Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan beberapa upaya untuk menangani kasus gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI).
Upaya Kemenkes termasuk pelarangan sementara penjualan obat sirup dan pengadaan obat penawar racun fomepizole. Sementara, BPOM terus melakukan penyelidikan soal obat mana yang aman dan mana yang berbahaya.
Baca Juga
Lantas, apakah upaya-upaya yang dilakukan ini sudah tepat? Terkait hal ini, epidemiolog Pandu Riono menyampaikan pendapatnya.
Advertisement
“Saya kira penanganannya sampai sejauh ini cukup (tepat),” ujar Pandu kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (3/11/2020).
Pandu mengatakan pemerintah perlu mengetahui hal yang perlu dilakukan supaya mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan empati kepada para korban dan keluarganya, tambah Pandu.
Terkait kinerja BPOM, Pandu mengatakan bahwa badan tersebut sudah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.
“Tapi kan ternyata sistem yang dikembangkan sekarang tidak cukup, jadi harus ada perbaikan. Misalnya, siapa yang bisa memastikan bahan baku obat. Sebagian bahan obat di Indonesia kan diimpor dari luar dan zat kimia bisa sama, tapi zat kimia untuk obat harus lebih murni, kualitasnya harus jauh lebih tinggi.”
Memastikan kualitas bahan baku obat tidak bisa dilakukan oleh importir sembarangan. Harus oleh importir yang bisa memastikan bahwa bahan baku obat ini sesuai dengan persyaratan yang ada.
“Misalnya, harus dilakukan oleh industri farmasi atau pedagang besar farmasi. Tidak bisa dilakukan oleh importir yang lain.”
Perlu Ada Perubahan Peran di BPOM
Regulasi yang sekarang belum ada adalah impor bahan baku obat melalui Badan POM. Padahal, bahan baku obat yang diimpor seharusnya masuk ke Indonesia dengan sepengetahuan Badan POM.
“Yang boleh dimasukkan sebagai bahan baku obat itu harus sepengetahuan Badan POM, bukan ketika sudah siap diproduksi. Bukan hanya pada proses registrasi atau pada waktu pembuatan di industri.”
“Industri farmasi yang diharapkan lebih hati-hati untuk memilih bahan baku ternyata sering kali tidak bisa diikuti karena quality control dan quality assurance-nya tidak sama pada semua industri farmasi,” ujar Pandu.
Maka dari itu, perlu ada perubahan dalam peran BPOM. Peran-peran yang selama ini belum ada harus segera difungsikan.
Mengingat BPOM harus diberi tugas dan wewenang yang lebih ketat, anjutnya, maka perlu didukung oleh anggaran, sumber daya manusia (SDM), dan sebagainya.
Advertisement
Antisipasi di Kemudian Hari
Pandu menambahkan, guna mengantisipasi penyebaran obat tak aman di kemudian hari, maka semua pihak harus terlibat.
“Ya semuanya (terlibat), pertama yang berwenang mengawasi industri yaitu BPOM, kedua apotek, ketiga rumah sakit yang biasanya juga memberikan obat kepada pasiennya sehingga sistem pengawasannya berjenjang.”
Pengawasan berjenjang yang dimaksud Pandu mengarah pada kemudahan deteksi masalah jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Kalau ada kejadian yang tidak diinginkan bisa cepat dilaporkan, sehingga cepat dicegah. Dan semuanya harus terlibat, semuanya harus bertanggung jawab, tentunya regulasinya bisa sampai ke sana.”
Sementara, regulasi yang berlaku saat ini belum meng-cover pada masalah-masalah seperti yang kini tengah terjadi.
Meningkatkan Quality Control dan Assurance
Dalam memperbaiki dan meningkatkan keamanan penyebaran obat dan makanan, Pandu menyarankan agar industri obat dan makanan bisa meningkatkan quality control dan quality assurance.
“Dan kalau ada industri obat atau industri makanan yang belum bisa mencapai quality control dan quality assurance itu harus dibina oleh Badan POM hingga mereka mampu. Kalau belum mampu ya jangan diberi izin membuat obat."
Kemampuan industri dalam quality control dan quality assurance ini juga menjadi tanggung jawab BPOM, baik dalam pembinaan maupun pengawasannya.
“Dengan demikian, maka kalau ada kasus-kasus yang terjadi seperti kemarin itu cepat harus bisa ditelusuri terutama peran Kemenkes dan BPOM. Ini yang belum ada adalah koordinasi antara Kemenkes dan Badan POM yang juga harus diatur karena tugas pokok dan fungsinya beda-beda.”
Koordinasi yang perlu diperbaiki ini termasuk soal penanganan kasus dan penarikan obat.
“Kemarin kan yang melarang (obat sirup) Kemenkes, harusnya kan yang melarang itu Badan POM, Badan POM agak terlambat dalam hal ini,” pungkasnya.
Advertisement