Liputan6.com, Jakarta - Hujan buatan di Jakarta merupakan inisiatif yang dilakukan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai bagian dari upaya mengatasi masalah polusi udara yang semakin memburuk di Ibu Kota. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) digunakan oleh BMKG untuk menciptakan hujan buatan dengan mengandalkan pertumbuhan awan dan arah angin.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun hujan buatan Jakarta berhasil terjadi di beberapa kesempatan dengan intensitas lebat, seperti pada 27 Agustus 2023 malam. Efektivitas teknologi modifikasi cuaca dalam mengurangi polusi udara masih menjadi perdebatan. Data menunjukkan meski hujan buatan berhasil membersihkan udara sejenak, polusi udara di Jakarta cenderung kembali meningkat di pagi harinya.
Data dari situs IQAir pada 28 Agustus 2023, pukul 09.25 WIB, menunjukkan bahwa indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 163 US Air Quality Index (AQI US). Hal ini masih menjadikan posisi Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia. Ahli menyebut, hujan buatan di Jakarta bukan respon solutif, tetapi reaktif.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hujan buatan di Jakarta yang diklaim bisa menjadi solusi masalah polusi udara ibu kota, Senin (28/8/2023).
Â
Â
Hujan Buatan Bukan Solusi Masalah Polusi Udara Jakarta
Hujan buatan di Jakarta yang dilakukan oleh BMKG merupakan upaya yang terus dilakukan oleh pemerintah dengan menerapkan modifikasi cuaca atau TMC (teknologi modifikasi cuaca). Pendekatan ini melibatkan manipulasi pertumbuhan awan dan arah angin guna menciptakan hujan buatan. Salah satu tujuan utama dari modifikasi cuaca ini adalah untuk mengatasi masalah polusi udara yang semakin memburuk di Ibu Kota.
Namun, para ahli berpendapat bahwa hujan buatan di Jakarta bukanlah solusi definitif, melainkan respons reaktif terhadap permasalahan polusi udara.
"Tidak akan menyelesaikan masalah kalau tidak menyasar sumber-sumber pencemar, entah dari transportasi, industri, pembakaran sampah, maupun pembakaran batubara dari industri PLTU," jelas Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Greenpeace Indonesia, Charlie Albajili, usai acara peluncuran seri parfum terinspirasi polusi "Our Earth" di bilangan Jakarta Pusat, Jumat, 25 Agustus 2023.
Data dari situs IQAir pada 28 Agustus 2023, pukul 09.25 WIB, mengindikasikan bahwa indeks kualitas udara Jakarta mencapai angka 163 US Air Quality Index (AQI US). Hal ini menjadikan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia. Meskipun pada malam tanggal 27 Agustus 2023, hujan buatan berhasil terjadi di Jakarta, kualitas udara tetap berada pada peringkat terendah.
Intensitas deras hujan buatan yang turun di Jakarta pada 27 Agustus 2023 berhasil mencuci sebagian besar polusi udara, seperti yang terlihat dari perubahan nilai indeks kualitas udara di situs IQAir. Meskipun sempat turun ke peringkat kelima dalam daftar kota dengan polusi udara terburuk di dunia setelah hujan, Jakarta kembali menduduki peringkat kedua terburuk di dunia pada pagi harinya.
Operasi teknologi modifikasi cuaca di Indonesia melibatkan beberapa instansi seperti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Keberhasilan teknologi modifikasi cuaca di Indonesia seperti hujan buatan di Jakarta ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk pertumbuhan awan dan arah angin.
Namun, efektivitas modifikasi cuaca ekstrem di Indonesia masih menjadi perdebatan. Ahli berpendapat bahwa kurangnya daerah kontrol dalam operasi teknologi modifikasi cuaca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan.
Selain itu, jenis awan tropis yang sulit dimodifikasi juga menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan hujan buatan di wilayah Jakarta. Oleh karena itu, upaya untuk menciptakan hujan buatan di Jakarta harus dilakukan dengan desain statistik yang akurat dan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan yang kompleks.
Advertisement
Polusi Udara Jakarta Tingkatkan Kasus Penyakit Pernapasan
Dampak polusi udara di Jakarta, khususnya terhadap kesehatan penduduk, menjadi masalah serius. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan bahwa pada tanggal 24 Agustus 2023, jumlah kasus penyakit saluran pernapasan akut (ISPA) di Jakarta mencapai angka 200.000.
Jumlah kasus penyakit pernapasan ini merupakan 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan jumlah kasus ISPA selama masa pandemi Covid-19. Pada masa pandemi, angka kasus ISPA hanya sekitar 50.000.
"Itu ada akibatnya juga karena polusi udara," ujarnya Menkes Budi saat ditemui tim Liputan6.com di sela-sela acara ASEAN Finance and Health Ministerial Meeting di Hotel Mulia Senayan, Jakarta pada Kamis (24/8/2023).
Selain itu, data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) juga mengungkapkan dampak polusi udara terutama dalam meningkatnya kasus penyakit pernapasan pada anak balita. Hasil Survey Kesehatan Nasional (SURKESNAS) Tahun 2011 menunjukkan, sekitar 28 dari setiap 100 anak balita yang meninggal disebabkan oleh ISPA, terutama pneumonia.
Ini berarti sekitar 5 dari setiap 1000 anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sehingga terdapat sekitar 140.000 anak balita yang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Pada kasus saat ini karena polusi udara, tren peningkatan kasus ISPA juga terlihat di Jakarta Selatan pada tahun 2023. Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan mencatat bahwa selama periode Mei hingga Juli 2023, terjadi peningkatan kunjungan ke puskesmas oleh penderita ISPA sebesar 22 persen.
Mayoritas pasien ISPA adalah anak-anak berusia 0-5 tahun atau balita, dengan jumlah mencapai 62.186 orang. Namun, dampak polusi udara tidak hanya memengaruhi balita, karena ada juga 45.247 orang berusia 9-60 tahun dan 13.225 orang berusia 5-9 tahun yang terkena ISPA. Jumlah pasien yang berusia di atas 60 tahun relatif lebih sedikit, hanya sebanyak 7.588 orang.
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan bahwa pada tahun 2019, polusi udara telah berkontribusi terhadap 6,7 juta kematian di seluruh dunia. Dari angka tersebut, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa polusi udara ambien (luar ruangan) menjadi penyebab 4,2 juta kematian pada tahun yang sama.
"Tegasnya, polusi udara menjadi penyebab 1 dari 6 kematian di dunia. Kemudian di India terjadi hampir 1,6 juta kematian akibat polusi udara di tahun 2019," papar Tjandra Yoga kepada tim Liputan6.com melalui pesan singkat, pada Rabu (16/8/2023).