Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, kemarin 1 Desember 2022, memberitakan kabar terkini kasus COVID-19. Ia mengatakan bahwa gelombang COVID-19 kali ini sudah melewati puncaknya.
“Kasus COVID-19 sedang naik tapi pengamatan kita sudah sampai di puncak," kata Budi di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Baca Juga
Hal tersebut Budi sampaikan berdasarkan data positivity rate (proporsi orang positif dari keseluruhan orang yang dites COVID-19) di Tanah Air. Positivity rate menjadi tolok ukur karena tak semua masyarakat melakukan tes COVID-19 dan melapor bila positif terpapar Virus Corona.
Advertisement
"Positivity rate, kalau tes sedikit kelihatan positivity rate-nya tinggi, makanya kita lihat dari angka itu. Sekarang positivity rate kita turun di seluruh Indonesia dan provinsi besar seharusnya seminggu dua minggu turun. Secara saintifik, ini turun karena portofolio dari varian baru," jelas Budi.
Bila merujuk pernyataan Budi, kasus COVID-19 sudah melewati puncak sehingga kasus bakal turun. Namun, jika melihat data wilayah Asia Tenggara, penambahan kasus kita masih tertinggi pada periode 21 hingga 27 November 2022.
Dalam data yang diterbitkan COVID-19 Weekly Epidemiological Update Edition 120 per 30 November 2022 itu, penambahan kasus di Indonesia tertinggi. Penambahan kasus baru sebanyak 41.877 atau 15,3 kasus baru per 100.000 penduduk. Memang terjadi penurunan 11 persen dibanding pekan sebelumnya tapi tetap jadi negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di Asia Tenggara.
Tepat di bawah Indonesia, penambahan kasus terbanyak pekan 21 - 27 November 2022 terjadi di Thailand dan India. Rincian data penambahan kasus di kedua negara tersebut adalah:
- Thailand melaporkan 4.914 kasus baru atau 7 kasus baru per 100.000 penduduk, artinya bertambah 24 persen.
- India melaporkan penambahan 2.547 kasus baru atau kurang dari satu kasus baru per 100.000, berkurang 3 persen.
Kasus Masih Tinggi dengan Tren Melandai
Budi juga menuturkan kasus COVID-19 dalam beberapa waktu ke depan mulai melandai karena angka positivity rate menjadi 30 sampai 34 persen. Meski begitu, masih tinggi angkanya.
"Tetap tinggi, tetap terjadi kenaikan kasus tapi sudah melandai," lanjutnya.
Selaras dengan yang disampaikan Budi, bila kita menilik data beberapa hari belakangan, penambahan kasus COVID-19 di antara 3 ribu hingga 5 ribu kasus. Angka ini memang jauh lebih tinggi dibanding sebelum subvarian Omicron, XBB, masuk Indonesia. Dahulu sempat kasus di kisaran seribu hingga dua ribu per hari.
Adanya kenaikan kasus COVID-19, menurut Kepala Subbid Dukungan Kesehatan Bidang Darurat Satgas Penanganan COVID-19 Alexander K. Ginting, turut dipengaruhi penyebaran varian virus Corona baru.
Di Indonesia, pemantauan liniage -- garis keturunan -- virus SARS-CoV-2 varian baru 'anakan' Omicron, yakni BA.2.75, varian XBB, dan BQ.1 dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Jumlah penemuan liniage pun bertambah dari hari ke hari.
Tak hanya varian virus Corona, pelonggaran protokol kesehatan (prokes) dan cakupan vaksinasi COVID-19 yang masih rendah, termasuk booster pertama atau vaksin dosis 3 bagi masyarakat umum ikut menyebabkan kenaikan kasus dan perawatan pasien COVID-19.
"Setiap ada varian (virus Corona) baru, ada pelonggaran protokol kesehatan, dan melambatnya gerakan vaksinasi membuat masalah COVID-19 akan tidak stabil dengan terjadinya kenaikan kasus," kata Alex, sapaan akrabnya saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Kamis, 1 Desember 2022.
Hal-hal yang disampaikan Alex mempengaruhi angka perawatan dan fatalitas. "Kemudian juga kenaikan jumlah rawat inap dan angka mortalitas (kematian)," kata Alex.
Advertisement
Selain RI, Kasus COVID-19 Juga Ngegas di China
Selain Indonesia, negara Asia yang tengah alami kenaikan kasus COVID-19 adalah China. Negara pertama yang mendapati virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 kembali mengalami kenaikan kasus COVID-19.
Data himpunan Komisi Kesehatan Nasional di China per 29 November, kasus baru yang dilaporkan hari itu mencapai 37.828. Sehari sebelumnya kasus COVID-19 di sana mencapai 38.645.
Merujuk data yang dipublikasikan BBC, saat ini kasus COVID-19 di China tengah menyentuh puncak tertingginya, melebihi kasus yang terjadi pada April 2022.
