Liputan6.com, Jakarta Kita tahu bahwa banyak pembicaraan tentang bagaimana obat yang perlu diberikan pada pasien COVID-19. Ada berbagai obat yang tadinya dianggap menjanjikan, tetapi sesudah dilakukan penelitian mendalam, antara lain dalam bentuk 'Solidarity Trial' WHO di puluhan negara maka obat-obat itu ternyata tidak terbukti memberi manfaat yang bermakna.
WHO secara rutin memperbarui rekomendasi pengobatannya berdasar bukti ilmiah terakhir. Pedoman pengobatan WHO terbaru adalah 'WHO Therapeutics and COVID-19: living guideline'Â yang baru saja diterbitkan pada 24 September 2021, beberapa hari yang lalu, dengan membagi obat yang amat direkomendasikan (strong recommendation) dan direkomedasikan pada keadaan tertentu (conditional recommendation), a.l tergantung bukti ilmiah yang tersedia.
Baca Juga
Obat-obat yang termasuk dalam pedoman WHO terbaru ini a.l:
Advertisement
- conditional recommendation penggunaan kombinasi antibodi monoklonal netralisasi (neutralizing monoclonal antibodies) yaitu casirivimab dan imdevimab untuk COVID-19 tidak berat yang punya risiko amat tinggi untuk penyakitnya menjadi berat.
- conditional recommendation penggunaan kombinasi antibodi monoklonal netralisasi (neutralizing monoclonal antibodies) yaitu casirivimab dan imdevimab untuk COVID-19 yang berat dan kritis yang seronegatif.
- strong recommendation penggunaan penghambat reseptor interleukin 6 (IL-6 receptor blockers) yaitu tocilizumab atau sarilumab untuk pasien COVID-19 berat dan kritis
- strong recommendation penggunaan kortikosteroid sistemik untuk pasien COVID-19 berat dan kritis.
Di sisi lain, memang sudah banyak juga dilakukan penelitian untuk mendapatkan obat anti viral yang tidak perlu disuntik, dalam bentuk oral saja.
Pada Januari 2021 misalnya, Kementerian Kesehatan Amerika Serikat (US Department of Health and Human Services) mengumumkan investasi 3 milyar dolar Amerika untuk mendapatkan obat baru COVID-19, utamanya yang dalam bentuk oral.
Disebutkan dana ini adalah untuk seluruh proses menemukan (discovery), pengembangannya (development) dan produksinya (manufacturing)
Â
Tentang Molnupiravir, Obat COVID-19 Keluaran Merck
Pada 1 Oktober 2021 perusahaan Merck dan Ridgeback mengumumkan hasil penelitian obat mereka, yaitu Molnupiravir (MK-4482, EIDD-2801). Ini adalah obat antiviral yang dalam hasil penelitian interimnya menunjukkan penurunan sebesar 50 persen angka perawatan di rumah sakit serta juga mencegah kematian akibat COVID-19, pada pasien derajat ringan dan sedang.
Datanya menunjukkan 7.3 persen pasien (28 orang) yang mendapat molnupiravir (385 orang) dirawat di rumah sakit sampai hari ke 29 penelitian.
Sementara itu, pada mereka yang tidak mendapat molnupiravir, artinya dapat plasebo saja (377 orang) ada 53 orang (14.1 persen) yang harus masuk RS, jadi, sekitar dua kali lipat lebih banyak.
Selain data masuk RS, pada mereka yang tidak dapat molnupiravir ada delapan orang yang meninggal, sementara yang dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke 29 penelitian ini dilakukan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40 persen sampelnya bahwa efikasi molnupiravir adalah konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu.
Â
Advertisement
Efek Samping Molnupiravir
Secara umum efek samping adalah seimbang antara yang dapat molnupiravir dan plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen. Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko, atau yang biasa kita kenal dengan komorbid. Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua (> 60 tahun).
Hasil interim uji klinik fase 3 ini khabarnya akan diproses untuk kemungkinan izin edar dalam bentuk Emergency Use of Authorization (EUA) ke BPOM Amerika Serikat (US-FDA), yang tentu nanti akan menilai semua data dan kelayakan yang ada.
Secara umum Molnupiravir (MK-4482/EIDD-2801) adalah ribonucleoside analog yang menghambat replikasi virus SARS-CoV-2.
Selain uji klinik ini maka pihak perusahannya juga menginformasikan bahwa Molnupiravir juga menunjukkan hasil baik pada beberapa uji pre klinik, termasuk untuk pencegahan, pengobatan dan mencegah penularan.
Juga sedang dilakukan evaluasi tentang kemungkinan penggunaan molnupiravir untuk post-exposure prophylaxis. Tentu kalau hasil-hasil uji pre klinik ini baik maka harus diteruskan dengan uji klinik, sampai fase ke tiga seperti di atas.
Penulis adalah Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI/ Guru Besar FKUIMantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes.