Pemilu 1971, Sejarah, Dasar Hukum, Pelaksanaan dan Hasilnya

Sejarah, dasar hukum, pelaksanaan dan hasil Pemilu 1971

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 15 Jan 2024, 19:45 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2024, 19:45 WIB
pemilu-ilustrasi-131024c.jpg
Ilustrasi pemilih surat suara.

Liputan6.com, Jakarta Pemilu 1971 menjadi babak baru dalam perjalanan politik Indonesia, mewarnai sejarah dengan landasan hukum, sistem pemilu, dan perubahan yang mencolok dalam arena politik. Peristiwa Pemilu 1971 menyuguhkan sorotan tajam terhadap aspek-aspek kunci yang membentuk dinamika politik pada saat itu. Dengan undang-undang sebagai tiang utama, pemilu ini bukan sekadar serangkaian proses demokratis, melainkan panggung dramatis di mana kekuatan politik bersaing untuk meraih legitimasi dan dukungan rakyat.

Dasar hukum yang mengikat Pemilu 1971, terutama Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969, memberikan fondasi yang kokoh bagi penyelenggaraan proses demokrasi tersebut. Prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia diukir dalam undang-undang tersebut, menjadikan pemilu sebagai refleksi dari semangat demokrasi yang diemban oleh negara. Pelaksanaan pemilu, yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971, tidak hanya menjadi rutinitas penyelenggaraan demokrasi, tetapi juga panggung pertarungan politik yang mencerminkan perubahan peta kekuasaan. 

Untuk sejarah dan hasil lengkapnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Senin (15/1/2024).

Dasar Hukum Pemilu 1971

Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)
Ilustrasi Tinta Pemilu (Istimewa)

Pemilihan Umum tahun 1971 menyandarkan diri pada fondasi hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum untuk Anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Undang-undang ini menjadi pilar utama yang mengatur dan mengawal seluruh proses pemilu, dengan ketegasan menetapkan bahwa penyelenggaraannya harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. 

Prinsip-prinsip dasar pemilihan umum ini tidak hanya bersumber dari regulasi tersebut, melainkan telah diakui dan diamanatkan oleh otoritas tertinggi melalui Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966. Dengan demikian, Pemilu 1971 bukan sekadar wujud partisipasi politik, melainkan juga manifestasi dari landasan hukum yang kokoh dan demokratis.

 

Sistem Pemilu

Sistem pemilu yang diterapkan pada tahun 1971 menjadi pilar kritis dalam merangkai dinamika politik pada masa itu. Prinsip perwakilan berimbang menjadi inti dari sistem tersebut, mengadopsi model daftar mengikat sebagai instrumen utama. Dalam konteks ini, penting untuk dicermati bahwa kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD sejalan dengan dukungan yang diberikan oleh pemilih. 

Mekanisme ini menandaskan bahwa setiap suara yang diberikan oleh pemilih akan mengukir representasi sesuai dengan preferensi partai atau organisasi peserta pemilu. Oleh karena itu, sistem pemilu pada tahun 1971 tidak hanya mengukuhkan legitimasi, melainkan juga menggambarkan relevansi antara wakil yang terpilih dan aspirasi rakyat, menjadikannya sebagai lanskap demokrasi yang dinamis dan responsif.

Pelaksanaan Pemilihan Umum 1971

Ilustrasi Pemilu Pilkada Pilpres (Freepik)
Ilustrasi Pemilu/Pilkada/Pilpres (Freepik)

Pelaksanaan Pemilu 1971 diwarnai oleh kebijakan Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno. Meskipun ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan pemilu pada tahun 1968, Pemilu baru dapat diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Pada waktu itu, ketentuan netralitas pejabat negara menjadi signifikan, walaupun dalam praktiknya, pemerintah cenderung mendukung Golkar.

Dalam pembagian kursi, Pemilu 1971 mengadopsi sistem yang berbeda dengan Pemilu 1955. Pembagian kursi dilakukan dalam tiga tahap, tergantung pada apakah partai melakukan stembus accord atau tidak. Kelemahan sistem ini menyebabkan perbedaan antara hasil perolehan suara nasional dengan jumlah kursi yang diperoleh oleh masing-masing partai.

 

Hasil Pemilu 1971

Suaranya menggelegar dalam perhitungan pemilu tahun 1971, Golkar tampil sebagai pemimpin tak terbantahkan dengan perolehan mencengangkan sebanyak 325 kursi dari total 360 kursi yang diperebutkan. Dominasi ini menggambarkan kekuatan politik yang monumental, memposisikan Golkar sebagai kekuatan utama di panggung politik Indonesia pada masa itu. Di sisi lain, Partai NU, Parmusi, dan PNI, meskipun berhasil meraih kursi, terlihat memiliki perolehan suara yang tidak sejalan secara proporsional dengan kekuatan yang sebenarnya.

Berikut adalah ilustrasi hasil Pemilu 1971:

1. Golkar

Suara: 34,348,673

Kursi: 325

2. NU (Nahdlatul Ulama)

Suara: 10,213,650

Kursi: 89

3. Parmusi

Suara: 2,930,746

Kursi: 11

Hasil Pemilu 1971 menyoroti dominasi mencolok Golkar dengan perolehan suara dan kursi yang luar biasa. Meskipun NU, Parmusi, dan PNI berhasil meraih kursi, terlihat ketidakselarasan antara perolehan suara dan distribusi kursi. Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keadilan dan keterwakilan sejati dalam sistem perwakilan politik yang diterapkan.

Keberhasilan Golkar dalam meraih kursi sejumlah 325 dari total 360 kursi mencerminkan dominasi politik yang mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan puncak pada masa itu. Dalam evaluasi Pemilu 1971, pertanyaan kritis muncul: apakah sistem kombinasi seperti pada Pemilu 1955 bisa memberikan hasil yang lebih seimbang? Keberhasilan Golkar juga menyoroti kompleksitas sistem perolehan kursi, memberikan pemahaman mendalam tentang dinamika politik pada periode tersebut.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya