Liputan6.com, Bangkok - Ketika pemerintah Thailand berlomba untuk mendapatkan lebih banyak vaksin Corona dari berbagai sumber untuk memvaksinasi warganya, sejumlah peneliti di Thailand justru tengah memersiapkan uji klinis pertama dari vaksin yang dibuatnya.
Vaksin dengan nama ChulaCov19 dikembangkan Fakultas Kedokteran Universitas Chulalongkorn di Bangkok, dan rencananya, pada April 2021, vaksin Corona tersebut akan disuntikkan ke 72 sukarelawan berusia 18 hingga 75.
Baca Juga
“Kami akan menyuntikkan sukarelawan pertama kami pada bulan April, mungkin sekitar akhir bulan. Dalam dua bulan, kita harus mengetahui hasil Tahap I, yang akan menunjukkan dosis yang tepat," ujar Profesor Kedokteran dan Direktur Pusat Penelitian Vaksin in Universitas Chulalongkorn, Kiat Ruxrungtham, dikutip dari situs Channel News Asia pada Jumat, 22 Januari 2021.
Advertisement
Saat ini, ada berbagai jenis teknologi vaksin yang digunakan untuk COVID-19. ChulaCov19 menggunakan jenis Messenger RNA atau mRNA, yang memungkinkan tubuh menghasilkan protein yang memicu respons imun terhadap virus.
Teknologi tersebut juga digunakan perusahaan farmasi terkemuka seperti Moderna, Pfizer dan BioNTech. Perusahaan-perusahaan tersebut telah merilis data yang didukung oleh uji klinis skala besar yang menunjukkan bahwa vaksin Corona buatan mereka memiliki tingkat kemanjuran mencapai lebih dari 90 persen.
“Kami memilih mRNA karena kami yakin ini adalah teknologi masa depan. Juga telah dibuktikan bahwa teknologi ini berkembang paling cepat dan melaporkan kemanjuran 94 persen hingga 95 persen pada manusia, yang merupakan tingkat tertinggi," ujarnya.
Simak Video Berikut Ini
Uji Klinis ChulaCov19, Vaksin Corona dari Thailand
Peneliti di Thailand berharap dapat menyelesaikan uji klinis tahap I pada Juni, dan melanjutkan ke tahap II dan kemudian Tahap IIB dengan masing-masing 600 dan 5.000 sukarelawan.
Jika semua berjalan sesuai rencana, Kiat mengatakan ChulaCov19 dapat diproduksi di Thailand pada akhir tahun ini.
“Kami melakukan dua hal secara paralel. Kami menyewa pabrik di luar negeri untuk memproduksi vaksin untuk pengujian pada relawan dan pada saat yang sama menyiapkan pabrik di Thailand untuk diproduksi pada akhir tahun ini," ujarnya.
Menurut Kiat, program ini bertujuan agar Thailand dapat menjadi produsen vaksin, dan lebih siap menghadapi wabah di masa depan.
"Jika ada lebih banyak wabah COVID-19 dalam dua hingga tiga tahun ke depan, kami akan mengatasinya dengan cepat," katanya.
“Kami tidak akan takut lain kali. Teknologi ini memungkinkan kami mengembangkan vaksin untuk penyakit lain seperti demam berdarah, alergi, dan kanker. Kami sedang membangun fondasi sehingga kami tidak perlu hanya duduk dan menunggu untuk membeli vaksin tetapi menjualnya sendiri," Kiat menambahkan.
Advertisement
Pujian untuk Thailand
Sebelumnya, Thailand mendapat pujian dari Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, atas kemampuan negara tersebut mengatasi pandemi COVID-19.
Thailand pernah dalam satu bulan tanpa transmisi lokal. Meskipun akhirnya pada Desember 2020 ada lonjakan kasus COVID-19 yang berasal dari klaster pasar makanan laut.
Lonjakan kasus telah memaksa pemerintah Thailand untuk memesan vaksin Corona yang cukup bagi hampir 70 juta penduduk Thailand. Menurut Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, sejauh ini Thailand telah memesan 28 juta dosis vaksin COVID-19 dari dua produsen asing.
2 juta dosis pertama akan disuplai oleh produsen dari China, Sinovac pada Februari hingga April 2021. Sementara 26 juta dosis lainnya akan disuplai oleh AstraZeneca-Oxford untuk memvaksinasi lebih banyak orang di bulan Juni.
“Pemerintah sudah memesan 26 juta dosis untuk 13 juta orang di kelompok yang berisiko (terpapar COVID-19). Kami juga meminta untuk membeli 35 juta lebih dosis untuk mencakup lebih banyak orang," ujar Prayut dalam postingan di media sosial Facebook pada 15 Januari.
“Untuk penyebaran, setidaknya 50 persen penduduk harus divaksinasi, atau bahkan lebih baik, 70 persen. Untuk memvaksinasi 50 persen dari populasi atau 33 juta orang misalnya, kita membutuhkan 66 juta dosis," Prayut menambahkan.
(Penulis: Rizki Febianto)