Kampanye Pencegahan COVID-19 Juga Berefek Memutus Penularan Tuberkulosis di Indonesia

Meski pola hidup masyarakat berubah karena COVID-19, tapi pandemi tersebut juga berdampak pada layanan untuk tuberkulosis

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 07 Jul 2020, 11:27 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2020, 11:27 WIB
Ilustrasi Tuberkulosis
Perlu diketahui gejala utama pasien TBC paru, yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan ada beberapa sisi baik dan buruk dari situasi pandemi COVID-19 terhadap penanggulangan tuberkulosis (TB) di Indonesia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu mengungkapkan bahwa promosi kesehatan untuk pencegahan COVID-19 sesungguhnya juga berguna untuk mencegah tuberkulosis.

"COVID-19 ini baru empat bulan lho, tetapi orang begitu luar biasa bisa langsung pakai masker, bisa cuci tangan, kemudian jaga jarak," kata Wiendra dalam siaran bincang-bincang dari Graha BNPB, Jakarta pada Selasa (7/7/2020).

"Bayangkan tuberkulosis 300 tahun lalu sudah ada ditemukan dan kita tahun 1970 sudah mulai, jadi sekitar 30 sampai 40 tahun lalu, kita sudah melaksanakan ini," ujarnya.

Namun, Wiendra mengatakan bahwa promosi perilaku pencegahan tuberkulosis tidaklah mudah atau lebih sulit dibandingkan kampanye pencegahan COVID-19. Padahal menurutnya, hal-hal tersebut juga bisa memutus penularan TB.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak juga Video Menarik Berikut Ini


Terganggunya Pelayanan TB

dr Wiendra Waworuntu
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu mengatakan, WNI yang ada di Natuna telah diberikan jadwal aktivitas selama masa observasi hingga 14 hari.

Di sisi lain, pandemi COVID-19 juga berdampak pada terganggunya pelayanan kesehatan bagi pasien TB.

"Pasiennya tidak bisa ke layanan," kata Wiendra. "Fasilitas kesehatan itu sekarang takut juga memeriksa pasien TB. Jadi karena dia merasa pasien TB ada COVID-19 juga, dia harus pakai APD," tambahnya.

Selain itu, pasien TB juga kesulitan untuk mencari pengobatan mandiri di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan diutamakannya layanan untuk penanganan COVID-19.

Wiendra menyebutkan, terjadi penurunan pasien TB yang datang ke layanan kesehatan akibat pandemi COVID-19. Ia mengatakan situasi tersebut terjadi secara drastis di bulan Mei.

"Padahal setiap tahun harus didapatkan sekitar 800 ribu tapi di bulan yang turun jadi tiga ribu," katanya.

Untuk itu, Wiendra meminta agar layanan tuberkulosis tetap harus berjalan meski di tengah pandemi COVID-19. Selain itu, bagi pasien TB juga harus tetap rutin mengonsumsi obat dan tidak boleh putus obat.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya