Epidemiolog Sebut Antibodi 99,2 Persen Tak Bisa Gambarkan Keseluruhan Indonesia

Antibodi 99,2 persen tidak bisa menggambarkan kondisi secara umum di Indonesia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 26 Apr 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2022, 09:00 WIB
FOTO: Sebagian Pemudik Pulang Kampung Lebih Awal Hindari Puncak Arus Mudik
Sejumlah penumpang menaiki bus Antar Kota Antar Provinsi di Terminal Bayangan Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (21/4/2022). Sebagian pemudik memilih pulang kampung lebih awal untuk menghindari puncak arus mudik yang diperkirakan dimulai pada H-5 dan H-3 Lebaran 2022. (Liputan.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Epidemiolog Masdalina Pane menegaskan, antibodi COVID-19 penduduk di angka 99,2 persen tidak bisa menggambarkan keseluruhan kondisi di Indonesia. Sebab, persentase tersebut ditarik dari hasil sero survei antibodi untuk penduduk di Pulau Jawa dan Bali saja.

Sesuai hasil survei serologi pada Maret 2022, Kementerian Kesehatan bersama dengan tim epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menyatakan, lebih dari 99,2 persen populasi di Pulau Jawa dan Bali telah memiliki antibodi COVID-19.

Persentase antibodi COVID-19 di Pulau Jawa dan Bali meningkat. Pada survei serologi Desember 2021, antibodi di angka 93 persen dari sampel yang diambil di 30 kabupaten/kota di kedua pulau tersebut. Selanjutnya, pada sero survei kedua pada Maret 2022, persentase antibodi pun meningkat, menjadi 99,2 persen.

Data hasil survei antibodi 99,2 persen diambil dari sampel di 21 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali, terutama kabupaten/kota asal-tujuan mudik Idulfitri 2022. Sampel diambil dari sebagian orang yang terlibat pada survei Desember 2021.

"Kalau jumlah sampelnya (survei antibodi) hanya 2.100 dan dilaksanakan di 21 kabupaten/kota, tentu itu tidak bisa digeneralisir ke (keseluruhan gambaran) Indonesia. Mengapa? Karena jumlah sampel yang begitu kecil," terang Masdalina saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Senin, 25 April 2022.

"Ditemukan orang yang divaksin kan sudah banyak ya. Kalau orang yang sudah divaksin 60 persen, maka jumlah sampelnya akan menjadi kecil."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Survei Antibodi sebagai Alat Monitor

Ratusan Pedagang Tanah Abang Jalani Vaksinasi COVID-19
Suasana vaksinasi massal di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (31/7/2021). Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan meminta Kemenkes bersama TNI-Polri terus mempercepat program vaksinasi COVID-19 hingga mencapai dua juta suntikan per hari mulai Agustus 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Upaya Pemerintah melakukan sero survei antibodi, menurut Masdalina Pane, merupakan bagian dari surveilans. Dalam hal ini, sebagai alat monitor, namun tidak menggambarkan keseluruhan kondisi antibodi COVID-19 di Indonesia.

Antibodi COVID-19 masyarakat Indonesia pun naik lebih signifikan pada seseorang yang terkena infeksi alamiah atau pernah positif COVID-19. Antibodi yang dihasilkan diperoleh dari infeksi alamiah dan vaksinasi COVID-19.

Survei antibodi pun dilakukan secara berkala. Jika dikaitkan dengan situasi sekarang, dapat dikatakan banyak orang sudah punya antibodi COVID-19 secara alamiah. Artinya, di tengah jumlah varian Omicron yang mendominasi di Indonesia, sebagian besar penduduk sudah terkena dan punya antibodi alamiah.

"Omicron sekarang kan banyak di Indonesia. Saya pikir banyak orang punya antibodi terhadap Omicron, karena memang antibodi kita sebenarnya sudah ada (banyak yang terinfeksi Omicron), apakah antibodi didapat secara alami dan vaksin," jelas Masdalina.

"Tapi tidak divaksin itu biasanya menghasilkan antibodi rendah. Persentase antibodi yang besar berasal dari antibodi yang didapat dari infeksi alamiah. Jadi, survei antibodi antibodi sebenarnya dilakukan secara berkala sebagai bagian dari surveilans. Itu sebagai alat monitor."


Vaksinasi Booster sebagai Upaya Pencegahan

FOTO: Vaksinasi Dosis Ketiga COVID-19 di Gereja HKBP Menteng Anno 1955
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 penguat (booster) atau dosis ketiga di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Menteng Anno 1955, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022). Vaksinasi digelar setiap Senin-Jumat sampai tanggal 5 Februari 2022. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Menilik hasil survei antibodi di angka 99,2 persen, Masdalina Pane menekankan, dirinya lebih memercayai data aktual dibandingkan data sampel. Hal itu mungkin bisa menunjukkan seluruh masyarakat indonesia.

"Jadi, saya lebih percaya pada 61 persen melakukan vaksinasi dosis 2, ditambah dengan mereka yang terinfeksi oleh mereka yang terinfeksi juga kan jadi walaupun mereka walaupun mereka terinfeksi mereka tetap angka 60 persen dari cakupan vaksinasi dosis 2," ucapnya.

"Target 70 persen di akhir Desember 2021 sampai hari ini, masih 60 persen. Terus maju lagi ke bulan Februari, maju lagi ke April 2022, sekarang sudah April mau berakhir."

Adanya target capaian vaksinasi COVID-19, khususnya booster. Vaksinasi booster pun diberikan kepada orang yang dapat booster sebagai upaya pencegahan lebih optimal.

"Satu target sudah booster-booster itu diberikan ketika Anda berisiko (terjadi) peningkatan kasus atau ada varian baru COVID-19 yang virulen di bulan Juni dan Juli 2021," pungkas Masdalina.


Vaksinasi Booster Tidak Bisa Cegah Infeksi COVID-19

Vaksinasi Penguat Digelar Sampai Jelang Mudik Lebaran 2022
Sejumlah warga saat mengantre vaksin booster di Jakarta, Rabu (6/4/2022). Kegiatan vaksinasi booster ini digelar sampai jelang mudik, dimana saat ini 503 gerai vaskin yang tersebar di wilayah hukum Polda Metro Jaya. (merdeka.com/Imam Buhori)

Ditegaskan Masdalina Pane, vaksinasi booster bukanlah vaksin yang diberikan secara berkala. Booster memang bisa meningkatkan antibodi, tetapi tidak bisa mencegah seseorang terinfeksi.

"Kalau dikatakan bahwa vaksin berfungsi dengan menekan kasus Omicron, itu bukan karena vaksinnya tapi memang karakteristik Omicron berbeda dengan Delta di Indonesia," lanjutnya.

"Afrika bisa menyelesaikan (kasus akibat varian Omicron) dalam 6 sampai 8 minggu. Namun, cakupan vaksinasi di sana rendah, baru sekitar 18 persen dan tidak ada antrean pada pelayanan kesehatan," pungkas Masdalina Pane.

"Tidak ada overcapacity pada pelayanan kesehatan berapa persen hasilnya 18 Rendahnya sampai hari ini merupakan wilayah atau benua yang rendah cakupan vaksinasinya."

Pemerintah telah membolehkan masyarakat untuk mudik pada tahun ini. Namun, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Di antaranya, persyaratan sudah harus melakukan vaksin ketiga atau booster dan tetap mengikuti protokol kesehatan (prokes) selama mudik.

Namun, jika belum melakukan vaksin booster, masyarakat yang ingin mudik Lebaran harus menunjukan bukti tes swab antigen. Hal tersebut untuk mencegah kenaikan kasus COVID-19 pasca libur Lebaran yang kerap terjadi.

Dalam surat edaran terbaru, Satgas COVID-19 juga menyebutkan beberapa ketentuan. Hal tersebut tercantum dalam Addendum Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Nomor 16 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri dalam Masa Pandemi.

"Syarat mudik Lebaran 2022 terbaru wajib PCR tidak berlaku bagi PPDN yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis ketiga atau booster. Mereka sudah tidak diwajibkan lagi menunjukkan hasil negatif tes RT-PCR atau rapid test antigen," kata Masdalina.

Infografis Benarkah Vaksin Covid-19 Bikin Kekebalan Tubuh 100 Persen?
Infografis Benarkah Vaksin Covid-19 Bikin Kekebalan Tubuh 100 Persen?
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya