Liputan6.com, Jakarta Beberapa negara tengah memproses vaksin cacar monyet. Namun, Indonesia belum memiliki tanda-tanda vaksin cacar monyet mendapatkan izin penggunaan.
Terkait hal tersebut, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Cacar Monyet Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Hanny Nilasari, SpKK mengungkapkan bahwa permintaan terkait vaksin cacar monyet sebenarnya sudah sempat diterima olehnya.
Baca Juga
"Sudah ada dua orang yang japri (jalur pribadi atau menghubungi langsung)Â saya, karena memang saya juga dibidang infeksi menular seksual. Ada yang menanyakan vaksinasi. Jadi mereka inginnya secara preventif untuk melakukan vaksinasi, karena mereka merasa bahwa mereka adalah populasi sangat berisiko," ujar Hanny dalam virtual media briefing Monkeypox bersama PB IDI ditulis Rabu, (3/8/2022).
Advertisement
Hanny menjelaskan, vaksin untuk cacar monyet di Indonesia belum disetujui oleh pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Meskipun sudah ada dua jenis vaksin yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat maupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Vaksin untuk monkeypox ini memang belum di-approve oleh BPOM meskipun sudah ada dua vaksin yang menjadi rekomendasi CDC atau WHO," kata Hanny.
Sehingga menurut Hanny, upaya yang bisa dilakukan saat ini hanyalah dengan memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya pada masyarakat terkait cacar monyet. Terutama pada populasi khusus yang masuk kategori berisiko.
"Menjaga juga supaya PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) tetap dan menjaga imunitas karena virus ini tidak mudah menular. Tapi kalau kita mempunyai imunitas yang rendah tentunya daya penularan menjadi lebih tinggi," ujar Hanny.
Banyak Kasus Datang dari Populasi Khusus
Dalam kesempatan yang sama, Hanny mengungkapkan bahwa cacar monyet memang banyak terjadi pada populasi khusus. Seperti gay, biseksual, lesbian, dan pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Dalam studi yang dipublikasi dalam The New England Journal of Medicine juga menemukan bahwa cacar monyet (monkeypox) 98 persen terjadi pada gay dan pria biseksual.
"Konsentrasinya memang banyak sekali dilaporkan banyak kasus ini pada populasi khusus gay, lesbian, dan juga HIV. Itu dilaporkan sebagai populasi yang cukup banyak terkena dampak dari monkeypox," ujar Hanny.
"Meskipun begitu, masih secara teori bahwa dilaporkan penularannya bukan hanya kontak seksual. Sexual contact tentunya melakukan kontak yang sangat erat dari kulit ke kulit. Tapi yang menjadi concern kita bersama adalah kontak erat," tambahnya.
Hanny menyebutkan bahwa kontak erat tersebut bisa dari kulit ke kulit, mukosa ke mukosa seperti mulut, daerah anus, dan mata. Kontak tersebutlah yang dianggap bisa menularkan virus Monkeypox dalam jumlah banyak.
Advertisement
Penularan Lewat Kontak erat
Pendapat selaras pun disampaikan oleh perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia (PERDOSKI), DR dr H Prasetyadi Mawardi, SpKK.
Menurutnya, cacar monyet memang bukanlah penyakit menular seksual. Hal tersebut tertular karena ada kontak erat yang terjadi. Sehingga virus yang ada lebih mudah untuk tertransmisi.
"Itu (kontak erat) akan memudahkan terjadinya infeksi monkeypox. Kita tahu kalau tadinya beberapa laporan menunjukkan adanya (kasus) pada populasi khusus cenderung meningkat. Kita pahami bahwa itu karena kontak eratnya," ujar Prasetyadi.
Prasetyadi juga menyebutkan, cacar monyet dapat menyebabkan dampak yang lebih serius dari sekadar ruam pada kulit. Hal tersebut berkaca pada kasus pasien cacar monyet di Spanyol yang meninggal dunia akibat terjadinya ensefalitis atau peradangan pada otak.
Laporan dalam The Guardian menyebutkan bahwa salah satu pasien yang meninggal dunia akibat cacar monyet terjadi di wilayah timur laut Valencia dan berkaitan dengan ensefalitis.
Efek Lanjutan Cacar Monyet
Menurut Prasetyadi, cacar monyet memang mungkin menyebabkan terjadinya komplikasi dan infeksi cacar monyet yang berkelanjutan dapat menyebabkan pasiennya meninggal dunia.
"Meskipun cacar monyet dikatakan ringan tapi komplikasinya bisa kemana-mana, yang paling awal adalah komplikasi pada kulit yaitu terjadinya infeksi sekunder pada kulit sekitar yang didapatkan ruam," kata Prasetyadi.
"Infeksi berlanjut itu dapat menyebabkan radang paru, pneumonia. Kemudian bisa masuk ke otak, ensefalitis. Bisa juga berlanjut ke tingkat keparahannya sampai sepsis dan pasien akan meninggal," tambahnya.
Menurut pemaparan dalam laman WebMD, ensefalitis bisa menjadi kondisi yang sangat serius dan menyebabkan terjadinya kejang, kelemahan pada badan, dan gejala lain yang bergantung pada bagian otak yang terkena pada pasien.
Pasien yang mengalami ensefalitis ringan sebenarnya dapat sembuh total. Namun bila terjadi ensefalitis akut, maka sel-sel otak akan terpengaruh. Bagian sumsum tulang belakang juga dapat ikut meradang dalam waktu satu hingga dua minggu setelah terjadi.
Advertisement