Kepala Negara Malaysia Resmi Diganti, Sultan Baru Seorang Crazy Rich

Kepala Negara Malaysia kini adalah Sultan dari Johor, akan menjadi Yang di-Pertuan Agong ke-17.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 24 Jul 2024, 21:00 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2024, 21:00 WIB
Sultan Ibrahim Sultan Iskandar dari Johor Resmi jadi Raja Malaysia ke-17
Kepala negara Malaysia dipilih dari sembilan penguasa Melayu, yang masing-masing menjabat selama lima tahun sebagai Agong. (HASNOOR HUSSAIN/POOL/AFP)

Liputan6.com, Jakarta Kepala Negara Malaysia secara resmi dikenal sebagai Yang Di-Pertuan Agong, adalah posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan. Dalam sistem Monarki Parlementer Malaysia, Yang Di-Pertuan Agong memiliki peran sebagai simbol persatuan dan representasi negara. Namun, kekuasaan eksekutif dan pemerintahan sehari-hari berada di tangan Perdana Menteri dan kabinetnya.

Pada bulan Oktober 2023 lalu, Malaysia mengumumkan perubahan kepala negaranya. Raja Malaysia yang baru adalah Sultan Johor yang dikenal sebagai Sultan Ibrahim Almarhum Sultan Iskandar. Adapun Kepala Negara Malaysia ini dipilih melalui sistem pergiliran yang unik, di antara sembilan sultan dari negeri-negeri Melayu.

Kepala Negara Malaysia tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga melibatkan beberapa tanggung jawab konstitusi dan formal, seperti pelantikan Perdana Menteri, pengesahan undang-undang dan peran dalam beberapa aspek protokol kenegaraan.

Setelah pemilihan Sultan Ibrahim sebagai Raja Malaysia yang baru, banyak masyarakat berharap agar kepemimpinannya membawa stabilitas dan kemakmuran bagi negara Malaysia. Berikut ini profil Kepala Negara Malaysia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (24/7/2024). 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Profil Sultan Ibrahim Iskandar, Kepala Negara Malaysia

Ilustrasi bendera Malaysia (pixabay)
Ilustrasi bendera Malaysia (pixabay)

Malaysia mengadopsi bentuk pemerintahan Monarki Parlementer, sebuah sistem yang memiliki akar sejarah yang dalam. Sistem pemerintahan ini mengakar dari masa penjajahan Inggris, yang menguasai wilayah Malaysia hingga 31 Agustus 1957 dan akhirnya meraih kemerdekaannya. Dengan kemerdekaan tersebut, Malaysia menjadi bagian dari Negara Persemakmuran Inggris, yang mencerminkan pengaruh historis dan struktur pemerintahan yang masih terikat pada tradisi monarki dan parlementer.

Dalam sistem pemerintahan Monarki Parlementer Malaysia, kepala negara dipegang oleh seorang raja yang bergelar Sri Paduka Baginda Yang Dipertuan Agong. Posisi ini diisi secara bergilir oleh salah satu dari sembilan Sultan Melayu, dan masa jabatan untuk posisi ini berlangsung selama lima tahun. Dalam kapasitasnya, Yang Dipertuan Agong memiliki peran simbolis dan seremonial, mewakili kesatuan dan kehormatan negara. Sementara itu, kepala pemerintahan Malaysia adalah Perdana Menteri, yang dipilih melalui pemilihan umum dan memegang kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan. Masa jabatan Perdana Menteri juga adalah lima tahun. Peran Perdana Menteri adalah memimpin pemerintahan dan mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan negara serta administrasi sehari-hari.

Salah satu sosok yang menonjol dalam sistem monarki Malaysia adalah Sultan Ibrahim Iskandar. Sultan Ibrahim dikenal sebagai figur yang sangat kaya. Menurut Bloomberg, kekayaan kepala Negara Malaysia ini diperkirakan mencapai sekitar US$5,7 miliar yang setara dengan Rp89 triliun. Kekayaan ini mencakup berbagai aset, termasuk kepemilikan tanah di Singapura serta sejumlah investasi yang signifikan di sektor-sektor seperti kelapa sawit, real estat dan telekomunikasi. Sultan Ibrahim dikenal juga sebagai seorang tokoh yang gemar beramal dan melakukan perjalanan. Beliau sering melakukan perjalanan tahunan keliling Johor menggunakan sepeda motor Harley-Davidson, sembari membagikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu. Selain itu, Sultan Ibrahim memiliki kepentingan bisnis yang besar, termasuk kepemilikan di Forest City, sebuah proyek pembangunan ambisius senilai US$100 miliar (Rp1.580 triliun) yang terletak di lepas pantai Johor.

Anak Sultan Ibrahim, Tunku Ismail bin Sultan Ibrahim, juga merupakan sosok yang sangat dikenal dan mewarisi harta kekayaan yang mengesankan. Menurut laporan Forbes, Pangeran Tunku Ismail yang belum genap berusia 40 tahun itu memiliki kekayaan yang diperkirakan mencapai 750 juta euro, atau setara dengan Rp12,8 triliun. Pangeran ini juga akan mewarisi sebuah replika rumah 'The Flintstones' yang sangat mewah, sebuah resor dengan pemandangan laut yang indah, mercusuar berlantai sembilan, dan 17 kamar, termasuk dua suite kerajaan. Selain minatnya dalam bidang bisnis dan filantropi, Pangeran Tunku Ismail dikenal dengan kecintaannya terhadap disiplin militer dan senjata. Ini terlihat dari berbagai gambar yang ia bagikan di jejaring sosialnya. Keluarga Sultan Ibrahim juga memiliki Boeing 737 yang dicat dengan warna emas, dengan nilai lebih dari 90 juta euro (Rp1,4 triliun). Jet pribadi ini dirancang dengan fasilitas mewah, termasuk kapasitas 30 kursi, beberapa dapur, lounge, dan shower, mencerminkan kekayaan dan kemewahan yang melekat pada keluarga kerajaan ini.


Sejarah terbentuknya Yang Di-Pertuan Agong

Ilustrasi ibu kota Malaysia (pixabay)
Ilustrasi ibu kota Malaysia (pixabay)

Sebelum Malaysia meraih kemerdekaannya pada tanggal 31 Agustus 1957, masyarakat Malaysia dihadapkan pada salah satu pertanyaan paling krusial terkait tata pemerintahan mereka. Pada masa tersebut, Malaysia terdiri dari sejumlah kerajaan negeri yang masing-masing memiliki otonomi penuh dan dipimpin oleh sultan-sultan dari sembilan kesultanan yang ada. Kesultanan-kesultanan tersebut adalah Selangor, Perlis, Negeri Sembilan, Perak, Johor, Pahang, Kelantan, Kedah dan Terengganu.

Mengingat kompleksitas dan keberagaman struktur pemerintahan yang ada saat itu, para pendiri negara Malaysia merumuskan sebuah sistem peralihan kepemimpinan yang inovatif dan berbeda dari sistem monarki lainnya di dunia. Sistem tersebut adalah sistem monarki bergilir, yang menetapkan bahwa posisi Kepala Negara, atau Yang Di-Pertuan Agong (YDPA), akan dirotasi setiap lima tahun di antara sembilan sultan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian, Malaysia menjadi negara pertama dan satu-satunya yang menerapkan sistem monarki bergilir semacam ini, yang mencerminkan keunikan struktur pemerintahan negara ini.

Pengaturan mengenai pergiliran raja ini diatur dalam Pasal 32 ayat (3) Konstitusi Malaysia, yang menyatakan bahwa pemilihan Yang Di-Pertuan Agong dilakukan oleh Conference of Rulers, yaitu majelis yang terdiri dari sembilan sultan yang mewakili masing-masing negara bagian. Proses pemilihan ini dirancang untuk memastikan bahwa seluruh sultan memiliki kesempatan yang adil untuk memegang posisi tertinggi di negara, sementara tetap menjaga keberagaman dan representasi dari seluruh kesultanan.

 


Sistem Pemilihan Kepala Negara Malaysia

Ilustrasi bendera Malaysia. (Unsplash/mkjr_)
Ilustrasi bendera Malaysia. (Unsplash/mkjr_)

Dalam praktiknya, pemilihan Yang Di-Pertuan Agong dimulai dengan pertemuan majelis raja, di mana semua sultan berkumpul untuk memilih raja berikutnya sesuai dengan urutan yang telah ditetapkan sejak sistem ini diperkenalkan pada tahun 1957. Setiap sultan menerima kertas suara yang hanya mencantumkan nama sultan dari negara bagian yang dijadwalkan untuk menjadi Yang Di-Pertuan Agong pada periode berikutnya. Proses pemilihan ini dilaksanakan dengan kerahasiaan yang tinggi, sehingga setiap sultan tidak perlu memberikan identitas pribadi mereka ketika memberikan suara.

Kertas suara yang digunakan dalam pemilihan tidak diberi nomor, dan setiap sultan akan diberikan pena dan tinta yang sama untuk menjaga integritas dan kerahasiaan suara. Tugas sultan dalam pemilihan ini adalah untuk menilai apakah nama sultan yang tercantum pada kertas suara sesuai dan layak untuk mengemban gelar Yang Di-Pertuan Agong. Proses ini dirancang untuk memastikan bahwa pemilihan dilakukan secara objektif dan tanpa adanya tekanan atau pengaruh eksternal.

Agar seorang sultan dapat diangkat sebagai Yang Di-Pertuan Agong, ia harus memperoleh mayoritas suara, yaitu setidaknya lima dari sembilan suara atau lebih dari 50 persen. Jika seorang sultan tidak mendapatkan jumlah suara mayoritas yang diperlukan, atau jika sultan tersebut menolak untuk menjalankan peran sebagai Yang Di-Pertuan Agong, maka proses pemilihan akan diulang. Dalam pemilihan yang diulang, kesembilan sultan akan kembali menerima kertas suara yang memuat nama sultan dari negara bagian yang berada pada urutan berikutnya dalam sistem pergiliran.

Dengan sistem monarki bergilir ini, Malaysia berhasil menciptakan sebuah struktur pemerintahan yang menggabungkan tradisi monarki dengan prinsip-prinsip demokrasi, sambil memastikan bahwa kepemimpinan negara tetap bergilir dan adil. Sistem ini tidak hanya mencerminkan keragaman budaya dan sejarah yang ada di Malaysia, tetapi juga menjaga kestabilan dan keseimbangan kekuasaan di tingkat negara.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya