Liputan6.com, Jakarta - Brand fashion ZARA menuai kecaman dari warganet seletah mengunggah katalog produk ZARA Atelier Collection 4 di media sosial. Unggahan yang mempromosikan seri jaket ZARA itu dinilai menyindir penderitaan warga Palestina yang tengah digempur serangan militer Israel.
Sejumlah foto fashion brand yang berdiri sejak 1975 itu menampilkan latar reruntuhan puing beton dan peti kayu. Bahkan, pada unggahan lain tampak patung dengan anggota tubuh yang hilang.
Baca Juga
Konten kampanye ZARA itu diketahui dibidik oleh fotografer Tim Walker dengan arahan seni perusahaan Prancis-AS Baron & Baron.
Advertisement
Tak sekadar mengecam, warganet juga menyerukan ajakan boikot terhadap jenama tersebut.
Direktur eksekutif Haute Hijab Melanie Elturk menyatakan diri muak atas konten itu.
"Ini memuakkan. Gambaran memuakkan, menyimpang, dan sadis macam apa yang kulihat?" tulisnya.
Kecaman terhadap konten tersebut juga dilayangkan seniman Palestina Hazem Harb.
"Menggunakan kematian dan kehancuran sebagai latar belakang fashion adalah tindakan yang sangat jahat, keterlibatannya, dan seharusnya membuat kita marah sebagai konsumen. Boikot ZARA," demikian Harb berkomentar di Instagram.
Ini bukan pertama kalinya brand fashion itu menuai kecaman. Pada Oktober lalu, jenama yang telah mendunia itu pun dikecam dan diboikot warga Arab Israel karena sang pemilik menjadi tokoh politik sayap kanan Itamar Ben Gvir untuk suatu acara kampanye pemilu.
Terlepas dari kontroversi yang menyelimuti kampanye merek fashion yang usahanya dimulai hanya dari beberapa puluh euro saja.Â
Â
Perjalanan Brand ZARA Dimulai 1975
Perjalanan brand ZARA dimulai sejak sekitar 4 dekade lalu dengan bujet 30 Euro. ZARA merupakan bagian dari salah satu grup distribusi terbesar di dunia, Inditex.
Brand ini menawarkan pakaian untuk pria, wanita, dan anak-anak. Produk yang mereka jajakan tak hanya pakaian, melainkan juga sepatu, aksesori, serta produk fashion lainnya. Jenama ini berkembang pesat, tercatat kurang lebih ada 7 ribu store di seluruh dunia, dilansir laman IndiaTimes.
ZARA didirikan pada 1975 oleh Amancio Ortega dan Rosalia Mera. Semula, keduanya ingin menggunakan nama Zorba. Diakui nama tersebut terinspirasi dari film Zorba. Namun, brand itu telah lebih dulu digunakan oleh sebuah bar di lokasi yang sama dimana store ZARA akan didirikan.
Â
Â
Advertisement
Instant Fashion
Pada awalnya, ZARA menjual produk-produk serupa produk populer dari lini pakaian premium namun dengan harga lebih murah. Pada 1980, ZARA melakukan perubahan pada desain, pabrikan, serta proses distribusinya. Jenama ini mengambil pola instant fashions, reaksi cepat atas tren terkini. Langkah itu berhasil membuat ZARA populer dan dikenal di luar Spanyol.
Pada 1990-an, toko-toko ZARA dibuka di AS, Prancis, serta banyak wilayah Eropa.
Saat ini, Zara dikabarkan memiliki lebih dari 6900 toko yang tersebar di 88 negara di dunia dengan lebih dari 450 juta item terjual dalam setahun! Setiap tahunnya, rata-rata telah membuka sekitar 400 toko dalam 5 tahun terakhir.
Tidak Beriklan
Sementara itu, Inditex yang menaungi ZARA merupakan pionir di antara perusahaan-perusahaan "fast-fashion", yang pada dasarnya meniru mode terkini dan meluncurkan versi yang lebih murah. Berbeda dengan ZARA sebagai jenama, Inditex dibangun pada 1980.
Mengutip The New York Times Magazine, setiap merek Inditex — Zara, Zara Home, Bershka, Massimo Dutti, Oysho, Stradivarius, Pull & Bear, dan Uterqüe — mengikuti templat Zara: produk-produk trendi dan dibuat dengan baik namun murah yang dijual di toko-toko cantik dan berpenampilan mewah. Harga Zara serupa dengan Gap: mantel seharga $200, sweater seharga 70 dollar, T-shirt seharga 30 dollar.
Inditex menjadi yang terdepan dibandingkan pesaing utamanya, Arcadia Group yang memiliki brand Topshop, H&M, serta Mango.
Selain itu, keberhasilan Inditex tidak bergantung pada iklan. Jenama ini tak beriklan, dan bahkan hampir tidak memiliki bagian pemasaran, tidak terlibat dalam kampanye mencolok seperti para pesaingnya yang bekerja sama dengan para desainer ternama. Desainer ZARA sepenuhnya anonim. Sebagian masyarakat berpendapat ini karena mereka lebih pada meniru, bukan mendesain.
Advertisement