Liputan6.com, Jakarta Membeli pakaian bekas dengan tujuan berhemat sebenarnya bukan hal baru. Di beberapa daerah seperti Solo dan Yogyakarta, kegiatan membeli pakaian bekas disebut dengan istilah awul-awul. Namun sekarang, kegiatan ini menjadi semakin populer dan menjadi trend yang sedang naik di kalangan anak muda.
Baca Juga
Advertisement
Tren ini kemudian dikenal dengan istilah thrifting. Di Indonesia sendiri, aktivitas membeli pakaian bekas atau thrifting sudah ada sejak lama. Biasanya barang yang diincar dalam kegiatan thrifting ini merupakan pakaian bekas orang lain yang dijual kembali.
Pakaian-pakaian ini biasanya didatangkan dari luar negeri atau diimpor dari Amerika, Jepang, China, Korea dalam jumlah yang besar. Thrifting menjadi trend karena selain bisa mendapatkan pakaian dengan harga yang jauh lebih murah, pakaian yang masuk dalam kategori barang thrift ini juga dianggap memiliki kualitas yang jauh lebih bagus.
Tren thrifting semakin berkembang dan semakin populer di kalangan muda-mudi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya banyaknya festival dan pameran thrifting yang sudah diadakan di berbagai daerah dan kota di seluruh Indonesia.
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kota Surakarta, sudah beberapa kali festival baju bekas diadakan di Terminal Tirtonadi dan terbukti menjaring banyak pengunjung. Sudah dijelaskan sebelumnya, thrifting bukan merupakan hal baru, dan memiliki sejarah yang cukup panjang.
Lalu apa itu thrifting? Berikut sejarahnya, seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (29/11/2022).
Awal Mula Thrifting
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, thrifting adalah kegiatan berbelanja pakaian bekas. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Inggris "thrift" yang secara harfiah berarti hemat. Kata thrift diperkirakan muncul di Inggris pada tahun 1300-an. Pada saat itu, thrift mengacu pada fakta atau kondisi berkembang; kemakmuran, tabungan.
Dilansir dari The State Press, istilah tersebut bukan mengacu pada kondisi kesejahteraan seseorang yang mengharuskan mereka harus berhemat, melainkan lebih pada penggunaan sumber daya secara hati-hati untuk menjadi makmur.
Dari sumber yang sama menyebutkan bahwa awal mula kegiatan thrifting ini dimulai sekitar tahun 1.300-an, pada abad pertengahan. Pada saat itu, pakaian bekas ditumpuk dan dijual di alun-alun pasar.Ketika masyarakat mulai memodernisasi, perdagangan barang bekas dimulai sebagai sistem barter, melayani masyarakat berpenghasilan rendah.
Meski kegiatan jual beli barang bekas sudah ada sejak tahun 1.300-an, namun thrifting berkembang pada pertengahan 1800-an hingga awal 1900-an dengan berdirinya organisasi seperti Salvation Army dan Goodwill.
Penjualan barang bekas mulanya adalah aktivitas penggalangan dana. Cara menggalang dana pada saat itu adalah dengan menampung sumbangan dari para donatur berupa barang bekas untuk dijual. Kemudian hasil penjualannya disumbangkan kepada para tunanetra.
Sementara itu, menurut trvst world, Salvation Army mulai membuka toko barang bekas pada tahun 1897. Tujuh tahun kemudian, Goodwill juga membuka toko barang bekas dan sukses hingga memiliki armada 1.000 truk pada tahun 1920-an. Sejak saat itu organisasi yang bergerak di bidang amal mulai melakukan kegiatan tersebut untuk menggalang dana, bahkan mereka akan dengan senang hati mendatangi rumah donatur untuk mengambil barang bekas.
Advertisement
Thrifting Menjadi Tren yang Populer
Perkembangan kegiatan thrifting yang kemudian menjadi trend yang populer tidak lepas dari faktor ekonomi. Kesulitan ekonomi akibat depresi dan resesi, kemudian sulitnya bahan baku akibat dari dampak perang Dunia I dan II, menjadi faktor-faktor yang berkontribusi dalam meningkatkan popularitas barang bekas.
Namun dari semua faktor yang meningkatkan popularitas thrifting, tidak ada yang lebih signifikan daripada faktor teknologi, yang tak lain adalah internet. Adanya internet mendorong munculnya perkembangan penjualan barang bekas berbasis online. Banyak konsumen mungkin tahu bahwa eBay dan Craigslist memulai debutnya secara online pada tahun 1995. Namun, sebagian besar tidak akan menyadari bahwa ini adalah toko barang bekas berbasis online.
Dalam 25 tahun sejak penjualan barang bekas secara online terjadi, thrifting pun semakin populer dan semakin menyebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Thrifting di Indonesia
Di Indonesia pun, Thrifting sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan di beberapa daerah seperti Solo dan Yogyakarta, thrifting memiliki istilahnya sendiri, yang disebut awul-awul. Istilah awul-awul berasal dari aktivitas ketika seseorang memilih pakaian dari tumpukan yang menggunung dengan cara membolak-balik tumpukan atau "ngawul."
Jual beli barang bekas, khususnya pakaian, sudah ada sejak lama. Pakaian-pakain bekas ini lazim diperjualbelikan di pasar maupun sekaten. Dikutip dari laman Pemkot Surakarta, tren awul-awul atau thrifting zaman dahulu dan sekarang telah mengalami banyak perubahan. Dulu, barang awul-awul atau thrifting lebih banyak dibeli oleh kalangan tua, tapi sekarang awul-awul menjadi tren fashion di kalangan muda.
Popularitas thrifting di Indonesia juga semakin berkembang. Ini karena ada sejumlah manfaat yang bisa dirasakan oleh penggemar thrifting. Designer dari brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis, seperti dikutip dari laman Pemkot Surakarta, menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang memicu orang-orang menyukai thrifting.
Pertama, thrifting menantang kreativitas dalam styling, terdapat unsur kejutan ketika thrifting. Atau dengan kata lain, thrifting memiliki keseruan tersendiri dibandingkan membeli pakaian baru. Kedua, karena barang thrifting lebih murah, dan ketiga karena adanya kesadaran ramah lingkungan untuk mengurangi limbah dari baju bekas.
Advertisement
Masalah Regulasi
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kebanyakan barang thrifting sebenarnya merupakan pakaian bekas yang didatangkan atau diimpor dari sejumlah negara seperti Amerika, Jepang, China, dan Korea. hal ini tentu saja terbentur oleh regulasi yang berlaku di Indonesia. Ini karena Indonesia memiliki regulasi tentang larang impor pakaian bekas.
Larang tersebut tercantum pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 51 tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Dalam pasal 2 disebutkan, "pakaian bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia." Sedangkan dalam pasal 3 disebutkan konsekuensi jika masih ada pakaian bekas yang masuk ke Indonesia setelah aturan ini berlaku. Dalam pasal 3 disebutkan, "pakaian bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pemusnahan terhadap pakaian impor bekas pernah dilakukan oleh Kemendag pada 12 Agustus 2022 di kawasan pergudangan Gracia di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sekitar 750 bal pakaian bekas yang diduga asal impor senilai Rp 8,5 miliar-Rp 9 miliar dimusnahkan.
Mendag Zulkifli Hasan menekankan, pemusnahan ini merupakan salah satu bentuk komitmen Kementerian Perdagangan dalam proses pengawasan dan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran di bidang perdagangan dan perlindungan konsumen.