Pelabelan Kandungan BPA dalam Kemasan Diusulkan Masuk PP, KSP Beri Dukungan Penuh

Sejak 2018, KSP tengah menyusun draf revisi PP tentang label iklan pangan. Akan tetapi proses penyusunan revisi itu belum selesai karena harus melibatkan berbagai sektor terkait.

oleh stella maris diperbarui 07 Jun 2023, 19:50 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2023, 19:47 WIB
Ilustrasi galon BPA Free
Ilustrasi galon BPA Free/Shutterstock-rw-photo.

Liputan6.com, Jakarta Penggunaan plastik berbahan polikarbonat (PC) untuk kemasan diketahui berdampak buruk untuk kesehatan. Berkaitan dengan hal tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) pun mengundang berbagai pihak untuk mengusulkan pelabelan kandungan  bisphenol-A (BPA) pada kemasan plastik berbahan PC, agar dimasukkan ke dalam revisi peraturan pemerintah (PP) tentang label iklan pangan. 

Staf Khusus Kedeputian 2 Kantor Staf Presiden (Stafsus Kedeputian 2 KSP) Brian Sriprahastuti menyarankan agar, upaya pelabelan informasi kandungan BPA pada kemasan  berbahan PC diusulkan untuk dimasukkan ke dalam bagian PP tentang label iklan pangan tanpa membuat peraturan baru. Pandangan tersebut disampaikan Brian saat pertemuan antara Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia (CSWM UI) dengan KSP di Jakarta. 

Selain CSWM UI, perwakilan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), serta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) juga hadir dalam kesempatan itu.

Brian mengatakan bahwa sejak 2018, KSP tengah menyusun draf revisi PP tentang label iklan pangan. Akan tetapi, dia mengaku bahwa proses penyusunan revisi itu belum selesai karena harus melibatkan berbagai sektor terkait. 

Untuk contoh, PP tentang label iklan pangan tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga sektor perdagangan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan. Brian juga menambahkan bahwa sejauh ini masalah pelabelan masih sebatas pada pencantuman kandungan gizi dan belum menyentuh pada pencantuman kandungan substansi tertentu pada kemasan suatu produk. 

Maka dari itu, Brian pun mempersilakan agar isu tentang ketentuan pemberian label yang mencantumkan kandungan BPA dalam kemasan produk makanan dan minuman, diusulkan untuk diakomodir dalam revisi PP tentang label iklan pangan.

 

PB IBI Jelaskan Efek Negatif Penggunaan BPA

Dalam pertemuan itu, Kepala CSWM UI Mochamad Chalid menekankan bahwa label tentang kandungan BPA dalam kemasan diperlukan untuk keselamatan bangsa, terutama terkait dengan masalah kesehatan pada anak dan generasi muda. Terkait hal itu, perwakilan PB IDI Agustina Puspitasari mengetengahkan efek negatif penggunaan BPA bagi kesehatan. 

Agustina mengatakan bahwa paparan BPA dapat mempengaruhi fisiologi yang dikendalikan hormon endokrin. Selain itu, BPA dapat mempengaruhi perkembangan otak pada janin dalam kandungan, peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2, serta penyakit kardiovaskular. 

"Sudah banyak studi yang meneliti bahwa ditemukannya konsentrasi BPA di dalam urin berhubungan dengan turunnya kualitas sperma. Kemudian pada wanita hamil dengan paparan BPA selama prenatal berhubungan dengan perilaku agresif dan hiperaktif anak, terutama pada anak perempuan," ujar Agustina.

Agustina lebih lanjut menjelaskan bahwa penggunaan kemasan BPA telah semakin diawasi di berbagai negara. Kanada misalnya, telah mengklasifikasikan BPA sebagai zat beracun dan menetapkan larangan terbatas penggunaan BPA. Pada 2011, Uni Eropa (UE) telah mengeluarkan yang melarang penggunaan bahan mengandung BPA untuk botol susu bayi. 

Di Amerika Serikat, negara bagian California telah mewajibkan produsen yang menggunakan kemasan dengan kandungan BPA untuk mencantumkan label yang menerangkan bahwa produk itu mengandung BPA yang menyebabkan kanker, gangguan kehamilan, dan sistem reproduksi. Bahkan, beberapa negara seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia telah melarang penggunaan kemasan mengandung BPA pada kemasan kotak pangan untuk konsumen pada rentang usia 0-3 tahun.

Untuk itu, menurut Agustina, PB IDI mendukung upaya pelabelan kandungan BPA pada kemasan produk yang akan dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, PB IDI sangat mendukung upaya edukasi konsumen untuk mengetahui upaya yang dapat mencegah migrasi BPA ke dalam tubuh. Antara lain, untuk tidak menyimpan kemasan di bawah suhu tinggi dalam waktu lama, serta tidak menggosok atau menyikat permukaan kemasan.

"Jika hal ini akan diangkat, sebaiknya tidak usah membuat peraturan baru, tetapi diusulkan untuk masuk dalam bagian PP tentang label iklan pangan," kata Agustina. 

 

Di Balik Pentingnya Aspek Engineering untuk Galon yang Aman

Kepala CSWM UI Mochamad Chalid melanjutkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukannya, penggunaan kemasan air minum, terutama galon berbahan PC yang mengandung BPA tidak hanya dilakukan oleh produsen air minum dalam kemasan (AMDK) bermerek. Akan tetapi juga pengusaha air isi ulang tidak bermerek berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Chalid memberi contoh penelitian CSWM UI yang menemukan penggunaan kemasan galon berbahan PC pada AMDK tidak bermerek berbasis UMKM di beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Batusangkar, Padang Pariaman, dan Payakumbuh. Dalam hal ini, Chalid menggarisbawahi perlunya perlindungan konsumen AMDK hingga ke daerah-daerah, karena konsumsi AMDK sudah menjadi kebutuhan masyarakat secara umum, mengingat ketersediaan air bersih langsung dari sumbernya sudah makin terbatas.

Selain aspek kesehatan, Chalid menggarisbawahi pentingnya kajian pada aspek engineering dan ekonomi bagi suatu kemasan plastik. Ia menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mencegah migrasi substansi berbahaya ke dalam tubuh manusia melalui kemasan adalah dengan mengatur desain, standar umur pakai, serta standar penggunaan suatu bahan kemasan. 

Menurut Chalid, produsen sebaiknya melakukan inovasi untuk mendapatkan galon yang aman dan sehat sebagai kemasan produk AMDK sebagai konsekuensi penyesuaian umur pakai dan jumlah kali dari penggunaan. Di antaranya dengan menggunakan metode post-consumer resin atau PCR, yaitu suatu cara daur ulang kemasan plastik dengan mencacah galon yang telah digunakan menjadi resin plastik. Selanjutnya, resin itu dicampur dengan resin baru yang belum pernah digunakan dengan komposisi tertentu untuk kemudian dibentuk menjadi kemasan  baru. 

Dalam kesempatan yang terpisah ditemui dalam sebuah acara diskusi ringan di Bogor pada 22 Mei yang lalu, Slamet Riyadi, Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional mengajak para pengusaha untuk mentaati peraturan pemerintah. 

"Adanya peraturan peraturan diberikan oleh negara atau pemerintah dalam hal ini BPOM ataupun Kementerian Perdagangan ataupun pemerintah yang punya kepentingan dalam mengatur regulasi. Ini harusnya ditaati karena semua peraturan ini berkaitan dengan keamanan, kenyamanan dan keselamatan konsumen yang terdapat di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam pasal empat," katanya. 

 

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya