Isu Pekerja Anak Masih Memprihatinkan, Ini Sederet Upaya yang Dilakukan Pemerintah

Butuh suatu gerakan dan komitmen yang terus diakselerasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk penghapusan pekerja anak, khususnya di Indonesia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Jan 2024, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2024, 19:00 WIB
Isu Pekerja Anak Masih Memprihatinkan, Ini Sederet Upaya yang Sudah Dilakukan Pemerintah
Isu Pekerja Anak Masih Memprihatinkan, Ini Sederet Upaya yang Sudah Dilakukan Pemerintah. Foto: jcomp/Freepik.

Liputan6.com, Jakarta Isu pekerja anak harus ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Hal ini disampaikan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar.

Di Indonesia, isu tersebut menjadi bagian integral dari lima Arahan Presiden Republik Indonesia kepada KemenPPPA yang keempat, yakni penurunan pekerja anak.

“Pekerja anak adalah isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen yang menjadi cita-cita bersama ini merupakan upaya global yang dibangun sebagai respons atas realitas pekerja anak di dunia yang masih begitu memprihatinkan,” kata Nahar dalam keterangan resmi dikutip Senin (8/1/2023).  

Dia menambahkan, dibutuhkan suatu gerakan dan komitmen yang terus diakselerasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk penghapusan pekerja anak, khususnya di Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menanggulangi pekerja anak, lanjut Nahar. Ini dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Dibolehkan Bekerja. Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999.

Serta Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.

Dalam memperkuat komitmen nasional, pemerintah juga mengadopsi substansi dari kedua Konvensi ILO tersebut mengenai Pekerja Anak (PA) dan BPTA ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

UU ini membahas tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak.

Pengembangan Program Penurunan Pekerja Anak

Ilustrasi eksploitasi anak
Ilustrasi eksploitasi anak. Michal/Pixabay.

Nahar menambahkan, upaya Pemerintah Indonesia dalam penghapusan dan penurunan pekerja anak telah diselenggarakan dan dikembangkan melalui berbagai program serta kegiatan.

Dari mulai advokasi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, penyadaran masyarakat, hingga pengembangan uji coba di berbagai sektor yang kerap didapati adanya pekerja anak. Seperti sektor perikanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, trafficking untuk eksploitasi seksual, hingga domestik berupa pekerja rumah tangga anak (PRTA).

“Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, masih tercatat adanya kenaikan jumlah angka pekerja anak dari tahun ke tahun dan sempat menurun pasca pandemi COVID-19,” tutur Nahar.

Sistem Perlindungan Anak Masih Harus Diperkuat

Sistem Perlindungan Anak Masih Harus Diperkuat
Isu Pekerja Anak Masih Memprihatinkan, Ini Sederet Upaya yang Sudah Dilakukan Pemerintah. Foto: jcomp/Freepik.

Nahar menegaskan, peningkatan angka pekerja anak dari tahun ke tahun merupakan indikasi bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih harus terus diperkuat. Tujuannya, penyadaran, pencegahan, dan penanganan pekerja anak dapat semakin ditingkatkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat jumlah pekerja anak pada 2019 sebesar 0,92 juta, 2020 sebesar 1,33 juta, 2021 sebesar 1,05 juta, dan pada 2022 sebesar 1,01 juta.

Data tersebut menunjukkan adanya tren kenaikan pada rentang waktu 2020 akibat dampak pandemi COVID-19 dan kembali mengalami penurunan pada 2021. Sepanjang 2019 hingga 2021, proporsi pekerja anak pun lebih banyak terjadi di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Dan sebanyak 22 dari 34 Provinsi di Indonesia memiliki proporsi pekerja anak di atas angka nasional.

“Angka pekerja anak kembali mengalami kenaikan yang cukup drastis saat pandemi karena guncangan ekonomi pada masyarakat. Sehingga tidak sedikit anak terpaksa turut membantu orangtua dalam menjalankan usahanya atau bekerja untuk menambah penghasilannya.”

“Hal ini patut menjadi perhatian bersama karena permasalahan pekerja anak, eksploitasi, dan kekerasan terhadap anak ini kerap terjadi pada lapisan masyarakat yang sebagian besar dipengaruhi oleh kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan ekosistem layanan pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, dan kesejahteraan sosial yang belum memadai,” jelas Nahar.

Pencegahan dan Penanganan Pekerja Anak Perlu Ditangani Berbagai Sektor

Pencegahan dan Penanganan Pekerja Anak Perlu Ditangani Berbagai Sektor
Pencegahan dan Penanganan Pekerja Anak Perlu Ditangani Berbagai Sektor. (Dok. Freepik)

Lebih lanjut, Nahar menekankan upaya pencegahan dan penanganan pekerja anak tidak hanya bisa ditangani dari satu sektor semata. Namun, harus menyeluruh pada sektor lainnya yang berkaitan dengan ekosistem pemenuhan hak anak.

Seperti hak pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan perlindungan sosial termasuk hak mendapat perlindungan keamanan jika berkaitan dengan perdagangan orang.

Diperlukan pendekatan dari berbagai sisi untuk menanggulangi dan mengintervensi isu tersebut. Dan menjadikan Anak Tidak Sekolah (ATS) menjadi prioritas utama untuk dilakukan asesmen terkait kerentanan eksploitasi sebagai pekerja anak.

Eksploitasi Seksual Anak
Infografis eksploitasi seksual anak (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya