Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyebab terjadi lonjakan kasus gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) itu akibat Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Ether (EGBE). Kandungan cemaran senyawa ini terkandung dalam obat sirup.
Hal itu ditegaskan Budi Gunadi menjawab pertanyaan anggota Komisi IX DPR soal penyebab pasti gagal ginjal akut pada anak. Terlebih, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 1 November 2022, ada 325 kasus gangguan ginjal akut dengan 178 di antaranya meninggal.
Baca Juga
"Ya memang ada penyebab-penyebab gagal ginjal akut yang lain lagi, itu betul. Tapi yang paling drastis menyebabkan kenaikan kali ini adalah adanya senyawa kimia berbahaya-- EG, DEG, EGBE--di obat," jelasnya saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Gedung DPR RI, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 2 November 2022.
Advertisement
"Kami sudah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dan sudah berkurang (pasien yang masuk ke rumah sakit) dengan drastis," katanya.
Budi menjelaskan bahwa memang penyebab gagal ginjal akut ada beberapa faktor. Mulai dari infeksi hingga karena obat.
"Gangguan ginjal akut ini penyebabnya sesuai informasi yang saya terima ya ada beberapa. Yang pertama, bisa dari infeksi, yang kedua bisa dari kelainan kongenital atau genetik. Yang ketiga, bisa jadi karena dehidrasi berat, bisa juga karena kehilangan darah, dan bisa juga karena obat dan keracunan," bebernya.
"Jadi kasus ginjal akut ini penyebabnya lebih dari satu. Nah, penyakit ini selalu terjadi, bukan tidak pernah terjadi gitu. Tahun lalu, dua tahun yang lalu atau tiga tahun lalu selalu terjadi. Tapi karena memang jumlahnya tidak besar, ini menjadi insiden-insiden yang memang sama seperti penyakit lain dan ada korban."
Insiden gangguan ginjal akut pada anak, diakui Menkes Budi Gunadi, sebenarnya bukan kali pertama yang terjadi seperti sekarang ini, melainkan sudah pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Namun, angka kasus tidak banyak.
Lonjakan Kasus Terlihat di Akhir Agustus 2022
Budi mengatakan laporan yang masuk menunjukkan adanya lonjakan kasus gangguan ginjal akut pada anak. Lonjakan kasus mulai terlihat sejak Agustus 2022, yang mana didominasi oleh anak di bawah 5 tahun.
"Angka yang ada di Januari sampai dengan Juli 2022, misalnya, adalah angka-angka (kasus gangguan ginjal akut) yang memang terjadi setiap bulannya di seluruh Indonesia dari sekitar 24 juta bayi yang ada," Budi Gunadi Sadikin menjelaskan.
"Terus sekarang kami melihatnya begitu di akhir bulan Agustus, karena ada peningkatan dari jumlah kasus yang masuk. Pada waktu itu, 35 kasus dan meninggalnya mungkin masih belasan ya atau sekitar 50 persen. Itu yang kami lihat ada peningkatan."
Secara rinci, berikut ini data perkembangan gangguan ginjal akut per 1 November 2022 yang dihimpun Kemenkes:
- Januari 2 kasus terlapor
- Februari 4 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- Maret 2 kasus terlapor dan 4 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- April 2 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- Mei 5 kasus terlapor
- Juni 3 kasus terlapor dan 3 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- Juli 5 kasus terlapor dan 10 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- Agustus 36 kasus terlapor dan 11 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- September 78 kasus terlapor dan 28 kasus hasil penyelidikan epidemiologi
- Oktober 135 dari kasus terlapor dan hasil penyelidikan epidemiologi
Advertisement
Kenaikan Kasus yang Tak Wajar
Menindaklanjuti peningkatan kasus gangguan ginjal akut sejak Agustus 2022, Kemenkes mulai bergerak. Sejumlah pertemuan dengan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, para dokter anak, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dilakukan.
Menkes Budi Gunadi Sadikin mendapat laporan, bahwa lonjakan kejadian gagal ginjal akut pada anak yang sedang terjadi termasuk kategori hal yang tak wajar.
"Sehingga September, kita mulai bergerak. Sebenarnya mulainya dari teman-teman di RSCM, yang memberitahu bahwa mereka ada pertemuan dengan IDAI untuk berbicara. Karena RSCM sebagai rujukan nasional masuk, jadi sistem monitoringnya kita dengan rujukan itu ketangkapnya memang di RSCM," terangnya.
"Mereka bilang, 'Pak ini kasusnya tidak wajar, biasanya normalnya sebulan satu atau sebulan dua kasus ya bisa dengan segala macam penyebab tadi ya. Tapi ini kok tidak wajar, ada kenaikan yang tinggi.' Nah memang pada bulan September itu, kami lakukan analisa analisa laboratorium patologi."
Hasil uji patologi, lanjut Budi Gunadi, kecil sekali korelasi yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Sebab, ada yang bilang virus dan bakteri, tapi semuanya di bawah 7 persen, bahkan ada yang 0 persen.
"Kita baru mendapatkan trigger, begitu kejadian di Gambia pada 5 Oktober dan itu penyebabnya karena toxic (racun senyawa pada obat sirup). Kemudian kita cek ke seluruh anak. Waktu itu kita cek pertama ke 34 pasien dengan hasil 74 persen lebih itu toxic," paparnya.
"Terbukti darahnya, kita cek obat-obatannya ada di rumah ya lebih dari 50 persen anak-anak yang kena, terus kita cek biopsi dari pasien yang meninggalnya. Ada Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Ether (EGBE) di semua anak."
Keracunan Obat Jadi Faktor Risiko Terbesar
Salah satu penanganan keracunan senyawa dari obat sirup pada pasien gangguan ginjal akut anak berupa pemberian obat Fomepizole. Obat ini termasuk jenis antidotum sebagai penawar racun.
Dengan demikian, Budi Gunadi Sadikin menekankan, penyebab terbesar kasus gagal ginjal akut anak akibat senyawa cemaran yang terkandung dalam obat sirup.
"Sesudah kita kasih obat yang khusus untuk menawarkan racun, namanya antidotum itu reaktif. Jadi, kalau ditanya penyebabnya apa, saya bilang penyebabnya sudah pasti. Maksudnya pasti, artinya faktor risiko paling besar yang menyebabkan anak meninggal itu keracunan obat ya, faktor terbesar," terangnya.
"Lalu apakah ada yang meninggal bukan karena obat? Saya rasa pasti ada. Karena tanpa obat tuh tiap bulan ada saja kasus. Tetapi peran saya di sini adalah kita ingin memastikan agar nyawa bayi-bayi ini jangan sampai meninggal sehingga kita harus ambil keputusan dengan informasi yang terbatas, cepat -- yakni pelarangan sementara obat sirup."
Menurut Menkes Budi Gunadi, apabila harus menunggu untuk mencari ini kepastian penyebab gagal ginjal, maka kasus bisa saja makin melonjak.
"Kalau yang meninggal 8 sampai 10 per bulan atau lebih malah ya misalnya sampai 8 kasus per hari yang meninggal dan setiap hari kita menunggu karena mencari kepastian penyebabnya apa ya terlambat. Sehingga waktu itu saya akui memang sebelum kita 100 persen pasti (tahu penyebab) karena saya rasa juga enggak akan dapat 100 persen penyebabnya apa," pungkasnya.
"Begitu kita tahu bahwa faktor risiko terbesar adalah obat, dengan fakta-fakta yang tadi kami sampaikan, kita ambil keputusan (pelarangan obat sirup), dan langsung turun drastis dari pasien-pasien yang masuk rumah sakit."
Advertisement