Liputan6.com, Jakarta - Meskipun COVID-19 bukan lagi kedaruratan kesehatan global, mutasi virus COVID terus yang terus bermunculan di negara-negara lain kerap menimbulkan kecemasan. Pada 6 September 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkhawatirkan tren peningkatan COVID jelang musim dingin di belahan Bumi utara.
Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 8 September 2023 melaporkan, kasus COVID sudah jauh berada di level terendah. Walau begitu, surveilans tetap berjalan untuk melihat pola varian SARS-CoV-2.
Baca Juga
Bagi masyarakat sendiri, ciri khas virus COVID yang bermutasi, tidak perlu pergerakannya selalu diikuti. Terlebih lagi, khawatir dengan gejala yang ditimbulkan, bahkan ada yang disebut bisa lebih parah dari varian lain.
Advertisement
Yang Penting Imunitas Tubuh
Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Wiku Adisasmito, narasi kepada masyarakat yang lebih penting adalah imunitas tubuh harus bagus. Sehingga tidak mudah terinfeksi.
Imunitas tubuh terhadap COVID bisa diperoleh dari hasil infeksi maupun vaksinasi. Seseorang pernah terinfeksi COVID dan menerima vaksinasi mampu menghasilkan respons imun yang super alias super immunity.
Jenis kekebalan ini bisa terbentuk baik ketika infeksi terjadi sebelum vaksinasi maupun sebaliknya.
“Kita punya imunitas tubuh. Yang paling penting kan imunitas tubuh ya. Kalau imunitas tubuhnya bagus, maka seharusnya kita terhindar dari situ (infeksi),” ucap Wiku dalam webinar bertajuk, Sadari, Siaga, Solusi Terhadap Mutasi Virus pada Masa Endemi COVID-19, ditulis Senin (11/9/2023).
“Kemudian imunitas ada yang diperoleh dari vaksinasi.”
Mutasi Terus Berjalan, yang Tertular Sedikit
Berkat adanya imunitas yang terbentuk, walau virus Corona bermutasi, penularan bisa diredam. Sebab, masyarakat sudah punya kekebalan.
“Buktinya sekarang virusnya mutasi terus, tapi tertularnya sedikit. Jadi yang tertular sedikit. Kalaupun ada yang terpapar, tidak begitu parah. Ini yang mesti dicegah,” Wiku Adisasmito melanjutkan.
Penelitian Virus COVID Butuh Waktu
Adapun penelitian varian COVID, baik dari sifat dan gejala yang ditimbulkan memakan waktu lama. Hal ini karena dipengaruhi respons imun bisa berbeda-beda di tiap negara.
“Kita meneliti suatu daerah tapi di tempat lain tidak diteliti, maka belum punya evidence yang kuat. Karena reaksinya berbeda-beda dan responsnya bisa berbeda-beda dan perlu waktu lama,” jelas Wiku.
“Jadi lebih baik kita mempersiapkan diri terhadap ancaman ancaman baru lainnya.”
Advertisement
Gejala Mirip bila Varian COVID ‘Satu Keluarga’
Berkaitan dengan gejala virus COVID, Wiku Adisasmito menambahkan, bila varian tersebut masih ‘satu keluarga’ maka kurang lebih gejalanya mirip-mirip.
“Kalau dia punya pola, enggak perlu setiap kali gerakannya kita ikuti. Tapi kita ambil prinsipnya saja, kalau ‘satu keluarga’ virusnya ya kurang lebih gejalanya kurang lebih mirip-mirip,” tambahnya.
“Jadi jangan kita takut dengan gejalanya, tapi kita takut kalau melepaskan perlindungan – protokol kesehatan – kita.”
Sudah Punya Proteksi Diri
Gejala COVID yang mirip dan protokol kesehatan inilah yang perlu disampaikan kepada masyarakat. Artinya, penyebabnya sama, maka perlindungannya juga sama seperti memakai masker sampai vaksinasi.
“Prinsip-prinsip itu yang harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa penyebabnya sama, kecuali kalau virusnya beda ya,” pungkas Wiku yang pernah menjadi Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19.
“Kalau virusnya sama ya kurang lebih gejalanya mirip-mirip. Selama kita sudah punya proteksi diri, bisa terhindar.”
Varian COVID EG.5 dan BA.2.86
Director-General of the World Health Organization Tedros Adhanom Ghebreyesus pada media briefing 6 September 2023 melaporkan peningkatan kematian akibat COVID di beberapa negara Timur Tengah dan Asia.
Pemantauan WHO juga menyoroti varian COVID EG.5 dan BA.2.86 atau yang dikenal dengan nama Pirola. Berikut ini bunyi pernyataan Tedros:
Pasien yang dirawat di ICU meningkat di Eropa dan rawat inap meningkat di beberapa wilayah. Namun, data yang tersedia masih terbatas.
Hanya 43 negara – kurang dari seperempat negara anggota WHO – yang melaporkan kematian kepada WHO, dan hanya 20 negara yang memberikan informasi tentang rawat inap.
Secara global, tidak ada satu varian yang dominan. Varian yang menarik EG.5 sedang meningkat, sedangkan subvarian XBB menurun.
Varian BA.2.86 telah terdeteksi dalam jumlah kecil di 11 negara. WHO memantau varian ini dengan cermat untuk menilai penularan dan potensi dampaknya.
Salah satu kekhawatiran terbesar WHO adalah rendahnya jumlah orang berisiko yang telah menerima dosis vaksin COVID-19 baru-baru ini. Pesan kami adalah jangan menunggu untuk mendapatkan dosis tambahan jika memang direkomendasikan untuk Anda.
COVID-19 Akan Terus Berlanjut
Tedros menekankan, peningkatan jumlah pasien rawat inap dan kematian menunjukkan bahwa COVID akan terus berlanjut. Oleh karena itu, negara-negara akan terus membutuhkan alat untuk melawannya.
Lebih dari tiga tahun yang lalu, WHO dan mitra kami meluncurkan COVID-19 Technology Access Pool, atau C-TAP untuk memfasilitasi pembagian kekayaan intelektual, pengetahuan, dan inovasi untuk vaksin, tes, perawatan, dan alat lainnya, tegasnya.
Berdasarkan data Tracking SARS-CoV-2 variants WHO per 17 Agustus 2023, berikut ini daftar varian COVID-19 yang masuk kategori Variants of Interest (VoI) atau varian yang menjadi perhatian dan Variants Under Monitoring (VUM) atau varian yang diawasi:
Variants of Interest (VoI)
- XBB.1.5
- XBB.1.16
- EG.5
Variants Under Monitoring (VUM)
- BA.2.75
- CH.1.1
- XBB
- XBB.1.9.1
- XBB.1.9.2
- XBB.2.3
- BA.2.86
Advertisement