Liputan6.com, Gunungkidul Sekelompok perempuan nampak berkumpul di sebuah pekarangan rumah di Pedukuhan Jeruklegi, Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Gunungkidul Sabtu (1/3/2024). Sore itu, perempuan-perempuan Jeruklegi punya agenda memanen aloe vera atau yang juga dikenal sebagai lidah buaya.
Baca Juga
Advertisement
Bilah pisau tajam digunakan untuk menyayat pangkal daun paling bawah. Tak memakan waktu lama, pelepah daun seukuran lengan orang dewasa mulai bertumpuk. Pelepah aloe vera tersebut dikumpulkan dalam satu gerobak dorong yang kemudian dibawa ke belakang rumah Sumarni (53).
“Dulu, ibu-ibu di sini masih ibu rumah tangga biasa, sekarang mereka bisa menghasilkan uang sendiri dari bertanam dan memproduksi olahan aloe vera” ujar Sumarni.
Sumarni merupakan sosok yang pertama membuka jalan para ibu di Jeruklegi bisa bertani aloe vera. Ide bertani aloe vera datang dari sang anak, Alan Efendhi (35) pada 2014. Saat itu, Alan masih merantau di Jakarta. Berbekal ilmu dari buku, internet, dan informasi dari petani aloe vera yang pernah ia temui, Alan meyakinkan sang ibu untuk menyisihkan sebagian lahan untuk budidaya aloe vera.
“Ingin kami, punya kegiatan usaha. Tapi juga ke depannya, prospeknya bagus, juga peluang pemberdayaan masyarakatnya lebih luas” ujar Alan.
Tekun bertani aloe vera
Lidah buaya atau aloe vera merupakan tanaman yang relatif mudah untuk ditanam dan dibudidayakan. Tanaman ini membutuhkan sedikit perawatan, toleran terhadap kekeringan, dan tahan terhadap kondisi lingkungan yang tidak stabil.
Aloe vera yang dibudidayakan Sumarni adalah varian Chinensis Baker dan Barbadensis Miller. Kedua varian aloe vera tersebut dinilai berdaging tebal, berukuran besar, dan cocok untuk pertanian.
Bibit aloe vera sebagian besar didatangkan Alan dari Sidoarjo, Jawa Timur. Beberapa dari Pontianak, Kalimantan Barat. Dibantu sang suami, Widodo, Sumarni menelateni kebun aloe veranya.
Advertisement
Yakinkan para ibu untuk berdaya
Setahun berjalan, hasil mulai terlihat. Pada 2015, Sumarni dan Alan mulai membuat produk rintisan dari aloe vera. Produk tersebut berbentuk minuman Nata De Aloe Vera. Pengemasannya pun masih sangat sederhana.
“Awalnya bikin olahan minuman nata aloe vera, masih dibungkus plastik, dikareti. Masih sesederhana itu” ujar Sumarni.
Lambat laun, produk rintisan tersebut mulai berkembang. Izin produksi mulai dikumpulkan. Permintaan makin bertambah. Sumarni membutuhkan lebih banyak pelepah aloe vera. Pada 2016, Sumarni mencoba mengajak perempuan-perempuan di dusunnya untuk menanam tumbuhan ini.
Tak mudah meyakinkan para perempuan di Jeruklegi untuk mencoba menanam aloe vera. Suara-suara keraguan sempat sampai ke telinga Sumarni.
“Mau dijual ke mana? Memang laku?” ujar Sumarni mengingat ucapan warga saat ia mengenalkan aloe vera.
Reaksi ini bukan tanpa alasan. Saat itu, aloe vera merupakan komoditas asing bagi warga Gunungkidul. Warga juga skeptis karena sebelumnya pernah gagal menanam komoditas tak biasa seperti jahe merah dan porang.
Namun, Sumarni tak patah semangat. Sebagai garis awal, Sumarni mulai mendekati saudara dan kerabat terdekat untuk menanam aloe vera di rumah masing-masing. Sumarni juga rutin berkeliling dari satu pengajian ke pengajian untuk memperkenalkan produk rintisan aloe veranya. Tak tanggung-tanggung, Sumarni juga membagikan bibit gratis ke para ibu.
“Ketika ngaji itu, saya bawa 10 batang, dibagikan untuk ditanam” kenang Sumarni.
Sumarni membuktikan bahwa aloe vera bisa menjadi potensi pertanian di desanya. Ia juga meyakinkan para ibu, dengan menanam aloe vera, mereka bisa mendapat penghasilan tambahan untuk keluarga. Dengan begitu, perempuan di Jeruklegi bisa berdaya di rumah.
“2016 kita mulai membuktikan bahwasannya kita ini enggak sebagai tengkulak. Kita sebagai produsen, pengolah hulu hilirnya di kampung kita, dari kita kembali ke kita” ujar Alan.
Bentuk KWT
Pada 2017, sejumlah warga mulai tertarik menanam karena melihat hasil nyata potensi aloe vera. Sumarni dan Alan memberi contoh langsung bahwa aloe vera bisa menjadi komoditas di desanya.
“Karena memang salah satu caranya, butuh pembuktian, butuh orang-orang melihat betul kalau ini menghasilkan” ujar Alan.
Setahun kemudian, Kelompok Wanita Tani (KWT) Mountvera Agrotech dibentuk bersama Sumarni sebagai ketuanya. Kelompok tani ini dibentuk dengan tujuan membantu para petani perempuan dalam meningkatkan keterampilan mereka dalam bertani aloe vera dan memperkuat kemandirian ekonomi di Jeruklegi.
Hingga 2024, tercatat ada 25 anggota aktif di KWT Mountvera Agrotech. Anggota inilah yang kemudian membentuk plasma aloe vera di Jeruklegi hingga mendapat julukan Desa Aloe Vera. Tak hanya KWT, Sumarni juga menggandeng anggota dasawisma di dusunnya untuk turut menanam aloe vera. Kini para perempuan di Jeruklegi punya aktivitas rutin membudidayakan aloe vera.
Pelepah daun yang dipanen biasanya memiliki bobot 5 hingga 8 ons. Sekali panen, satu warga bisa mengumpulkan pelepah aloe vera sampai 50 kilogram. Satu kilogram pelepah daun aloe vera dihargai Rp 2500. Panen biasanya dilakukan dua pekan sekali.
Selain menanam dan memanen aloe vera, para ibu di Jeruklegi juga berkreasi membuat produk makanan dan minuman dari aloe vera. Mulai dari keripik, dodol, permen jeli, hingga dawet. Sumarni berharap, perkembangan usaha aloe vera yang ia rintis bisa meningkatkan perekonomian warga di desanya.
“Harapan ke depan juga ketika saya produksinya sudah besar, ibu-ibu di sini jadi terserap tenaganya. Ini juga jadi meningkatkan ekonomi mereka” ujar Sumarni.
Dengan memiliki pendapatan tambahan, perempuan dapat meningkatkan stabilitas keuangan keluarga, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar biaya pendidikan anak-anak, dan mengatasi kebutuhan darurat. Kondisi ini yang dirasakan oleh Marni, seorang ibu yang tinggal di sebelah rumah Alan dan Sumarni.
Marni merupakan anggota KWT yang turut menanam aloe vera di rumahnya sejak 2018. Ia juga turut membantu produksi minuman aloe vera dan beberapa produk lainnya di rumah Sumarni. Dari aloe vera, Marni kini bisa membantu perekonomian keluarganya.
“Sekarang bisa punya penghasilan sendiri, bisa kasih uang saku anak. Benar-benar terbantu berkat aloe vera ini” ujar Marni.
Advertisement
BRI bantu Sumarni dan perempuan Jeruklegi berdaya di desanya
Perjalanan Sumarni dan Alan membangun Desa Aloe Vera juga didukung oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada 2019, Alan mencoba mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditawarkan oleh BRI. Setahun kemudian, usaha aloe vera yang dikelola Alan dan ibunya mendapat pendampingan dari BRI.
“Ada pelatihan-pelatihan, mereka mengundang bazar, expo, ulang tahun BRI kita sering diundang. Bahkan sampai ke Jakarta dan lainnya” ujar Alan.
Pada 2021, klaster aloe vera di Jeruklegi mendapat bantuan corporate social responsibility (CSR) berupa alat bantu kerja dan beragam pendampingan. Aloe vera kemudian menjadi salah satu UMKM binaan BRI di Gunungkidul.
Ari Wibowo, Kepala Unit BRI Nglipar menyebutkan, perempuan-perempuan di Jeruklegi memiliki potensi menaikkan taraf perekonomian keluarga lewat budidaya aloe vera. Ia juga tak bisa memungkiri bahwa sebagian besar pelaku UMKM adalah perempuan.
Ini sesuai dengan data resmi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI. Pada 2019, setidaknya ada 65 juta pelaku UMKM di Indonesia. 64,5 persen penggerak utamanya adalah perempuan.
“Karena mereka di rumah. Punya usaha kecil-kecil. Akhirnya kita bisa mengakses ke mereka” ujar Ari saat ditemui di BRI Unit Nglipar, Gunungkidul, Selasa (5/3/2024).
Ari melihat kecenderungan warga di unit daerahnya, khususnya para laki-laki, masih bergantung pada pekerjaan buruh atau karyawan. Bahkan tak sedikit yang memilih bekerja di kota. Padahal, ada banyak potensi di desa yang bisa digali.
“Sebenarnya BRI menginginkan ibu-ibu ini juga tidak hanya sebagai pendukung ekonomi suami. Kalau bisa ini malah menjadi (pendapatan) pokok” ujar Ari.
Dengan menghasilkan uang sendiri dari bertani aloe vera, perempuan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Mereka tidak lagi tergantung sepenuhnya pada pendapatan suami atau anggota keluarga lainnya. Pendapatan tambahan dari bertani aloe vera dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Ari menyebutkan, BRI juga turut membantu para anggota KWT yang ingin membentuk usaha sendiri. Ini dilakukan dengan melakukan pendampingan pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB) secara online.
“Ssalah satu syarat untuk mendapatkan permodalan di bank itu kan harus punya izin usaha. Nah, BRI bisa membantu mendampingi mereka agar bisa mengakses NIB” jelas Ari.
Dengan memiliki peran dalam penghasilan keluarga dan kegiatan ekonomi, perempuan menjadi lebih diperhatikan dalam proses pengambilan keputusan keluarga dan masyarakat. Ini pada akhirnya bisa meningkatkan kesadaran diri, kepercayaan diri, dan keberanian untuk terlibat dalam perubahan positif di komunitas mereka.