Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 menunjukkan mutasi baru dari Omicron yakni subvarian BA.4 dan BA.5. Di masa mendatang, virus ini masih memiliki kemungkinan bermutasi sementara imun tubuh semakin lama semakin menurun.
Terkait hal ini, Ketua Umum Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI) Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI mengatakan, penurunan sistem imun memang terjadi seiring berjalannya waktu.
Baca Juga
“Semakin bertambah usia memang penurunan sistem imun bisa terjadi. Selain itu, stres juga bisa menjadi salah satu pemicunya,” ujar Iris dalam konferensi pers virtual bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Senin (13/6/2022).
Advertisement
Ia menambahkan, ada upaya agar sistem imun tetap terjaga yakni dengan menerapkan gaya hidup sehat. Penerapan gaya hidup sehat termasuk tidur 8 jam, minum air 8 gelas per hari dengan setiap gelasnya 250 mili atau 2 liter per hari.
“Istirahat cukup, makanan yang sehat, berdoa, dan sebagainya. Yang seperti itu harus tetap kita jalankan sehari-hari. Karena tubuh kita tidak bisa dipaksa terus bekerja tapi tidak disertai gaya hidup sehat.”
Di sisi lain, vaksinasi saja tidak cukup, lanjutnya, konsumsi mineral dan vitamin itu direkomendasikan.
“Salah satunya vitamin B yang sekarang menjadi primadona karena vitamin B bisa meningkatkan sistem imun di samping vitamin-vitamin yang lain.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Konsumsi Imunomodulator
Iris juga mempersilakan jika masyarakat ingin mengonsumsi imunomodulator atau zat pengatur sistem kekebalan tubuh yang bisa berasal dari bahan herbal alami.
“Banyak sekarang herbal-herbal yang beredar, ya asal herbalnya benar, silakan konsultasi saja ke dokter masing-masing, yang mana yang boleh dipakai untuk meningkatkan imun sistem.”
“Jadi tidak bisa hanya vaksin saja, tidak bisa hanya protokol kesehatan saja, tidak bisa juga hanya makanan sehat tanpa protokol kesehatan, kita anjurkan sebisa mungkin semuanya lengkap.”
Di sisi lain, dengan adanya mutasi, beberapa varian atau subvarian memiliki kemampuan untuk menghindar dari sistem imun. Hal ini terjadi ketika sistem imun tubuh tidak mengenal virus yang baru karena tidak pernah terkontaminasi.
Kemampuan menghindari sistem imun sempat dijelaskan pula oleh dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Erlina Burhan.
Menurutnya, kemampuan ini dimiliki oleh subvarian BA.4 dan BA.5. Data interim (sementara) dua subvarian itu menunjukkan bukti beberapa perubahan antigenik dibandingkan dengan BA.2 berdasarkan pemodelan struktural.
Advertisement
Perubahan Antigenik
BA.4 dan BA.5 paling dekat hubungannya dengan BA.2. Pemodelan struktural menunjukkan kemungkinan ada perubahan antigenik yang terkait dengan L452R yang ditemukan pula di varian Delta dan F486V yang keduanya dapat memengaruhi antibodi.
“Ini level kepercayaannya sedang jadi mungkin kita lebih percaya bahwa BA.4 dan BA.5 ini mudah menular karena kemampuan menghindari sistem imun,” kata Erlina dalam seminar daring Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Minggu (12/6/2022).
Menurut Iris, Kasus-kasus seperti ini lebih banyak ditemukan di perkotaan ketimbang di desa. Di kota seperti Jakarta, gaya hidup masyarakat lebih tidak sehat dan pemicu stresnya lebih banyak.
“Di daerah datanya lebih rendah ditambah penduduknya lebih sedikit, lingkungan hidup mereka lebih baik dan lebih banyak di rumah . Jika begitu bisa saja sistem imun mereka lebih baik karena hidup lebih sehat dan faktor stresnya tidak sebanyak di Jakarta. Jadi faktor geografis juga menentukan,” ujar Iris.
Pengaruh Stres Terhadap Sistem Imun
Pengaruh stres terhadap sistem imun juga pernah disinggung oleh spesialis kedokteran jiwa RS EMC Alam Sutera dr. Andri, FAPM.
Menurutnya, saat ada lonjakan kasus pada Juli 2021, banyak rumah sakit penuh dan kematian yang terjadi akibat COVID-19. Kondisi itulah yang memicu kecemasan yang dirasakan banyak orang.
"Bahkan pengumuman kematian yang sering dari corong masjid di saat Juli 2021 itupun membuat rasa takut yang tidak terkira buat orang yang memiliki bakat untuk mengalami gangguan cemas," ujar Andri dalam keterangan pada rekan wartawan ditulis Selasa, (30/11/2021).
Menurut Andri, jika terjadi stres yang tiba-tiba maka sistem imun akan meningkat. Itu bisa dilihat secara alami saat jatuh atau terkena benturan yang berkaitan dengan stres fisik.
"Sistem imun tubuh akan memobilisasi sel darah putih dan juga meningkatkan perdarahan di sekitar tempat jatuh atau benturan itu. Itulah mengapa kita merasakan adanya rasa panas di awal dan kemerahan kulitnya," kata Andri.
Namun berbeda jika stres yang dialami berlangsung kronis. Apalagi jika berkaitan dengan stres mental. Seseorang pun dapat mengalami penurunan imunitas akibat berbagai macam faktor. Salah satunya dengan peningkatan kortisol atau hormon stres yang terus menerus.
"Peningkatan itu menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi peradangan di tubuh kita. Stres yang lama dan berkepanjangan selain bisa menimbulkan masalah Kejiwaan juga mempengaruhi kesehatan fisik," tambahnya.
Andri mengungkapkan bahwa stres merupakan salah satu faktor penting yang memicu peradangan dan disfungsi sel kekebalan. Stres dapat menyebabkan terjadi peningkatan kadar IL-6 dan sel kekebalan menjadi tidak berfungsi.
Advertisement