Dalam seminggu, jumlah kasus COVID-19 di China telah mencapai hampir 200 ribu. Infeksi baru terjadi di seluruh kota. Termasuk Guangzhou, Beijing, Shanghai, dan Chongqing.
Meski sedang terjadi lonjakan kasus, tak menghalangi warga China untuk melakukan protes menolak aturan lockdown yang berlaku. Demo besar-besaran berlangsung di sana, banyak warga yang bentrok dengan polisi di Guangzhou pada Selasa, 29 November 2022.
Seperti diketahui, China memiliki salah satu rezim anti-COVID-19 terberat di dunia. Pihak otoritas setempat memberlakukan lockdown meskipun hanya ada segelintir kasus Corona.
Regulasi di China mengatur bila ada kasus baru, tes COVID-19 massal diadakan pada tempat-tempat di mana kasus telah dilaporkan. Warga yang positif COVID-19 diperbolehkan untuk isolasi di rumah maupun di fasilitas pemerintah.
Saat lockdown berlaku, bisnis, pusat pertokoan, dan sekolah ditutup. Kecuali toko yang menjual makanan. Lockdown akan berlangsung hingga tidak adanya lagi infeksi baru yang dilaporkan.
Alhasil, puluhan juta orang harus berdiam diri di rumah selama lockdown berlangsung. Beberapa otoritas lokal bahkan mengambil tindakan ekstrem dengan memaksa para pekerjanya untuk tidur di dalam pabrik. Gunanya agar para karyawan dapat bekerja selama lockdown berlangsung.
Aturan nol kasus COVID-19 di China menuai protes. Namun, pemerintah China menganggap bahwa hal itu menyelamatkan nyawa karena wabah yang tidak terkendali akan membahayakan banyak orang rentan, termasuk para orang tua.
Akibat lockdown tersebut, ekonomi China pun hanya tumbuh 3,9 persen selama setahun terakhir. Persentase tersebut menurun dibandingkan dengan targetnya sebesar 5,5 persen di tahun 2022.
RI Tak Terapkan Lockdown, Lalu Apa yang Efektif?
Berbeda dengan China, Indonesia tidak menerapkan lockdown selama pandemi COVID-19 berjalan nyaris tiga tahun ini. Presiden Joko Widodo mengaku tak menyesal tidak melakukan lockdown pada saat awal COVID-19.
"Kita beruntung awal pandemi Indonesia tidak lockdown. Saya tidak bisa memperkirakan kalau kita saat itu melakukan lockdown berakibat pada ekonomi seperti apa, bagaimana sosial politik seperti apa," ujar Jokowi di Jakarta pada Rabu, 7 September 2022 lalu.
"Saat itu saya semedi dan endapkan betul apakah benar kita harus melakukan itu (lockdown) dan jawaban tidak usah lockdown dan ternyata betul."
Jokowi menduga dampak besar dihadapi Indonesia bila melakukan lockdown. Bisa jadi pertumbuhan ekonomi sampai minus 17 persen.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI, Maxi Rein Rondonuwu Maxi menilai apabila protokol kesehatan berjalan dengan baik, kondisi COVID-19 nasional akan stabil. Terlebih lagi, sudah akan mendekat libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023.
"Tapi kalau protokol kesehatan kita jalan ya saya kira (kondisi COVID-19 Indonesia) stabil. Kami mengimbau masyarakat tetap lakukan prokes-nya," imbuhnya.
Ya, protokol kesehatan (prokes) memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan menggunakan sabun, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas masih menjadi cara andalan kendalikan COVID-19 di Tanah Air.
Selain itu, vaksinasi COVID-19 juga terus diupayakan demi mencegah keparahan bila terkena COVID-19. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan mayoritas pasien COVID-19 yang masuk rumah sakit, 74 persen belum mendapatkan booster. Lalu, sekitar 50 persen orang yang meninggal akibat COVID-19 belum divaksinasi COVID-19.
"Jadi sekarang ini terlihat orang yang belum divaksin kelihatan dan belum,” ungkap Budi.
Maka dari itu, ia mengingatkan terutama bagi lansia untuk segera divaksinasi guna mengurangi risiko masuk rumah sakit maupun kematian bila kena COVID-19.
"Jadi, kalau teman punya saudara ibu ayah kakek cepat divaksin karena risiko mereka tinggi,” kata Budi lagi.
Advertisement
Booster Kedua untuk Lansia Sebagai Perlindungan Tambahan
Sebagai upaya mencegah angka fatalitas COVID-19 pada lansia, Kemenkes pun sudah mengeluarkan Surat Edaran terkait vaksin penguat kedua alias booster kedua untuk mereka di atas 60 tahun. Upaya ini dikarenakan kelompok lansia menyumbang kematian akibat COVID-19 terbanyak.
Hal ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/5565/2022 tentang Vaksinasi COVID-19 Dosis Booster ke-2 Bagi Kelompok Lanjut Usia. Berlaku efektif sejak tanggal 22 November 2022.
