Liputan6.com, Jakarta - Khawatir dengan varian virus Corona COVID-19 yang sangat mudah menular dan penyebaran tanpa gejala, Jepang merevisi strategi penanganan pandemi pada awal Februari. Pengujian baru dilakukan ketika banyak wilayah dinyatakan bebas dari keadaan darurat dua bulan.
Pekan lalu pemerintah Jepang melakukan upaya pertama pada pengujian acak dan terarah sistematis. Sekitar 600 orang di Utsunomiya, utara Tokyo, diuji untuk virus Corona.
Baca Juga
Sekitar 300 orang di kota dan 300 lainnya di sekolah-sekolah lokal diberikan tes PCR berbasis air liur. Hal ini diharapkan akan mencegah gelombang baru infeksi. Pasalnya, Jepang juga tengah bersiap menjadi tuan rumah Olimpiade pada Juli.
Advertisement
Dilansir dari Al Jazeera, jika dibandingkan dengan pengujian massal di Korea Selatan, China, dan negara lain, upaya yang dilakukan Jepang terbilang kecil. Namun, ini menjadi latihan bagi Jepang sebelum diterapkan di wilayah-wilayah lain demi peningkatan yang signifikan.
Simak juga video berikut
Tuai Kritik dari ahli
Namun, banyak ahli kesehatan yang mengatakan bahwa strategi penanganan pandemi COVID-19 yang diperbarui tersebut masih jauh dari yang dibutuhkan. Salah satu alasannya karena inokulasi baru saja dimulai dan persediaan vaksin terbatas.
Ahli genetika dan peneliti kanker Yusuke Nakamura menyebut, kebijakan kementerian kesehatan untuk menghindari pengujian massal demi menghemat tenaga dan sumber daya rumah sakit terbalik dan sama sekali salah.
Menurutnya, Jepang telah menyia-nyiakan peluang untuk menurunkan infeksi hingga nol dengan pengujian PCR ekstensif dan harus berinvestasi besar-besaran dalam sistem pengujian PCR otomatis.
Selama pandemi, Jepang telah melakukan sekitar 60 tes COVID-19 per 1.000 orang. Pemerintah Jepang berkonsentrasi pada pemecahan kelompok dengan menelusuri sumbernya. Kementerian kesehatan pun mempertahankan aturan pengujian COVID-19 sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement