Liputan6.com, Yogyakarta Per Juli 2023, 70,34 persen lansia dan 70,50 persen kelompok dengan risiko tinggi dan masyarakat umum di Indonesia sudah mendapat dua dosis vaksin COVID-19. Namun dibalik pencapaian tersebut, masih ada masyarakat yang tidak memahami pentingnya vaksinasi.
Baca Juga
Advertisement
Ini membuat upaya komunikasi risiko yang inklusif perlu terus dilakukan oleh berbagai pihak. Demikian studi yang dilakukan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) bersama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM), tentang tingkat penerimaan vaksin pada tahun 2022.
Riset kualitatif dengan 304 responden dari empat provinsi (Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, dan Yogyakarta) ini menunjukkan capaian vaksin lebih didorong oleh kekhawatiran hukuman administratif seperti larangan untuk bepergian dan tidak dapat menerima bantuan sosial (bansos) jika belum divaksin. Seharusnya, persepsi masyarakat tentang tingkat risiko dan manfaat vaksin menjadi faktor pendorong penerimaan vaksin.
Studi ini mengungkap, responden yang terdiri dari lansia, masyarakat umum, ODHA, transpuan, difabel dan sejumlah kelompok risiko tinggi lain, menunjukkan kurangnya pemahaman akan pentingnya vaksinasi.
Minat masyarakat yang mulai turun dan masih adanya hoaks
Meski sebagian besar kelompok risiko tinggi sudah mendapatkan dua dosis vaksin COVID-19, minat vaksin ketiga atau booster justru menurun. Saat ini, baru 37,9 persen target sasaran vaksinasi yang sudah melakukan booster pertama dan hanya 1,7 persen yang melakukan booster kedua.
Hal ini tak luput dari masih adanya informasi simpang siur dan berita hoaks yang beredar. Transisi pandemi ke endemi juga membuat masyarakat mempertanyakan masihkah vaksin dibutuhkan.
"Yang menganggap vaksin sudah nggak dibutuhkan lagi, itu ada" ujar Heri Agus Stianto, Program Manajer Vaksinasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DI Yogyakarta saat dihubungi pada Jumat(21/7/2023).
Hoaks juga masih menyelimuti masyarakat. Menurut keterangan Heri, pada Februari 2023 lalu misalnya, masih ada orang yang menganggap vaksin bisa menyebabkan kematian.
"Sehingga proses-proses informasinya, penyampaian edukasinya itu memakan banyak waktu. Jadi, untuk melayani, kita harus melewati beberapa tahapan," jelasnya.
Hoaks yang beredar di kelompok difabel misalnya, diperburuk dengan minimnya komunikasi, informasi, dan edukasi yang inklusif.
"Teman-teman difabel dan mungkin orang kebanyakan di Indonesia kan masih sangat terbatas literasinya. Jadi ya, masih agak susah memilah hoaks dan fakta. Ditambah tadi, dengan KIE dari pemerintah juga tidak, atau belum aksesibel waktu itu kan" ujar Ajiwan Arief Hendradi, Perwakilan dari Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) ketika ditemui di kantor SIGAB, Senin(24/7/2023).
Advertisement
Pentingnya komunikasi risiko inklusif yang tepat sasaran
Minat masyarakat mendapatkan vaksin COVID-19 yang mulai turun terjadi karena kurangnya komunikasi risiko. Menurut penelitian yang dilakukan FK-KMK UGM, upaya penegakan hukum atau enforcement secara sementara bisa membantu pemerintah dalam mencapai target vaksinasi.
Namun, upaya ini tidak akan mampu mencapai perubahan perilaku secara jangka panjang. Ini sebabnya, komunikasi risiko yang menjangkau tiap kelompok audiens sangat perlu dilakukan. Srimurni Rarasati, salah satu peneliti dari FK-KMK UGM mengungkapkan, komunikasi risiko yang ideal adalah komunikasi yang disesuaikan dengan audiensnya.
“Kalau lansia mungkin kita harus mendekati personal. Mereka lebih senang face-to-face. Mereka juga suka lewat kader kesehatan. Jadi harus membangun hubungan dulu dengan pemberi informasinya” kata Raras saat dihubungi pada Senin(17/72023).
Hal serupa juga disampaikan Heri. Menurutnya, perlu ada edukasi yang holistik dan sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya masyarakat tersebut.
"Hal yang paling utama saya rasa penyadaran. Kita hidup di Indonesia perlu menerima bahwa tingkat literasi kita masih rendah, dan tingkat kesadaran kesehatan juga masih rendah," ujar Heri.
Heri menyebutkan, ketika ada misinformasi, pendekatan bisa dilakukan langsung dari relawan atau agent of change yang ada di masing-masing desa. Misalnya, dokter, kader kesehatan desa, atau tenaga kesehatan terlatih, untuk memberikan informasi.
Titik edukasi juga perlu diperbanyak untuk melakukan pendekatan. Ini bisa mempermudah penyampaian informasi yang inklusif.
"Contoh, karena ini salah satu kelompok risiko tingginya adalah lansia, kita melakukan pendekatannya di posyandu lansia. Jadi setiap minggu itu ada pertemuan. Kami datang ke sana untuk memberikan sosialisasi tentang pentingnya vaksin, bahayanya Covid-19 yang masih ada untuk saat ini" ujar Heri.
Pelibatan kelompok risiko tinggi seperti penyandang disabilitas juga sangat berpengaruh di komunitasnya, terutama dalam menentukan kebijakan. Novi Purnamasari, Koordinator Provinsi AIHSP wilayah DIY mengungkapkan, dengan melibatkan penyandang disabilitas misalnya, kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih inklusif.
“Harapan kami, pemerintah juga tetap melibatkan mereka untuk program-program mereka. Tidak hanya sebagai sasaran, tetapi juga sebagai pihak yang bisa mengambil bagian ke depannya," ujar Novi pada Jumat(14/7/2023).
Dengan mengadopsi pendekatan inklusif dan humanis dalam program vaksinasi, pemerintah dapat meningkatkan cakupan vaksinasi dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap upaya pencegahan dan pengendalian pandemi.
“Jangan menganggap masyarakat sebagai nominal angka saja. Ketika pandemi itu muncul, selalu saja ada sekian ribu orang yang meninggal, sekian ratus ribu yang sembuh. Tapi bagaimana pemerintah bisa memberikan layanan-layanan yang lebih humanis, dengan pemberian informasi sampai layanan inklusif. Itu wajib ditingkatkan" ujar Heri.
Akses vaksinasi kelompok risiko tinggi di Yogyakarta
Cakupan vaksinasi pada kelompok risiko tinggi tidak terlepas dari akses terhadap vaksinasi di setiap daerah. Menurut Raras, jenis kelompok risiko tinggi dan daerah bisa berbeda-beda kondisinya.
"Berdasarkan riset yang dilakukan AIHSP bersama UGM, lansia tidak banyak yang bersedia mengikuti vaksinasi karena mereka jarang keluar rumah" ujar Raras.
Di Yogyakarta, bahkan sanksi administratif belum cukup mendorong masyarakat untuk bisa ikut vaksinasi. Hal ini disampaikan juga oleh Heri, yang menjelaskan bahwa ketakutan akan sanksi administratif ini bisa berbeda di masing-masing lokasi. Menurut Heri, meski sudah diiming-imingi bansos, di sejumlah daerah di Yogyakarta masih ada masyarakat enggan untuk berangkat vaksinasi.
"Jadi ketika itu, syarat untuk mengambil Program Keluarga Harapan (PKH), salah satunya adalah sudah divaksinasi. Ternyata dari uji coba itu, minat masyarakat yang mengakses bansos turun sangat drastis, sehingga pemerintah kabupaten juga khawatir karena mereka juga memiliki target untuk menyalurkan PKH," jelas Heri.
Penelitian juga menemukan bahwa pengaruh keluarga, teman sebaya, dokter, tokoh masyarakat dan tokoh agama juga bisa menjadi faktor motivasi masyarakat untuk mendapatkan vaksin.
"Ada juga lansia yang banyak dipengaruhi oleh tokoh agama. Apalagi dulu kan ada hoaks kalau vaksin itu haram. Ketika sudah digaungkan oleh tokoh agama kalau vaksin itu halal dan sebaiknya dilakukan itu, barulah mereka (lansia) bersedia untuk divaksin " ujar Raras.
Advertisement
Bahu-membahu tingkatkan akses vaksinasi
Di Yogyakarta, meski mengalami sejumlah kendala, kelompok difabel akhirnya bisa mendapat vaksin hingga minimal dosis 2. Hal ini tercapai berkat adanya kolaborasi lintas sektor (pentahelix) antara Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP), pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama, NGO, kelompok PKK, dan komunitas-komunitas difabel.
Raras menyebutkan, di Yogyakarta, komunikasi untuk difabel lebih baik karena mereka tergabung dalam komunitas. Jadi, semua informasi terkumpul di komunitas.
"Jadi, kalau yang belum dapat itu ya dicarikan info vaksin ke teman-temannya. Kalau di Jogja itu satu sama lain itu membantu untuk kelompok difabel," ujar Raras.
Upaya saling bantu inilah yang juga dilakukan oleh Ajiwan Arief dan kawan-kawannya selama pandemi. Dengan dukungan dari AIHSP, SIGAB membuat materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait dengan vaksinasi COVID-19 yang ramah difabel. KIE ini disesuaikan dengan tiap karakteristik difabel. Misalnya, memproduksi poster atau artikel yang bisa dibaca oleh pembaca layar untuk difabel netra.
Selain itu, AIHSP bekerja sama dengan Save the Children dan PKBI DIY melaksanakan kegiatan vaksinasi inklusif di Yogyakarta.
"Kami berupaya, salah satunya agar layanan vaksinasi inklusif ini dapat dilakukan sedekat mungkin dengan kelompok difabel," ujar Heri Stianto.
Upaya ini dilakukan mulai dari jemput bola dari satu dusun ke dusun lain, terutama untuk lansia. Kegiatan vaksinasi juga dilakukan dengan menyediakan juru bahasa isyarat untuk difabel. Disediakan pula kursi roda dan aksesnya untuk difabel daksa.
"Beberapa kegiatan ada juga yang tidak menyediakan juru bahasa isyarat sehingga ketika ada disabilitas tuli datang, mereka itu tidak terinformasikan secara lengkap, bahwa semisal ini jenis vaksinnya apa, lalu gejala-gejalanya seperti apa, mitigasinya seperti apa. Itu sangat jarang tersampaikan, sehingga kami berupaya menyediakan juru bahasa isyarat," ujar Heri.