Liputan6.com, Jakarta Saat kondisi kesehatan sedang menurun dan membutuhkan waktu istirahat, salah satu syarat yang biasanya perlu dimiliki oleh karyawan adalah surat sakit. Surat sakit seolah menjadi tiket agar bisa izin tidak masuk kerja.
Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa sejatinya surat sakit dibuat berdasarkan kondisi pasien dan ditujukan untuk upaya pemulihan.
Baca Juga
Ternyata, ada serangkaian hal atau tahapan ideal yang sebenarnya perlu dilakukan dokter sebelum mengeluarkan surat sakit milik pasien. Lalu, seperti apakah itu?
Advertisement
Pertama, Beni menjelaskan, dokter perlu melakukan anamnesa atau mewawancarai pasien agar mengetahui kondisi awal yang dikeluhkan.
"Kalau dalam istilah polisi, wawancara itu interogasi, BAP (berita acara pemeriksaan). Jadi dia harus wawancarai dulu pasiennya. Setelah diwawancarai, kalau dia pusing, pusingnya sudah berapa lama? Batuk, batuknya berapa lama? Batuknya berdahak atau kering, itu wawancara. Digali terus," ujar Beni dalam media briefing ditulis Rabu, (28/12/2022).
Sementara wawancara saja tidaklah cukup. Beni mengungkapkan tahapan kedua yang perlu dilakukan dokter adalah pemeriksaan fisik pasien. Mulai dari suhu tubuh, tekanan darah, hingga denyut yang muncul dari tubuh.
"Jadi periksa fisiknya. Kalau memang dia mengaku batuk, dokter harus meletakkan stetoskop di paru-paru pasien baik depan dan belakang untuk mendengar suara asingnya. Mungkin ada sesuatu di paru-parunya sehingga membutuhkan pasien istirahat nanti," kata Beni.
"Termasuk kalau pasien mengaku anemia, lemas, dokter akan melihat tangan, bibir, matanya pucat atau tidak," tambahnya.
Sakit yang Membutuhkan Istirahat Lama dan Tidak
Bahkan, menurut Beni, dokter perlu memeriksa dengan meminta pasien berjalan, berdiri, hingga jongkok secara berulang. "Kalau memang bisa beraktivitas, tentu ini tidak bisa dikategorikan sakit yang membutuhkan istirahat lama," ujarnya.
Beni mengungkapkan bahwa pemeriksaan fisik itulah yang benar-benar harus dilakukan head to toe. Sehingga dapat cukup spesifik untuk menentukan kondisi pasien.
Selanjutnya, yang ketiga adalah pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan cek laboratorium sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien saat wawancara sebelumnya.
"Jangan semua diperiksa (laboratorium). Sesuai dengan wawancara pasien. Jadi kalau dia batuk, yang perlu diperiksa mungkin darah lengkap sama sputumnya. Untuk dilihat batuknya ini virus, bakteri, atau jamur," kata Beni.
"Ya kalau misalnya pemeriksaan penunjang lain rontgen atau CT scan untuk melihat gambaran paru-parunya. Ada bercak tidak, ada tumor tidak, karena ada banyak orang yang batuk tidak sembuh, ada tumor di sana. Itu namanya pemeriksaan penunjang."
Advertisement
Membuat Diagnosis untuk Pasien
Lebih lanjut tahapan yang keempat, dokter harus membuat diagnosis pasien. Diagnosis tersebut baru bisa dibuat setelah tiga tahapan sebelumnya benar-benar sudah dilakukan dengan menyeluruh.
"Setelah diagnosis tegak, tentu dokter akan mengobati sesuai dengan penatalaksanaan pengobatan pasien. Apakah bisa berobat jalan, rawat inap, atau hanya perlu istirahat saja di rumah selama beberapa hari," ujar Beni.
"Istirahat beberapa hari itu tidak ada ketentuan yang mengatur. Hanya tergantung berat ringannya kondisi pasien. Baru kemudian dokter akan meresepkan obat," tegasnya.
Beni menambahkan, resep obat tersebut juga harus dijelaskan dengan rinci apa fungsi dan efek sampingnya. Serta, ia menegaskan, hal-hal di atas adalah rangkaian proses yang perlu dilakukan dokter. Sehingga harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh diloncat.
"Setelah melewati rangkaian --- baru kemudian terbit surat keterangan sakit," kata Beni.
Menentukan Lamanya Surat Sakit yang Berlaku
Sedangkan dalam hal menentukan durasinya, Beni menjelaskan jikalau lamanya surat sakit berlaku sepenuhnya adalah kewenangan dokter yang memeriksa. Lagi-lagi, seharusnya tidak bisa diminta oleh pasien.
"Mengenai hari, berapa lama sih? Ada yang tiga hari, dua hari, mungkin seminggu, ada yang mungkin sebulan. Itu kewenangan mutlak seorang dokter," ujar Beni.
"Contoh, jika pasien itu hanya pusing, demam, keseleo, masuk angin, tiga hari maksimal cukup. Silahkan dia kontrol kembali (jika) setelah habis dan membutuhkan istirahat (tambahan). Nanti dokter akan memeriksa lagi."
Jikalau memang setelah diperiksa ulang pasien masih membutuhkan waktu istirahat lebih, maka dokter baru bisa memberikan perpanjangan waktu surat sakit tersebut.
Advertisement