Shalat Berjamaah dengan Imam di Masjidil Haram Tapi Dkerjakan dari Hotel yang Menghadap Langsung, Memangnya Sah?

Berjamaah dalam shalat hukumnya sunnah muakkadah atau sunnah yang kuat. Shalat berjamaah memiliki banyak keutamaan dan pahala berlipat. Bagaimana jika dilakukan dari hotel sementara imam di Masjidil Haram?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 24 Mei 2024, 19:00 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2024, 19:00 WIB
Masjidil Haram dipadati jutaan jemaah
Shalat Berjamaah dari Hotel yang Menghadap Langsung ke Masjidil Haram, Memangnya Sah? (AP Photo/Dar Yasin)

Liputan6.com, Jakarta - Di Mekah banyak hotel yang mushola dan jendelanya langsung menghadap ke Masjidil Haram. Tak jarang, ada jemaah haji yang shalat dari hotel tapi mengikuti shalat di Masjidil Haram.

Timbul tanya, apakah shalat dari hotel dengan mengikuti imam di Masjidil Haram termasuk dalam shalat jamaah yang sah?

Terkait hal ini, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, KH Muhammad Faeshol Muzammil memberi jawaban.

Menurutnya, berjamaah dalam shalat hukumnya sunnah muakkadah atau sunnah yang kuat. Shalat berjamaah memiliki banyak keutamaan dan pahala berlipat.

Rasulullah saw bersabda:  

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً  

Artinya:

“Shalat jamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat,” (Muttafaq 'Alaih) mengutip NU Online, Jumat (24/5/2024).  

Namun demikian, untuk mendapatkan keutamaan shalat berjamaah, terdapat syarat-syarat sah yang harus terpenuhi. Di antaranya terkait posisi atau keberadaan imam dan makmum.

Perspektif Mazhab Syafi'i Secara umum mengatakan, shalat dapat disebut berjamaah yang sah jika imam dan makmum berada di tempat yang dianggap “berkumpul” di tempat yang sama.

Adapun orang yang ingin berjamaah dengan imam tapi berada di tempat yang ”berbeda” sehingga tidak dihukumi lagi sebagai “orang-orang yang berkumpul,” maka hukumnya tidak sah.

Penjelasan dalam Kitab

Al-Khatib As-Syirbini dalam kitab Mughnil Muhtaj menjelaskan: 

 وَالشَّرْطُ الثَّالِثُ مِنْ شُرُوطِ الِاقْتِدَاءِ: أَنْ يُعَدَّا مُجْتَمِعِينَ لِيَظْهَرَ الشِّعَارُ وَالتَّوَادُّ وَالتَّعَاضُدُ   

Artinya:

“Syarat ketiga dari syarat-syarat shalat berjamaah mengikuti imam adalah makmum dan imam, keduanya dinilai sebagai orang-orang yang berkumpul bersama, agar syiar, rasa saling mencintai, dan saling menguatkan menjadi tampak,” (Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz I, halaman 494-495).  

Dalam menentukan kriteria "berkumpul bersama" ulama membedakan antara posisi di dalam masjid dan di luar masjid.  

Posisi pertama, makmum berada di dalam satu masjid dengan imam. Menurut mazhab Syafi’i, keberadaan makmum dengan imam di dalam satu masjid telah memenuhi syarat berkumpul bersama.   Al-Khatib Al-Syirbini dalam kitab Al-Iqna’ menjelaskan bahwa di manapun posisi makmum, meskipun jaraknya jauh di antara keduanya, atau terdapat bangunan yang menghalangi, baik pintu-pintu ruangan tersebut terkunci atau tidak, baik imam di tempat yang lebih tinggi, dan sebaliknya atau tidak.

Misalnya makmum di menara masjid sementara imam di dalam lorong atau sumur yang terdapat di dalam masjid, selama makmum dan imam berada di masjid yang sama maka mereka disebut berkumpul bersama. Untuk menunaikan shalat berjamaah dan menunaikan syi’ar shalat berjamaah yang sama. (Al-Khatib Al-Syirbini, Al-Iqna' dalam Hasyiyah Al-Bujairimi, juz II, halaman 147).  

Menurut Tokoh Lain

Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al-Hadhrami As-Syafi’i dalam kitab Al-Muqaddimah Al-Hadharamiyah menjelaskan: 

 أَن يجتمعا فِي مَسْجِد وَإِن بَعدت الْمسَافَة وحالت الْأَبْنِيَة وأغلق الْبَاب بِشَرْط إِمْكَان الْمُرُور   

Artinya:

“Makmum dan imam berkumpul dalam satu masjid, meskipun jarak keduanya berjauhan, dan ada sekat-sekat bangunan yang menghalangi keduanya dan meskipun pintu-pintu terkunci. Yang menjadi syarat hanyalah imkanul muruur (kemungkinan untuk lewat),” (Abdullah bin Abdirrahman Al-Hadhrami, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah dalam Minhajul Qaqim, halaman 155).   

