendorong sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi terhadap patogen. Antibodi merupakan kekebalan yang mengingat virus dan bisa melawannya jika orang tersebut terpapar virus yang sama lagi.

Dulu, imunisasi menggunakan virus yang hidup, yang dilemahkan sebagian atau menyeluruh oleh panas atau bahan kimia.

Metode ini memiliki kelemahan, yaitu jika hidup, itu akan terus berevolusi dalam inang seseorang dan berpotensi terinfeksi virus lagi dan membuat orang tersebut sakit.

Jadi saat ini diperlukan juga dosis yang lebih tinggi atau berulang dari virus yang tidak aktif untuk mencapai perlindungan yang dibutuhkan. Beberapa proyek vaksin menggunakan metode ini, sedangkan yang lainnya menggunakan teknologi terbaru.

Misalnya NovaVax, membangun vaksin 'rekombinan', yang melibatkan ekstraksi kode genetik untuk lonjakan protein pada permukaan Sars-CoV-2, yang merupakan bagian dari virus yang paling mungkin memicu reaksi kekebalan pada manusia, lalu menempelkannya ke dalam genom bakteri atau ragi (memaksa mikroorganisme ini menghasilkan protein dalam jumlah besar).

Sedangkan Moderna dan perusahaan Boston lainnya, seperti CureVac, menggunakan pendekatan baru, yaitu memotong protein dan membangun vaksin dari instruksi genetik tersebut untuk vaksin Covid-19.

Uji klinis dalam hal ini merupakan aturan penting demi mencegah penyakit muncul kembali. Bruce Gellin, yang menjalankan program imunisasi global untuk organisasi nirlaba Sabin Vaccine Institute yang berbasis di Washington DC mengatakan, uji klinis ini berlangsung dalam tiga fase.

Pertama, melibatkan beberapa lusin sukarelawan sehat, menguji keamanan vaksin, memantau efek samping. Kedua, melibatkan beberapa ratus orang, biasanya di area yang terkena penyakit ini, melihat seberapa efektif vaksin tersebut. Ketiga, melakukan hal yang sama pada beberapa ribu orang.

"Tetapi tidak semua kandidat vaksin berhasil melewati tiga fase ini," ujarnya. Bisa jadi karena kandidat vaksin tidak aman (untuk manusia), atau tidak efektif, atau keduanya.

 

Pembuatan vaksin jangan ambil jalan pintas

Jennifer Haller, Wanita Pertama yang Disuntik Virus Corona Covid-19 untuk Uji Coba Vaksin
Jennifer Haller, Wanita Pertama yang Disuntik Virus Corona Covid-19 untuk Uji Coba Vaksin. (dok.Instagram @parsashin/https://www.instagram.com/p/B92Vl1ypaUQ/Henry)

Persetujuan vaksin dapat dipercepat jika regulator telah menyetujui produk serupa sebelumnya. Misalnya vaksin flu tahunan yang beberapa modulnya harus diperbarui setiap tahun.

Namun sebaliknya, Sars-CoV-2 adalah patogen baru pada manusia, teknologi yang digunakan untuk membuat vaksin juga relatif belum teruji. Tidak ada vaksin yang dibuat dari bahan genetik (RNA atau DNA) yang telah disetujui hingga saat ini.

Maka dari itu, perlakuan pada kandidat vaksin Covid-19 harus sebagaimana perlakuan pada vaksin baru. "Sebaiknya tidak mengambil jalan pintas," ujar Gellin.

Itu karena pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1960-an terhadap virus syncytial pernapasan, virus umum yang menyebabkan gejala seperti pilek pada anak-anak. Dalam uji klinis, vaksin ini malah memperburuk gejala pilek pada bayi yang tertular virus.

Efek serupa juga terjadi saat awal pemberian awal vaksin eksperimental Sars. Namun vaksin Sars ini kemudian dimodifikasi untuk menghilangkan masalahnya dan diajukan sebagai kandidat vaksin Covid-19 dan perlu diuji lagi keamanannya dengan ketat terutama untuk mengesampingkan risiko peningkatan penyakit.

Setelah disetujui pun harus segera menyiapkan dalam jumlah besar. Karena setiap negara harus memastikan semua yang membutuhkan mendapatkannya (misalnya tenaga kesehatan dan orang-orang yang berisiko tinggi). Dan setiap negara bersaing untuk mendapatkannya. Maka dari itu masalah virus corona ini tidak hanya selesai setelah vaksin ditemukan.

Belum lagi negara pemasok utama vaksin memilih lebih mengekspornya daripada menggunakannya untuk melindungi populasi negara terlebih dahulu.

Pakar kesehatan global, Jonathan Quick, dari Duke University di North Carolina, pernah mengatakan, "virus biologis dan teknologi vaksin bisa menjadi faktor pembatas, tetapi politik dan ekonomi jauh lebih mungkin menjadi penghambat imunisasi."

Sehingga untuk saat ini cara terbaik melindungi diri yaitu mencuci tangan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya