7 Negara Lockdown Jilid 2 Akibat Lonjakan Kasus COVID-19, Bagaimana dengan Indonesia?

Lonjakan kasus COVID-19 membuat tujuh negara melakukan lockdown jilid 2. Lalu, bagaimana kondisi di Indonesia?

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 07 Jul 2020, 22:03 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2020, 20:55 WIB
Penampakan Kota Leicester yang Tetap Terapkan Lockdown
Pusat kota yang sepi setelah penerapan karantina wilayah (lockdown) lokal di Leicester, Inggris (1/7/2020). Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan bahwa Kota Leicester di Inggris akan tetap menerapkan lockdown akibat COVID-19 saat kota-kota lain di negara itu mulai dibuka kembali. (Xinhu

Liputan6.com, Jakarta Lonjakan kasus COVID-19 membuat tujuh negara memutuskan kembali menerapkan lockdown di wilayahnya. Sebut saja Spanyol; Portugal; Kazakhstan; Kota Leicester, Inggris; Provinsi Hebei, Tiongkok; North Rhine-Westphalia, Jerman; dan Victoria, Australia.

Menilik kasus tersebut, bagaimana situasi Indonesia terhadap kemungkinan lonjakan COVID-19? Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menanggapi hal tersebut.

Pandu mengungkapkan untuk melihat situasi COVID-19 di Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu dilihat. Diantaranya melihat daerah kasus lonjakan serta jumlah tes COVID-19 yang sudah dilakukan. 

"Kita harus melihat lonjakan kasus COVID-19 di mana, daerah mana saja. Lalu perlu juga diketahui berapa tes (untuk pemeriksaan spesimen) yang dilakukan," tutur Pandu kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (7/7/2020).

"Yang namanya lonjakan (kasus COVID-19) tergantung testing atau faktor lainnya seperti apa. Kalau (penambahan kasus COVID-19) dari testing aktif itu bagus."

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Melihat Angka Positivity Rate

Dewi Nur Aisyah
Epidemiolog Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah menerangkan, positivity rate tidak hanya dilihat dari angkan, melainkan dari jumlah orang yang diperiksa saat talkshow di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (2/7/2020). (Dok BNPB/Fotografer Dume Harjuti Sinaga)

Pandu menegaskan dalam melihat situasi COVID-19 tidak hanya dari lonjakan kasus COVID-19, juga angka positivity rate. 

"Saya melihat bukan hanya soal lonjakan kasus saja, tapi positivity rate-nya. Artinya, jumlah kasus dibagi jumlah tes. Jadi, kalau positivity rate-nya masih 20 persen ya tinggi. Dibawah itu ya 3 persen (angka positivity rate aman)" tegasnya.

"Untuk positivity rate-nya data terakhir saya belum tahu seberapa banyak. Karena seringkali tidak dilaporkan. Kita bingung kalau ada penambahan positif COVID-19, apakah memang pandemi masih tinggi, penularan tinggi."

Jika penambahan kasus COVID-19 yang diketahui dari hasil tes, Pandu menyebut hal itu bagus. Itu berarti bisa diidentifikasi.

Data Gugus Tugas Nasional pada 2 Juli 2020 melaporkan, sejak pertengahan Juni 2020, jumlah kasus baru terkonfirmasi positif Corona di Indonesia berada di kisaran 1.000 kasus per harinya. Namun, hal tersebut tidak serta merta menunjukkan angka positivity rate-nya tinggi.

Epidemiolog Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah menerangkan, positivity rate tidak hanya dilihat dari angka saja, melainkan jumlah orang yang diperiksa. Secara nasional, positivity rate Indonesia mencapai 12 persen.

Angka ini masih di atas standar positivity rate yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu sebesar 5 persen. Jika dibandingkan Mei 2020 lalu, positivity rate saat ini lebih rendah.

“Di pertengahan Mei ada 3.448 orang positif dalam waktu satu minggu. Orang yang diperiksa ada 26.000. Jadi dari 26,000 orang ada 3.000 yang positif. Sehingga, angka positivity rate-nya adalah 13 persen,” jelas Dewi dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com.

Dewi menambahkan data pada Juni 2020 dengan rata-rata 8.000 kasus baru dalam satu minggu dan orang yang diperiksa mencapai 55.000, sehingga positivity rate-nya 12 persen. 

Jika angka nasional 12 persen, maka setiap kabupaten-kota memiliki cerita yang berbeda bila ditelaah dari jumlah orang positif dibandingkan dengan jumlah orang yang diperiksa.

“Jumlah kasus terbanyak, misalnya, dari Surabaya, tapi begitu dilihat perbandingan 100.000 penduduk, ceritanya jadi berbeda. Walaupun Surabaya masuk lima besar, tapi kalau dari data provinsi, tidak masuk kedalam lima besar (kasus COVID-19 tinggi),” ujar Dewi.

Rumah Sakit Khusus COVID-19

Jokowi Pastikan RS Darurat Siap Beroperasi
Presiden Joko Widodo (kiri) melihat peralatan medis di ruang IGD saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Jokowi memastikan Rumah Sakit Darurat siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Pool)

Upaya penanganan COVID-19 juga terlihat dari pelayanan rumah sakit. Pandu menilai kehadiran rumah sakit khusus COVID-19 sangat membantu penanganan COVID-19.

Dalam hal ini, pasien COVID-19 dapat memeroleh perawatan yang lebih intensif serta pemanfaatan tempat tidur maksimal.

"Harusnya memang pasien (COVID-19) ditujukan dirawat di rumah sakit yang khusus merawat COVID-19, sehingga semua tempat tidur bisa dipakai untuk merawat pasien," tambah Pandu.

"Jadi, kita memang harus menunjuk adanya rumah sakit yang khusus merawat pasien COVID-19. Upaya ini yang terjadi di Jakarta. Untuk mengatasi lonjakan kasus COVID-19 ada rumah sakit khusus COVID-19 (Wisma Atlet)."

Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyampaikan perlu upaya intervensi dari aspek kesehatan untuk menangani masih adanya kecenderungan angka kasus positif COVID-19 tinggi di beberapa provinsi.

Data positif COVID-19 pada 7 Juli 2020, Jawa Timur tertinggi dengan penambahan kasus baru COVID-19 sebanyak 280 orang. Disusul Sulawesi Selatan 218 kasus baru COVID-19.

"Kita saat ini harus lebih fokus pada beberapa provinsi yang kecenderungan angka kasus positifnya (COVID-19) masih cenderung untuk meningkat. Permasalahan COVID-19 hendaklah intervensi dengan mengedepankan aspek kesehatan masyarakat," tutur Yuri saat konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Selasa (7/7/2020).

"Masyarakat menjadi faktor penentu di dalam pengendalian COVID-19. Karena apabila pengendalian di tengah masyarakat bisa kita laksanakan dengan sebaik-baiknya, dengan mematuhi protokol kesehatan secara disiplin terus-menerus dan bersama-sama. Maka, beban layanan rumah sakit akan menurun."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya