Perlu Kerjasama Regional Guna Mengurangi Kejadian Kanker Payudara Tahap Lanjut

70 persen dari 10.000 kasus kanker payudara di Indonesia adalah stadium 3 dan 4

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 07 Jul 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2021, 14:00 WIB
Benarkah Kanker Payudara Bisa Terjadi pada Wanita Muda? (Astock Productions/Shutterstock)
Benarkah Kanker Payudara Bisa Terjadi pada Wanita Muda? (Astock Productions/Shutterstock)

Liputan6.com, Jakarta - Dari 260 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 65.800 kasus kanker payudara. Berdasarkan data Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI), 70 persen dari 10.000 kasus kanker payudara adalah stadium 3 dan 4.

Saat ini, butuh sebuah kebijakan nasional mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan guna menekan kejadian kanker payudara tahap lanjut.

Sayangnya, belum semua negara memiliki semua kebijakan ini. Terutama di negara miskin dan berkembang. Padahal, dengan adanya kerjasama antara negara, bisa menjadi ajang berbagi pengalaman mengenai bagaimana menanganani kanker payudara secara komprehensif dan menyeluruh.

Tidak banyak yang tahu bahwa sejak 2016 sebuah forum bernama The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) rutin dilaksanakan.

Untuk tahun ini, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan forum global berkumpulnya para tenaga medis profesional di bidang kanker payudara, komunitas-komunitas kanker payudara, pasien, penyintas, bidan, tenaga kesehatan, dan wakil pemerintah.

Ada pun penyelenggaranya adalah Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI).

SEABCS 2021 akan dihelat selama dua hari, sejak 31 Juli hingga 1 Agustus 2021. Namun, disebabkan pandemi COVID-19 masih melanda dunia, pertemuan akan dilaksanakan secara daring (online).

Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), Linda Agum Gumelar S IP, menjelaskan, tema SEABCS 2021 adalah Putting Patients to the Heart of Cancer Control atau menempatkan pasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker.

“Masalah yang dihadapi hampir semua komunitas kanker payudara dinegara ASEAN, sebenarnya hampir sama. Misalnya pemahaman tentang penyakit kanker yang minim, kesadaran deteksi dini yang rendah, menunda terapi, akses ke fasilitas kesehatanyang terbatas, hingga kebijakan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan dalampenanganan pasien kanker,” kata Linda seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Rabu, 7 Juli 2021.

Simak Video Berikut Ini

Persoalan Sama tapi Penyelesaiannya Berbeda

Menurut Linda, meskipun persoalan yang dihadapi sama, tapi terkadang penyelesaiannya berbeda,“Kita banyak belajar dari berbagai komunitas di negara lain. Di Filipina, misalnya, komunitas kanker payudara di sana berhasil memasukkan persetujuan dari parlemen bahwa pelayanan kanker payudara menjadi prioritas pemerintah.”.

Sebaliknya, lanjut Linda, komunitas di negara lain pun banyak belajar dari Indonesia. Misalnya, mereka belajar dari YKPI bagaimana memanfaatkan organisasi perempuan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yaitu Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) tingkat provinsi. Kemudian tingkat kabupaten/kota ada GOW ( Gabungan Organisasi Wanita ).

"Melalui merekalah antara lain, YKPI melakukan sosialisasi / edukasi tentang pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara," kata Linda.

Selain itu, mobil mamografi milik YKPI sebagai sarana deteksi dini, adalah satu-satunya atau pertama di ASEAN yang menjadi contoh dan banyak diikuti negara lain.

Mewakili Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS), dr Kardinah SpRad(K),menambahkan, deteksi dini dimulai dari SADANIS yang bisa dilakukan sendiri oleh semua individu. Jika ditemukan benjolan, bisa mendatangi Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang sudah dilengkapi USG atau mamograf, perkembangan saat ini sudah ada 3D atau automatedbreast USG di beberapa rumah sakit.

Di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, tersedia mamografi , yang berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Selain itu ada peralatan diagnostik seperti MRI dan PET scan yang lebih canggih, untuk kasus-kasus khusus.

“Sarana deteksi dini sudah ada, program nasional telah dibuat sejak 2008, sistem rujukan diperkuat, tinggal pasiennya, mau melakukan atau tidak. Hanya berpikir benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.

Tidak hanya itu, setelah kasus kanker ditemukan, penanganan selanjutnya menjadi tantangan besar. Menurut Ketua PERABOI, dr Walta Gautama, Sp.B (K) Onk, ketika pasien merasa ada benjolan, untuk berani datang ke fasilitas kesehatan butuh waktu satu hingga tiga bulan. Sampai ditangani dengan benar butuh waktu sembilan hingga 15 bulan.

"Jadi walau kita menekankan pentingnya deteksi dini, kalau penatalaksanaan tidak diperbaiki maka hasilnya akan sama saja. Sebab penanganankanker harus benar dari awal sampai akhir,” katanya.

Hal inilah yang menyebabkan selama 35 tahun terakhir, belum ada kemajuan yang signifikan dalam upaya menekan kejadian kanker payudara stadium 3 dan 4 di tanah air.

dr Walta mengatakan bahwa masalahnya masih sama, yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer ke fasilitas sekunder dan tersier.

"Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah bahkan unggul dibandingkan negara lain,” katanya.

Kerjasama Lintas Profesi di SEABCS

Melalui SEABCS 2021, diharapkan simpul-simpul masalah penanganan kanker payudara di masiing-masing negara bisa terurai dengan berbagi pengalaman.

Ning Anhar, sebagai Wakil Ketua Penyelenggara, menjelaskan, melalui SEABCS ini, kerjasama dengan berbagai komunitas, para ahli, dan pengambil kebijakan diharapkan akan ditingkatkan.

“Harapannya melalui SEABCS akan lahir sebuah rekomendasi yang merupakan hasilpemikiran para ahli dan peserta, yang kemudian bisa dibawa ke pembuat kebijakan masingmasing negara,” ujar Ning.

Dr Walta juga mengharapkan hal yang sama,“Di forum SEABCS kita ingin sharing bagaimana cara mereka mendapatkan data, mengatur regulasi supaya pasien yang ditemukankanker tahap dini tidak butuh waktu lama untuk ditangani. Apalagi soal teknik operasi kitatidak ketinggalan dengan negara lain.”.

Hal senada disampaikan Kardinah bahwa SEABCS adalah ajang advokasi ke pemerintah dalam hal tatakelola program yang terdiri dari tindakan preventif, kuratif hingga paliatif.

"Tatakelola manajemen di tingkat rumah sakit pun harus dibenahi. Selama ini lebih banyakprofesi yang bergerak. Kita mau standar tertentu, tapi infrastruktur di RS tidak memadai," katanya

Infografis Akar Bajakah dari Kalimantan Bisa Sembuhkan Kanker?

Infografis Akar Bajakah dari Kalimantan Bisa Sembuhkan Kanker?
Infografis Akar Bajakah dari Kalimantan Bisa Sembuhkan Kanker? (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya