Liputan6.com, Jakarta Perayaan Imlek adalah momen yang sangat penting dalam budaya Tionghoa. Tahun baru Imlek 2024, yang jatuh pada tanggal 10 Februari 2024, mengawali periode baru dalam kalender lunar Tionghoa. Berbeda dengan penanggalan Gregorian yang digunakan secara luas, kalender lunar menyesuaikan perhitungannya berdasarkan siklus bulan, yang menjadikan Imlek memiliki tanggal yang bervariasi setiap tahunnya.
Perayaan Imlek telah menjadi bagian integral dari keragaman budaya di Indonesia. Sejarah perayaan Imlek di Indonesia mencerminkan interaksi yang kaya antara budaya Tionghoa dan budaya lokal, serta memperkaya lanskap budaya negara ini secara keseluruhan.
Sejarah perayaan imlek di Indonesia berawal dari masuknya para imigran Tionghoa. Pada era orde baru perayaan imlek sempat dibatasi oleh pemerintah. Namun saat ini, imlek telah diakui sebagai hari raya nasional oleh pemerintah bahkan dijadikan hari libur nasional. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sejarah perayaan imlek di Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (6/2/2024).
Advertisement
Perayaan Imlek Awalnya adalah Hari Besar Keagamaan
Sejarah perayaan imlek di Indonesia pada masa awal kemerdekaan diakui sebagai hari besar keagamaan. Pada tahun 1946, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.2/OEM-1946 tentang hari-hari raya umat beragama. Penetapan ini mencakup empat hari raya keagamaan bagi masyarakat Tionghoa, yang meliputi perayaan Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu, Ceng Beng, dan hari lahirnya Khonghucu.
Penetapan ini mengakui bahwa perayaan Imlek merupakan salah satu hari raya keagamaan bagi komunitas Tionghoa di Indonesia. Keputusan ini menandai pengakuan pemerintah terhadap pentingnya perayaan Imlek dalam praktik keagamaan dan budaya Tionghoa.
Penetapan Imlek sebagai hari raya keagamaan juga mencerminkan semangat toleransi agama yang menjadi salah satu prinsip dasar negara Indonesia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk majemuk menghormati dan memuliakan keberagaman agama dan budaya yang ada di dalamnya.
Â
Â
Advertisement
Pembatasan Perayaan Imlek Era Orde Baru
Pada masa Orde Baru, terjadi pembatasan terhadap kegiatan budaya dan agama Tionghoa di Indonesia. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Perayaan Imlek serta berbagai tradisi dan kegiatan budaya Tionghoa lainnya menjadi terlarang untuk dirayakan secara terbuka di depan publik. Inpres ini menginstruksikan bahwa perayaan seperti Imlek harus dilakukan secara internal dalam lingkungan keluarga atau perseorangan, dan tidak boleh dipertunjukkan di depan umum.
Larangan ini menjadi upaya pemerintah pada waktu itu untuk mengendalikan dan mengontrol kegiatan budaya yang dianggap potensial mengganggu stabilitas politik. Pada masa itu, terjadi serangkaian kebijakan yang menekan identitas budaya Tionghoa, seperti pembatasan penggunaan bahasa Mandarin, larangan penggunaan lagu-lagu berbahasa Mandarin di radio, serta penggantian istilah "Tionghoa" dengan "China" dalam berbagai peraturan.
Larangan-larangan ini membuat perayaan Imlek dan kegiatan budaya Tionghoa lainnya harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi selama pemerintahan Orde Baru. Hal ini menciptakan atmosfer yang menekan bagi komunitas Tionghoa di Indonesia, yang merasa terpinggirkan dan terbatas dalam menjalankan tradisi-tradisi mereka.
Namun, meskipun mengalami larangan dan pembatasan selama bertahun-tahun, komunitas Tionghoa di Indonesia tetap mempertahankan dan merawat warisan budaya mereka. Sejarah perayaan Imlek di Indonesia yang kelam menggambarkan tantangan dan perjuangan komunitas minoritas dalam menjaga identitas budaya mereka di tengah tekanan politik dan sosial.
Imlek Diakui sebagai Hari Besar Nasional Setelah Reformasi
Sejarah perayaan Imlek di Indonesia mengalami titik balik dari masa kelamnya pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Perayaan Imlek diakui secara resmi sebagai hari besar nasional di Indonesia setelah melalui sejumlah perubahan kebijakan yang menggambarkan evolusi dalam pemahaman dan pengakuan terhadap keragaman budaya dan agama di Indonesia.
Pada tahun 2000, Instruksi Presiden No. 14/1967 yang membatasi perayaan Imlek dan kegiatan budaya Tionghoa lainnya dicabut melalui Keputusan Presiden No. 6/2000. Hal ini membuka jalan bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka dan bebas.
Langkah lebih lanjut dalam pengakuan terhadap perayaan Imlek sebagai bagian dari keberagaman budaya Indonesia diambil pada tahun 2001, ketika Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No. 13/2001 yang menetapkan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Namun, penetapan Imlek sebagai hari libur nasional yang bersifat wajib baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002.
Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional mencerminkan pengakuan yang lebih luas terhadap perayaan tersebut sebagai bagian penting dari identitas budaya dan agama Tionghoa di Indonesia. Perayaan nasional Imlek, yang diselenggarakan setiap tahun oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), menjadi acara yang dihadiri oleh pejabat negara termasuk presiden, menegaskan pentingnya perayaan Imlek dalam kerangka kebangsaan Indonesia.
Dengan pengakuan resmi ini, perayaan Imlek bukan hanya menjadi momen bagi masyarakat Tionghoa untuk merayakan tradisi dan kepercayaan mereka, tetapi juga menjadi bagian integral dari kalender nasional Indonesia yang menegaskan semangat inklusivitas dan keragaman budaya di negara ini. Ini adalah langkah positif dalam memperkuat hubungan antar-komunitas dan memperkaya warisan budaya Indonesia yang kaya dan beragam.
Advertisement