Imkanul murur atau dalam istilah lain tanafudzul abwab adalah andaikan makmum berjalan menuju imam melalui arah dan jalur manapun maka sampai kepada imam, meskipun saat berjalan akan membelakangi kiblat. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Minhajul Qaqim halaman 155).  

Sementara yang dimaksud dengan masjid di sini bukan hanya yang dikelilingi tembok atau bangunan masjid.

Masjid adalah semua area yang diwakafkan menjadi masjid. Jika bangunan sebuah masjid memiliki emperan yang dibangun menempel dengan masjid, maka dihukumi sama halnya dengan masjid meskipun tidak diketahui status wakaf kemasjidannya. (Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhil Khathib, juz II, halaman 147).  

Makmum di Luar dan Imam di Dalam Masjid

Posisi kedua, makmum di luar masjid sedangkan imam di dalam masjid. Dalam posisi ini, syarat “berkumpul bersama” mempunyai ketentuan yang lebih ketat.

Para ulama mazhab Syafi’i menetapkan dua syarat.  Syarat pertama, berdekatan (at-taqarub) antara makmum dan imam. Sebagian ulama merujuk kepada ‘urf dan sebagian yang lain menetapkan dengan jarak 300 dzira’ (kurang lebih 150 meter).

Artinya keberadaan makmum yang posisinya di luar masjid tersebut tidak melebihi 300 dzira’ dari batas terluar masjid. Hitungan jarak ini tidak presisi, melainkan perkiraan atau kurang lebihnya saja.

Hal ini seperti dijelaskan Al-Khatib Al-Syirbini dalam Hasyiyah Bujairami, juz 2, hal. 148): 

 وَإِنْ صَلَّى) الْإِمَامُ فِي الْمَسْجِدِ وَالْمَأْمُومُ (خَارِجَ الْمَسْجِدِ) حَالَةَ كَوْنِهِ (قَرِيبًا مِنْهُ) أَيْ مِنْ الْمَسْجِدِ بِأَنْ لَا يَزِيدَ مَا بَيْنَهُمَا عَلَى ثَلَثِمِائَةِ ذِرَاعٍ تَقْرِيبًا مُعْتَبَرًا مِنْ آخِرٍ الْمَسْجِدِ  

Artinya:

"Jika imam shalat di masjid dan makmum di luarnya dalam kondisi dekat dari masjid yaitu sekira tidak melebihi jarak 300 dzira' dihitung dari batas akhir atau batas luar masjid." (Al-Khatib, Al-Iqna dalam Hasyiyah Al-Bujairimi ‘ala Syarhil Khathib, juz II, halaman 148).  

Penghitungan jarak yang dimulai dari batas terluar masjid ini jika mengandaikan adanya kekosongan shaf antara batas masjid dan posisi keberadaan makmum. Jika shaf-shaf makmum berada hingga keluar masjid, maka jarak 300 dzira’ dihitung mulai dari akhir shaf hingga posisi makmum berada.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menjelaskan: 

 ومحلُّه إن لم تَخرُجْ الصفوفُ عَنه وإلا فمِنْ آخر صفّ قطعاً

Artinya:

"Hukum seperti itu dalam konteks jika shaf makmum tidak sampai keluar dari masjid. Jika sampai keluar maka dihitung dari shaf terakir secara pasti," (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj dalam Hawasyis Syirwani wabni Qasim Al-'Abbadi, juz II, halaman 129).  

Syarat kedua, tidak ada penghalang yang menghalangi makmum menuju imam, melihat imam, atau melihat shaf di depannya. Jika ada penghalang maka harus ada makmum lain yang menjadi penghubung (rabith) dengan posisi sejajar dengan tembusan seperti pintu yang terdapat di penghalang tersebut.   Hal ini seperti dijelaskan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in (I’anatutthalibin juz 2, hal. 35): 

 ولو كان أحدهما فيه أي المسجد (والآخر خارجه شرط)  مع قرب المسافة بأن لا يزيد ما بينهما على ثلثمائة ذراع تقريبا (عدم حائل) بينهما يمنع مرورا أو رؤية (أو وقوف واحد) من المأمومين (حذاء منفذ) في الحائل إن كان  

Artinya:

"Andaikan salah satu makmum dan imam ada di dalam masjid, sementara yang lain di luarnya, maka selain kedekatan jarak sekira tidak melebihi 300 dzira' di antara keduanya secara kira-kira, disyaratkan pula tidak ada penghalang di antara keduanya yang mencegah untuk berjalan menuju kepadanya atau melihatnya, atau ada salah satu makmum yang berdiri sejajar dengan ruangyang menembus penghalang tersebut jika ada," (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in dalam I’anatut Thalibin, juz II, halaman 35).  

Infografis Cara Dapatkan Asuransi Jiwa dan Kecelakaan Jemaah Haji Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Cara Dapatkan Asuransi Jiwa dan Kecelakaan Jemaah Haji Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya