Liputan6.com, Bali Indonesia kini memikul peran besar dalam upaya memenuhi pasokan vaksin mRNA (messenger RNA) ke negara-negara belahan bumi selatan. Sebagai pembuka pintu gerbang, Indonesia sudah ditunjuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi hub (pusat) vaksin mRNA di kawasan Asia Tenggara pada 23 Februari 2022.
Penunjukkan Indonesia menjadi hub produksi vaksin mRNA adalah buah perjuangan berharga demi mendukung kesetaraan akses vaksin, terutama vaksin COVID-19 di negara-negara berpenghasilan rendah.
Presidensi G20 Indonesia juga turut menyuarakan pemerataan akses vaksin dan mendorong perluasan pusat produksi manufaktur serta riset global untuk kebutuhan vaksin, diagnostik, dan terapeutik.
Advertisement
Baca Juga
Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Tata Kelola Pemerintahan Ronaldus Mujur menyampaikan, fokus pembahasan Presidensi G20 di sektor kesehatan salah satunya memperluas pusat-pusat produksi dan riset global untuk pencegahan pandemik dan respons pendukung. Bahwa Indonesia ingin memperluas akses vaksinasi, terapeutik, dan diagnostik.
“Untuk (akses) vaksin dan pusat-pusat manufaktur yang kita miliki sekarang ada di bagian utara dunia tapi di bagian selatan dunia sangat minim kapasitasnya. Jadi, kami berterima kasih kepada WHO yang memberikan kepercayaan kepada kita mencoba untuk menciptakan pusat-pusat atau hub-hub vaksin untuk Indonesia,” ujar Ronald saat acara C20 Kick Off Meeting WG Vaccine Access and Global Health: What can the G20 do to Achieve Vaccine Access for All? yang digelar di Conrad Hotel Bali, Janger, Bali, ditulis Senin (28/3/2022).
“Kami sendiri berusaha mengundang sebagian besar produsen vaksin, terapeutik, dan diagnostik untuk datang ke Indonesia. Tentunya, menjadikan Indonesia sebagai pusat untuk mensuplai (vaksin) dunia bagian selatan, terutama Afrika Selatan.”
Perkuat Jejaring Global
Demi mendukung pembangunan hub vaksin, Ronaldus Mujur menambahkan, dibutuhkan perluasan pusat-pusat produksi manufaktur dengan memperkuat jejaring global. Implementasi yang dapat dilakukan adalah memperkuat jejaring para ilmuwan dan peneliti dari berbagai benua.
Dalam hal ini, setiap ilmuwan dari berbagai negara mampu bersinergi. Upaya ini demi menghasilkan respons dan tindak lanjut lebih cepat bilamana dibutuhkan akses cepat terkait kebutuhan saat wabah atau pandemi terjadi.
“Kita perlu memperkuat jejaring global yang terdiri dari para ilmuwan. Jadi, mereka tidak hanya terpusat di Amerika, Tiongkok atau Eropa, tapi di bagian selatan dari dunia juga perlu diperkuat,” lanjut Ronald.
“Kalau saya menggunakan analogi dari Kementerian Kesehatan, kita lihat atau pernah nonton film dan semua tantangan yang di dunia adanya di negara-negara bagian selatan. Maka, kita fokusnya hub vaksin di negara bagian selatan. Kalau hanya di bagian utara dunia ya akan sangat buruk sekali bagi ketahanan dunia. Ini akan sulit sekali untuk merespons pandemi.”
Pembangunan hub vaksin mRNA di Indonesia yang juga didorong alih transfer teknologi mRNA juga bertujuan memberikan penguatan dan perlindungan sistem kesehatan dalam negeri. Pembahasan dan upaya saat ini terus berjalan, terlebih mengenai pendanaan dan kebutuhan sumber daya.
“Kita perlu memproteksi atau melindungi negara kita terlebih dahulu sebelum kita membantu yang lain. Intinya, bagaimana kita menghadapi pandemi, salah satu syaratnya memastikan kesetaraan atau pusat manufaktur di negara-negara bagian selatan,” terang Ronald.
‘Untuk melakukan hal tersebut, kita tentunya butuh pendanaan dan mekanisme yang cepat mobilisasi sumber daya dari negara bagian utara menuju negara bagian Selatan. Maka, kita bisa lebih cepat bisa memobilisasi sumber daya tersebut. Saya rasa akan kita usahakan di masa mendatang dengan mempertimbangkan input-input dari organisasi masyarakat sipil.”
Advertisement
Alih Teknologi mRNA
Secara paralel, WHO mengintensifkan penguatan sistem regulasi melalui Global Benchmarking Tool (GBT), sebuah instrumen yang menilai tingkat kematangan otoritas regulasi.
GBT akan menjadi parameter utama bagi WHO untuk memasukkan regulator nasional ke dalam daftar Otoritas yang terdaftar di WHO. Tujuan lainnya, untuk membangun jaringan pusat keunggulan regional yang akan bertindak sebagai penasihat dan pemandu bagi negara-negara dengan sistem regulasi yang lebih lemah.
Lima negara yang menerima dukungan dari alih teknologi pusat mRNA global, yakni Afrika Selatan, Bangladesh, Indonesia, Pakistan, Serbia, dan Vietnam. Negara-negara ini diverifikasi oleh sekelompok ahli dan membuktikan bahwa memiliki kapasitas untuk menyerap teknologi dan mampu diberikan pelatihan yang ditargetkan, bergerak ke tahap produksi dengan relatif cepat.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang terus mendukung pemerataan vaksin dan pemerataan akses vaksin COVID-19 untuk semua negara, termasuk melalui transfer teknologi vaksin ke negara berkembang,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam pernyataan resmi WHO pada 23 Februari 2022.
“Transfer teknologi ini akan berkontribusi pada akses yang sama ke penanggulangan kesehatan, yang akan membantu kita pulih bersama dan pulih lebih kuat. Solusi seperti inilah yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Solusi yang memberdayakan dan memperkuat kemandirian, serta solusi yang memungkinkan kita berkontribusi pada ketahanan kesehatan global.”
Sejak diumumkan pada 21 Juni 2021, tujuan dari hub transfer teknologi mRNA untuk membangun kapasitas manufaktur di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam memproduksi vaksin mRNA melalui pusat keunggulan dan pelatihan (mRNA vaccine technology transfer hub).
Hub yang pertama kali berlokasi di Afrigen, Cape Town, Afrika Selatan, dan akan bekerja dengan jaringan penerima teknologi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Banyak negara menanggapi seruan minat mendapat alih teknologi mRNA pada akhir tahun 2021. WHO akan memberikan dukungan kepada semua negara yang minat. Saat ini, WHO memprioritaskan negara-negara yang tidak memiliki teknologi mRNA, tetapi sudah memiliki infrastruktur dan kapasitas biomanufaktur.
Hub Vaksin mRNA Atasi Krisis Kesehatan
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan, hub vaksin mRNA memiliki potensi untuk memperluas kapasitas produksi, menempatkan negara-negara memproduksi jenis vaksin dan produk lain yang mereka butuhkan untuk mengatasi prioritas kesehatan mereka.
“Tidak ada peristiwa lain seperti pandemi COVID-19 yang menunjukkan bahwa ada ketergantungan terhadap beberapa perusahaan untuk memasok barang,” kata Tedros melalui pernyataan resmi WHO pada 18 Februari 2022.
“Dalam jangka menengah hingga panjang, cara terbaik untuk mengatasi keadaan darurat kesehatan dan mencapai cakupan kesehatan universal adalah meningkatkan kapasitas semua daerah secara signifikan untuk memproduksi produk kesehatan yang mereka butuhkan dengan akses yang adil.”
Di Indonesia, induk Holding BUMN Farmasi PT Bio Farma dipastikan akan mampu membuat vaksin terbaru dengan platform teknologi mRNA. Bio Farma sebagai manufaktur vaksin terbesar di Asia Tenggara mempunyai kapasitas produksi mencapai 3,2 miliar tiap tahun dan menyediakan 14 jenis vaksin yang sudah diekspor ke lebih dari 150 negara.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, Bio Farma sudah mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pengembangan teknologi mRNA, seperti pembangunan fasilitas produksi untuk pembuatan mRNA skala Pilot dan skala komersial terbatas (gedung 34) dan juga yang terpenting adalah Human Resources.
“Tentu kami menyambut baik, ditunjuknya Bio Farma sebagai satu-satunya perusahaan vaksin di Indonesia yang akan menerima transfer teknologi mRNA. Insya Allah kepercayaan ini, akan kami manfaatkan untuk mendukung kemandirian bangsa dalam membuat vaksin dengan teknologi terbaru secara mandiri” ungkap Honesti melalui keterangan resmi pada 24 Februari 2022.
Sebelumnya, Bio Farma telah mencari partner untuk pengembangan melalui penjajakan kerjasama dengan University of Manchester untuk penguasaan seed mRNA sehingga sudah Bio Farma sudah memiliki dasar teknologi mRNA.
Sebagai langkah awal, sesuai dengan program Transfer of Technology, Bio Farma akan belajar mengenai pembuatan vaksin COVID-19 dengan teknologi mRNA.
“Namun intinya adalah kami akan belajar menguasai platform teknologi mRNA ini untuk jenis vaksin selain COVID-19 (beyond COVID-19) dan untuk persiapan manakala terjadi pandemi, karena mRNA merupakan teknologi rapid response, yakni teknologi cepat dalam pengembangan dan produksi vaksin (plug and play),” tutup Honesti.
“Selain untuk pembuatan vaksin, teknologi mRNA bisa juga digunakan untuk pembuatan produk terapeutik, seperti obat kanker dan lain-lain.”
Advertisement
Distribusi Vaksin COVID-19 Tak Merata
Pembahasan memperluas kapasitas produksi manufaktur, yang dibangun dari adanya hub vaksin mRNA melihat terjadinya ketimpangan vaksin COVID-19. Bahwa ketidaksetaraan akses vaksin di antara negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah sangat rendah dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi.
Ronald Mujur memaparkan ada tiga penyebab ketimpangan vaksin COVID-19. Pertama, seputar teknologi dan pembiayaan. Negara maju dan berpenghasilan tinggi mempunyai teknologi yang canggih juga punya ekosistem dan infrastruktur yang baik.
Negara maju mengembangkan teknologi vaksin lebih cepat dibanding dengan negara-negara berpenghasilan rendah. Kedua, soal pembiayaan. Negara maju mampu menghasilkan vaksin dalam tahapan uji coba klinis dengan pembiayaan cukup.
“Untuk membiayai pengembangan pengembangan vaksin harus ada sehingga secara praktis, hal ini tidak bisa dilakukan oleh negara berpenghasilan rendah maupun negara berpenghasilan menengah dan dalam tahap pertengahan pandemi, akses ke vaksin menjadi masalah,” beber Ronald.
“Untungnya, kita punya COVAX yang bisa mendistribusikan vaksin COVID-19 secara merata dari vaksin yang negara-negara maju berikan ke COVAX. Saat ini, Indonesia mendapatkan banyak sekali bantuan vaksin dari COVAX. Pertanyaannya, mengapa COVAX tidak membagikan rata kepada negara berpenghasilan rendah.”
Ketiga, masalah terkait suplai dan kapasitas untuk mengeksekusi vaksin. Perlu adanya layanan kesehatan yang diperkuat dari negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ini karena mereka tidak memiliki layanan kesehatan yang cukup. Negara-negara berpenghasilan tinggi berusaha mensuplai vaksin sebanyak mungkin.
“Tapi masalahnya bukan suplai lagi, melainkan bagaimana kita bisa mengeksekusi. Jadi, kita berusaha untuk mengangkat hal ini ke dalam Presidensi G20 kita soal pembiayaan vaksin sendiri dan yang terakhir adalah sistem ketahanan kesehatan untuk bisa mengeksekusi vaksin tersebut,” imbuh Ronald.
Infografis Tak Usah Pilih-Pilih, Ayo Cepat Vaksin Covid-19
Advertisement