Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak mengalami peningkatan. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menemukan bahwa puncak kasus gangguan ginjal akut pada anak terjadi pada dua bulan belakangan.
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI, dr Eka Laksmi Hidayati, SpA(K). Eka menjelaskan, gejala awal gangguan ginjal akut pada anak diawali dengan gejala infeksi. Kemudian disusul dengan penurunan buang air kecil bahkan tidak bisa pipis sama sekali.
Baca Juga
"Kurang lebih seragam gejalanya. Mereka ini diawali dengan gejala infeksi seperti batuk, pilek, atau diare dan muntah. Infeksi tersebut tidak berat," kata Eka dalam konferensi pers bersama IDAI, Selasa (11/10/2022).
Advertisement
"Itulah yang membuat kami heran. Dia hanya beberapa hari timbul batuk, pilek, diare atau muntah, dan demam. Kemudian dalam tiga sampai lima hari mendadak tidak ada urinnya. Jadi tidak bisa buang air kecil, betul-betul hilang sampai sekali buang air kecilnya. Hampir semuanya datang dengan tidak buang air kecil atau buang air kecilnya sangat sedikit," lanjut Eka.
Dalam kesempatan berbeda, dokter spesialis anak konsultan nefrologi, Henny Andriani menyarankan orangtua untuk waspada bila anak sakit lalu mengalami penurunan frekuensi buang air kecil. Terutama jika sudah enam jam anak tidak buang air kecil.
"Kencingnya sudah enggak ada nih enam jam, anak enggak pipis enam jam, sudah langsung pergi ke rumah sakit. Biar diperiksa sama dokter anaknya, dicari penyebabnya," ujar Henny dalam sesi bincang di IDAI TV yang diunggah Senin, 10 Oktober 2022.
Hal tersebut lantaran menurunnya frekuensi buang air kecil menjadi salah satu gejala dari gangguan ginjal akut. Biasanya, gejala awal dapat terlihat pada produksi urine anak, yang menurun hingga tidak keluar sama sekali.
Gangguan Ginjal Akut Terjadi dengan Cepat
Sebelumnya, Henny mengungkapkan bahwa gangguan ginjal akut misterius yang terjadi pada anak belakangan ini proses perburukannya lebih cepat dari biasanya.
"Yang menarik dari gangguan ginjal akut ini adalah perjalanan penyakitnya. Kita melihat perjalanan penyakitnya itu cepat, terjadi gangguan ginjal akut mendadak, kemudikan perburukan cepat. Itu yang membuat kami terutama dokter anak yang bergerak di bidang ginjal melihat hal yang tidak biasanya," kata Henny.
Terlebih, penyebabnya belum diketahui secara pasti. Itulah mengapa gangguan ginjal akut kali ini ditambahkan dengan kata misterius setelahnya. Istilah aslinya sendiri adalah gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Berkaitan dengan COVID-19?
Gangguan ginjal akut misterius yang terjadi belakangan ini banyak datang dari anak dibawah usia 6 tahun, yang mana belum memiliki kekebalan terhadap COVID-19. Hal tersebut lantaran hingga saat ini anak-anak dibawah usia 6 tahun memang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19, kecuali pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya.
"Kita melihat bahwa sebagian besar anak-anak ini punya bukti terhadap infeksi COVID-19 baik yang saat ini terjadi atau sebelumnya. Lalu, kita berpikir apakah ini berhubungan? Kita belum bisa mengonfirmasi hubungannya, tapi kita tetap berpikir ini adalah sesuatu yang berkaitan," kata Henny.
Lebih lanjut Eka menjelaskan bahwa berdasarkan hasil tes yang dilakukan, belum ada kesimpulan yang dapat ditarik terkait virus apa yang jadi penyebabnya.
"Tidak bisa disimpulkan penyebabnya adalah satu virus. Kemudian kami juga melakukan swab rectal dari anus untuk mencari infeksi-infeksi yang biasa menyebabkan diare atau infeksi pencernaan. Itu kami tidak mendapatkan virus yang konsisten, jadi tidak bisa menyebutkan ini mengarah ke infeksi tertentu," ujar Eka.
Advertisement
Perlu Waspada, Jika...
Lebih lanjut Henny menjelaskan, orangtua dan tenaga kesehatan perlu untuk peka terhadap gejala-gejala yang merujuk pada gangguan ginjal akut misterius. Terutama bila Anda memiliki anak usia dibawah enam tahun yang mengalami demam, diare, gangguan saluran napas, dan muntah.
"Kita harus, harus memperhatikan produksi air kencing dari anak kita. Kita harus memastikan dia dapat cairan yang cukup, kemudian kita harus rajin-rajin cek popoknya. Ada kencingnya enggak ya, berkurang enggak ya daripada biasanya," ujar Henny.
"Kalau anaknya sudah bisa berkemih sendiri, kita harus pastikan melihat anak ini sudah pipis berapa kali, ke kamar mandi berapa kali. Biar kita bisa memantau, karena kalau begitu jumlah kencingnya berupa, maka harus dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat."
Frekuensi umum anak harus buang air kecil adalah tiga hingga empat jam sekali. Sehingga setiap tiga hingga empat jam sekali, orangtua perlu memeriksa popok anak dan melihat produksi urin yang dikeluarkan.
Jika setelah ada infeksi seperti batuk, pilek, diare, muntah, disusul dengan produksi urin yang berkurang atau warna urin mengalami perubahan, penting untuk segera memeriksakan kondisi.
Hal yang Akan Dilakukan oleh Dokter
Sehingga apabila Anda menyadari bahwa anak mengalami gejala-gejala yang disebutkan, Henny mengharuskan para orangtua untuk segera membawa anak ke fasilitas kesehatan terdekat dan memeriksakan kondisi.
"Dicari apa penyebabnya, karena penyebabnya banyak. Belum tentu semua gangguan ginjal akut atau anaknya enggak bisa pipis enam jam itu karena gangguan ginjal akut misterius ini, belum tentu. Tapi kita harus waspada."
Bila dalam proses pemantauan dokter sudah mencukupkan cairan dan mengobati, namun tidak kunjung memberi respons pada anak, Henny mengungkapkan bahwa dokter akan berusaha mencari fasilitas yang bisa memberikan terapi lebih advanced. Terapi tersebut bisa berupa cuci darah untuk anak.
"Setelah diberi cairan cukup, kita berikan obat-obatan yang aman untuk ginjal, kok masih juga kencing anaknya tidak keluar? Dokternya mungkin akan kasih obat untuk mengeluarkan pipisnya, diuretik istilahnya, atau dokternya memutuskan anak ini untuk cuci darah," pungkasnya.
Advertisement