"Kenapa lansia (yang diberikan vaksin booster kedua)? Karena dievaluasi sudah dua bulan terakhir ini, yang banyak wafat itu lansia dan dari yang wafat itu, lansia dominan 60 persen," terang Maxi saat ditemui Health Liputan6.com usai acara 'Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2022' di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta pada Kamis, 1 Desember 2022.
"Lalu, kebanyakan (lansia) belum divaksin atau baru satu kali divaksin. Itulah kenapa kita perlu booster kedua pada lansia sehingga beban rumah sakit juga tidak akan berat, ya buat perawatan gejala sedang dan gejala berat."
Dalam waktu dekat, Kemenkes segera membahas soal percepatan vaksinasi booster kedua untuk lansia. Harapannya, semakin banyak lansia dapat menerima dosis booster kedua.
"Yang sedang kami upayakan adalah percepatan vaksinasi terutama lansia."
Juru Bicara Kemenkes RI Mohammad Syahril juga mengajak masyarakat yang belum vaksinasi COVID-19 maupun yang belum melengkapi dosis primer juga booster, terutama pada lansia agar segera melakukan vaksinasi di fasilitas pelayanan kesehatan atau di pos pelayanan vaksinasi terdekat.
“Mengingat faktor risikonya (terinfeksi virus Corona) yang tinggi, kami mengimbau kepada masyarakat yang memang belum divaksinasi ataupun vaksinasinya belum lengkap, agar secepatnya dilengkapi," ajak Syahril.
"Jangan menunda dan jangan pilih-pilih vaksin, karena vaksinasi terbaik adalah vaksinasi yang dilakukan sekarang juga."
Selain Lansia, Siapa Prioritas Dapat Booster Kedua Selanjutnya?
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan bahwa orang yang terinfeksi COVID-19 lebih dari satu kali perlu menjadi prioritas vaksin booster kedua alias suntikan keempat setelah lanjut usia (lansia), komorbid, dan pelayan publik.
“Yang perlu mendapatkan prioritas vaksin booster kedua atau suntikan keempat tentu saja lansia. Lansia ini paling buruk respons imunitasnya. Meski sudah mendapat booster sekalipun, proteksinya tidak sekuat di bawah usia 60-an,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Kamis (1/12/2022).
Selain vaksinasi, lansia juga perlu dilindungi dengan 5M yakni mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.
“Nah, siapa lagi? (yang perlu jadi prioritas) Tentunya komorbid dan pelayan publik. Pelayan publik ini bukan hanya tenaga kesehatan, tapi juga pelayan transportasi publik dan yang lainnya.”
“Nah selain itu apa? Orang yang sudah lebih dari satu kali terinfeksi COVID-19. Itu perlu mendapat prioritas karena mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk sakit parah maupun mengalami kematian," ujar Dicky.
Prioritas vaksin booster kedua juga bisa diberikan kepada orang-orang yang belum mendapatkan vaksinasi karena kondisi-kondisi tertentu. Setelah kondisinya memungkinkan, maka mereka perlu diberi kesempatan untuk mendapat vaksinasi.
Orang yang belum bisa mendapat vaksinasi biasanya karena kondisi tubuh. Bisa karena memang sudah jompo, komorbid, atau kondisi disabilitas tertentu.
“Jadi, penyandang disabilitas juga penting untuk mendapatkan prioritas karena mereka punya keterbatasan sehingga mereka perlu proteksi."
Advertisement
Potensi Kenaikan Kasus Saat Nataru
Dicky juga membahas soal potensi peningkatan kasus pasca libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Menurutnya, potensi lonjakan kasus memang ada dan sudah terjadi di banyak negara.
“Artinya, kasus infeksi, kasus reinfeksi jelas akan meningkat karena ini berkorelasi erat dengan mobilitas manusia yang tinggi pada saat Nataru.”
Selain mobilitas, subvarian baru COVID-19 yang sedang menyebar pun bisa memicu lonjakan kasus. Subvarian yang ada saat ini memiliki kemampuan efektif dalam menginfeksi dan mereinfeksi serta menurunkan efikasi dari antibodi.
“Jadi orang yang sudah terinfeksi dan sudah vaksinasi bahkan hingga booster pun tetap bisa terinfeksi lagi.”
Kasus infeksi dan reinfeksi jelas bisa melonjak setelah Nataru. Namun, tidak demikian dengan kasus parah dan kematian.
“Kasus keparahan dan kematian itu risikonya proporsional. Apa itu proporsional? Artinya, risikonya pada kelompok rawan yang belum mendapat booster, efektivitas vaksinnya menurun karena sudah 5-6 bulan, nah itulah yang akan berisiko sakit parah atau mengalami kematian.”
Oleh karena itu, suntikan booster kedua sangat penting untuk orang yang sudah mendapatkan vaksinasi lebih dari 4 bulan. Itu yang harus mendapatkan booster.
“Ternyata sampai saat ini penerima booster mendapat manfaat untuk mencegah keparahan dan kematian.”