Liputan6.com, Jakarta Kasus gangguan ginjal akut atau gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) semakin tinggi. Pada 6 November 2022 Kementerian Kesehatan mengatakan sudah ada 324 anak yang mengalaminya. Bahkan, 195 di antaranya meninggal dunia.
Hal ini melatarbelakangi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Gagal Ginjal Akut. Tim yang terdiri dari 9 orang dengan berbagai latar ini memiliki fungsi untuk mencari penyebab gangguan ginjal akut, edukasi masyarakat, dan pendampingan korban.
Baca Juga
Terkait pembentukan tim ini, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra memberikan tanggapan.
Advertisement
Menurutnya, pembentukan tim ini terbilang relevan karena isu gangguan ginjal akut bisa menjadi bahan yang berulang. Selain itu, sejauh ini belum ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab karena penyebab dari gangguan ginjal akut belum ditetapkan secara final.
“Ya saya kira wajar-wajar saja (pembentukan tim ini) dan tidak ada kata terlambat untuk menelusuri lebih jauh (AKI),” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (10/11/2022).
Terkait pencarian penyebab, Hermawan memberi masukkan agar tim tersebut bisa melakukannya dengan efektif dan mencapai hasil yang baik.
“Ya sebenarnya bisa start (mulai) dari pernyataan Ombudsman ya. Sebenarnya lembaga Ombudsman RI sudah mengatakan bahwa ada temuan maladministrasi dalam kasus ini. Baik dalam pengelolaan oleh otoritas yang berwenang maupun juga tindak lanjut atau dampak ikutan dari kejadian gangguan ginjal akut ini.”
Proses administrasi sendiri terdiri dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Di mana distribusi memiliki peran penting. Dalam hal ini, Hermawan menyarankan tim pencari fakta untuk melakukan penelusuran melalui jalur distribusi dan penjualan dari farmasi yang ditengarai sudah tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Jika Jalur Distribusi Ditelusuri
Jika jalur distribusi produk farmasi ditelusuri, maka akan ditemukan titik-titik penjualan bebasnya dan berapa volumenya.
“Sehingga konsumsi atau risiko masyarakat itu bisa diestimasi dan dimitigasi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui betul model penyelidikan yang mengikuti rantai distribusi dan penjualan dari farmasi yang ditengarai sudah tercemar etilen dan dietilen glikol.”
Selain mencari penyebab gangguan ginjal akut, Tim Pencari Fakta atau TPF juga memiliki fungsi edukasi dan perlindungan. Menurut Hermawan, karena ini berkaitan dengan kesehatan maka edukasi yang penting diberikan kepada masyarakat adalah edukasi perilaku kesehatan.
“Mulai dari promosi kebiasaan hidup sehat sekaligus upaya untuk mencari solusi jika ada gangguan kesehatan. Jadi kalau kita pahami, risiko kasus ini timbul ketika ada penggunaan obat yang tidak sesuai dengan anjuran, dosis, atau tata cara penggunaan.”
Advertisement
Edukasi Penggunaan Obat
Maka dari itu, edukasi kesehatan termasuk soal penggunaan obat ini menjadi penting. Selain itu, edukasi yang perlu disampaikan juga soal cara memilih obat. Memilih berarti akses untuk mendapatkan obat harus sesuai anjuran atau resep dokter.
“Meskipun obatnya dijual bebas tapi kan penggunaannya harus memenuhi indikasi.”
Ia juga menyampaikan soal perlunya edukasi penyimpanan obat. Di era pandemi COVID-19, orang cenderung menyimpan stok obat secara berlebihan. Padahal, penyimpanan obat tak bisa dilakukan sembarangan. Ada obat-obatan yang harus disimpan di suhu tertentu.
Masyarakat perlu diingatkan pula soal masa produksi dan kedaluwarsa obat. Termasuk juga cara pakai obat, sekali minum atau bisa disimpan sebagian, serta hal-hal lainnya.
“Ini semua menjadi edukasi yang harus disampaikan kepada masyarakat.”
Pendampingan Korban
Fungsi lainnya dari TPF gangguan ginjal akut adalah pendampingan bagi korban. Dalam menjalankan fungsi ini, Hermawan mengatakan bahwa seharusnya ada tanggung jawab negara dalam menjamin kesehatan.
“Intinya apapun bentuk layanannya semuanya harus digratiskan. Kasus-kasus seperti ini biasanya sulit untuk masyarakat mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat, dan berkualitas. Ini karena cara bayar dan kemampuan bayar yang lemah.”
“Makanya harus diyakinkan, pengamanan pertama adalah jaminan layanan kesehatan. Kedua adalah menjamin ketenangan dan kenyamanan psikologis korban. Karena dalam kejadian seperti ini keluarga bisa trauma. Bayangkan saja anak yang sangat disayang tiba-tiba meninggal dengan penyebab yang belum diketahui."
Selain berbagai fungsi di atas, tim ini juga perlu menerapkan fungsi koordinatif, kata Hermawan. Fungsi ini memungkinkan ada pelibatan kelembagaan dan kolaborasi antar profesi.
“Dan yang paling penting komunikasi publiknya dengan masyarakat. Komunikasi publik yang baik harus mencerminkan informasi yang jelas, tidak menimbulkan kepanikan, antisipasi risiko atau ancaman di masa mendatang, dan evaluasi program agar kejadian serupa tak terulang,” pungkasnya.
Advertisement