Mirip Dokter PPDS Unpad, Pengidap Somnophilia Bisa Lakukan Kekerasan Seksual Lewat Akses Obat Bius

Kasus dokter PPDS Unpad sorot bahaya Somnophilia. Psikolog ungkap pelaku kekerasan seksual bisa lebih bebas jika punya akses obat bius.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori Diperbarui 14 Apr 2025, 08:00 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2025, 08:00 WIB
Pengidap Sleeping Beauty Syndrome yang Punya Akses Bebas pada Obat Bius Cenderung Lebih Leluasa Lakukan Kekerasan Seksual
Psikolog sebut pengidap Somnophilia atau Sleeping Beauty Syndrome bisa lebih leluasa lakukan kekerasan seksual jika punya akses obat bius. (Foto dibuat oleh AI)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kasus kekerasan seksual yang melibatkan seorang dokter PPDS Unpad membuat masyarakat geram. Dokter berinisial PAP, residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Padjadjaran, melakukan tindak kekerasan seksual terhadap pendamping pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.

Modus yang digunakan dokter PPDS Unpad menyerupai pola perilaku pengidap Sleeping Beauty Syndrome atau Somnophilia. Pelaku dilaporkan membius korban hingga tidak sadarkan diri sebelum melakukan aksinya.

Cara ini dinilai sangat mirip dengan metode yang biasa digunakan oleh pelaku dengan kelainan seksual Sleeping Beauty Syndrome. Kasus ini bahkan mengingatkan publik pada tindakan serupa yang dilakukan oleh aktor Amerika, Bill Cosby, yang dikenal sebagai pengidap Somnophilia.

Sleeping Beauty Syndrome, yang juga dikenal sebagai Somnophilia, adalah gangguan seksual langka di mana penderitanya merasa terangsang saat melihat atau menyentuh orang yang sedang tertidur atau tidak sadar.

Dalam dunia psikologi, Somnophilia dikategorikan sebagai gangguan tipe Predatory Paraphilia, karena adanya unsur menyerang korban untuk mendapatkan kepuasan seksual. Hal inilah yang menjadi perhatian dalam kasus dokter PPDS Unpad yang diduga melakukan kekerasan seksual dengan modus serupa.

Menurut konselor dan seks edukator dari Asosiasi Seksologi Indonesia, Febrizky Yahya, Somnophilia memiliki karakteristik berbeda dari gangguan seksual lain seperti fetish.

"Kenapa predatory? Soalnya biasanya orang dengan gangguan ini juga menyerang orang lain untuk meraih kepuasan seksualnya. Beda sama fetish pada benda mati, enggak ada tindakan pelecehan pada orang lain secara langsung," katanya saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 10 April 2025.

 

Profesi yang Miliki Akses Bebas pada Bahan-Bahan yang Bikin Tak Sadar

Timbul pertanyaan, apakah profesi seperti dokter anestesi memberikan peluang lebih besar bagi pengidap Sleeping Beauty Syndrome untuk melakukan kekerasan seksual?

Eby menjelaskan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku. Namun, akses terhadap zat yang dapat menyebabkan seseorang tidak sadar bisa menjadi faktor pendukung bagi pengidap Somnophilia dalam melancarkan aksinya.

"Profesi yang memiliki akses bebas pada bahan-bahan yang dapat membuat seseorang unconscious (tidak sadar), seperti akses pada obat bius, akses pada alkohol, narkoba, tentu membuat pengidapnya lebih leluasa mencari korban," kata Eby.

"Dan, ini nggak hanya dokter anestesi saja, apoteker, farmasi, penjual miras, bahkan pemilik club malam seperti kasus prostitusi Seungri Bigbang juga bisa melakukan hal itu. Enggak tergantung apa profesinya," tambahnya.

 

Sleeping Beauty Syndrome Mirip dengan Kasus Residen PPDS Anestesi Unpad

dokter ppds unpad pelaku pelecehan seksual
Psikolog sebut pengidap Somnophilia atau Sleeping Beauty Syndrome bisa lebih leluasa lakukan kekerasan seksual jika punya akses obat bius. (Dok. Polda Jawa Barat)... Selengkapnya

Lebih lanjut, Eby mengatakan bahwa pola aksi dokter PPDS Unpad yang menggunakan bius terhadap korban, sangat mencerminkan perilaku pengidap Somnophilia.

"Jika hanya dilihat dari modusnya, PAP menggunakan obat bius untuk membuat korban dalam kondisi tidak sadar dan melakukan kekerasan seksual sama seperti pengidap Somnophilia lainnya," ujarnya.

Namun, Eby, menekankan, motif di balik tindakan tersebut perlu ditelusuri lebih dalam untuk memastikan apakah pelaku benar-benar mengidap Sleeping Beauty Syndrome atau sekadar melakukan kekerasan seksual dengan memanfaatkan situasi. 

"Yang membedakan apakah PAP ini termasuk Somnophilia atau pelaku kekerasan seksual biasa adalah motifnya," kata Eby.

Dia, menjelaskan, jika dokter PPDS Unpad membius korban disebabkan dia mendapat akses bebas pada obat bius dan membuat korban tidak bisa melawan atau menyadari adanya kekerasan seksual yang terjadi sehingga perbuatannya tidak ketahuan, yang bersangkutan tidak dapat dikategorikan Somnophilia.

"Namun, jika motifnya adalah sengaja membuat korban tidak sadar khusus untuk membuat dirinya terangsang, maka bisa jadi ia somnophilia atau Sleeping Beauty Syndrome," katanya.

Tak Bisa Diagnosis Sembarangan

Kasus Residen PPDS Unpad Ingatkan Edukator Seks pada Sleeping Beauty Syndrome, Ini Alasannya
Psikolog sebut pengidap Somnophilia atau Sleeping Beauty Syndrome bisa lebih leluasa lakukan kekerasan seksual jika punya akses obat bius. (Foto dibuat oleh AI)... Selengkapnya

Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa diagnosis Somnophilia tidak bisa diberikan sembarangan. Hanya psikiater atau psikolog profesional yang berwenang menegakkan diagnosis ini, apalagi dalam kasus serius seperti dugaan kekerasan seksual oleh dokter PPDS Unpad.

"Diagnosis Somnophilia harus ditegakkan melalui serangkaian pemeriksaan intensif oleh psikiater dan psikolog yang kompeten di bidang seksologi," pungkas Eby.

Hal ini menjadi sangat penting demi menindak tegas pelaku kekerasan seksual, sekaligus memberikan penanganan yang tepat jika memang terbukti ada gangguan seksual seperti Sleeping Beauty Syndrome.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya