Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) menemukan bahwa data keamanan Vaksin Nusantara diganti dan tidak konsisten. Dalam hal ini, data keamanan tercatat hanya yang baru, sedangkan data yang lama dihilangkan.
Menurut Kepala BPOM, Penny K. Lukito, adanya penggantian data mengakibatkan penelusuran data asli Vaksin Nusantara sulit ditelusuri. Bahkan tidak dapat diketahui apa yang menyebabkan data berubah.
Advertisement
"Data-data keamanan yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data yang lama, sehingga tidak dapat ditelusur keaslian data dan tidak dapat diketahui penyebab perubahan data tersebut," kata Penny sebagaimana keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Rabu, 14 April 2021.
Ada juga data dari Vaksin Nusantara yang tidak konsisten, terutama pencatatan relawan yang mengikuti uji klinik fase 1. Data studi uji klinik fase 1, sebanyak 20 dari 28 relawan (71,4 persen) mengalami Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam grade 1 dan 2, seperti nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, demam dan mual.
Kejadian yang Tidak Diinginkan pada grade 3 juga terjadi, yakni relawan uji klinik Vaksin Nusantara mengalami hipernatremia (konsentrasi natrium yang tinggi dalam darah) dan peningkatan Blood Urea Nitrogen/BUN (kadar urea nitrogen dalam darah) juga kolesterol.
"Terdapat inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet, dan case report form terhadap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami oleh subjek. Sehingga tidak dapat diketahui mana data yang benar," Penny menambahkan.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Relawan Uji Klinik Vaksin Nusantara yang Tak Masuk Kriteria Tetap Diikutsertakan
Penny K. Lukito juga membeberkan, relawan uji klinik fase 1 Vaksin Nusantara ada yang tetap diikutsertakan, padahal yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria uji klinik di RSUP Dr. Kariadi.
"Terdapat subjek yang tidak dapat direkrut karena tidak masuk dalam kriteria inklusi (sudah memiliki antibodi), tetapi diikutkan dalam penelitian. Hal ini tidak sesuai dengan protokol dan menyebabkan hasil tidak valid," ungkap Penny.
Persetujuan Lolos Kaji Etik pun penelitian tidak dilakukan oleh Komite Etik tempat dilakukan penelitian. Tidak ada notifikasi dan penyerahan protokol kepada Komite Etik di RSUP Dr. Kariadi terkait penelitian.
Artinya, tidak ada kajian dari Komite Etik setempat. BPOM menilai hal itu kritikal karena tugas utama Komite Etik adalah mengawasi hak dan keamanan relawan penelitian.
"Dalam wawancara dengan ketua Komite Etik RSUP Dr. Kariadi, disampaikan bahwa Ketua Komite Etik melakukan monitoring dengan melihat saat proses pengambilan informed consent, tetapi tidak melakukan kajian dan pengawasan terhadap keamanan subjek selama penelitian," Penny melanjutkan.
Temuan di atas, dari data dan relawan uji klinik termasuk temuan BPOM dari hasil inspeksi pada 12–13 Maret 2021 ke center uji klinik RSUP Dr. Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan. Temuan ini bagian aspek Pemenuhan Good Clinical Practice (GCP).
Advertisement
Pengujian Vaksin Nusantara Dilakukan Warga Negara Asing
Temuan BPOM lain, Case Report Form (CRF) menggunakan sistem elektronik dengan nama Redcap Cloud yang dikembangkan oleh sponsor Vaksin Nusantara, yakni AIVITA Biomedical Inc dengan server di Amerika.
Sayangnya, keberadaan AIVITA Biomedical Inc tidak disinggung dalam perjanjian kerjasama yang ada dengan Badan Litbangkes Kemenkes.
Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendritik dilakukan oleh AIVITA Biomedical Inc, yang dilakukan tenaga dari Warga Negara Asing. Terkait hal tersebut, belum ada kontrak antara Aivita Biomedical dengan RSUP Dr. Kariadi.
"Perjanjian kerjasama yang ada antara Badan Litbangkes dengan PT Rama Emeralds tidak menyebutkan apa yang menjadi kewajiban dari Aivita Biomedical Inc dalam uji klinik vaksin dendritik yang dilakukan di Indonesia dan lingkupnya hanya untuk uji klinik fase 2 dan fase 3," terang Penny K. Lukito.
"Dengan perjanjian seperti ini, membuat pihak AIVITA Biomedical merasa tidak punya kewajiban untuk bekerja sesuai standar dan peraturan di Indonesia."
Infografis Larangan Mudik Lebaran 2021 dan Siasat Warga
Advertisement