Pemilu Malaysia Memanas, Raja Akhirnya Turun Tangan! Ini Dampaknya untuk Indonesia

Situasi politik di Malaysia semakin memanas dengan konflik antara dua tokoh utama, yaitu Mahathir Mohamad dan Najib Razak.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 05 Feb 2024, 13:30 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2024, 13:30 WIB
Ilustrasi pemilu, demokrasi
Ilustrasi pemilu, demokrasi. (Image by ededchechine on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Situasi politik Malaysia semakin memanas dengan konflik antara dua tokoh utama, yaitu Mahathir Mohamad dan Najib Razak. Kedua pemimpin ini saling serang dan melancarkan tuduhan yang memanas. Mahathir, yang merupakan mantan Perdana Menteri, telah mengkritik tajam kebijakan pemerintahan Najib, terutama terkait isu korupsi dan skandal dana negara.

Najib, di sisi lain, juga tidak tinggal diam dan membalas kritikan Mahathir dengan menuduhnya sebagai tokoh yang sudah tidak relevan dalam politik sekarang. Bahkan, serangan antara keduanya juga melibatkan penghinaan pribadi dan tuduhan yang saling bertentangan.

Konflik antara Mahathir dan Najib Razak ini telah menjadi sorotan publik dan semakin memanas, mempengaruhi situasi politik Malaysia secara keseluruhan. Bahkan, konflik ini telah menjalar sampai ke ranah politik negara dan menarik perhatian raja untuk turun tangan dalam usahanya untuk meredakan ketegangan politik yang semakin memanas di Malaysia.

Lalu bagaimana sistem pemilu Malaysia dan apa dampak dari hasil Pemilu Malaysia pada Indonesia? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com di Indonesia, Senin (5/2/2024).

Sistem Pemilu di Malaysia

Malaysia menggunakan sistem pemilihan umum yang diatur oleh Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia (SPR). Pemilihan umum diadakan setiap lima tahun dan para pemilih memilih anggota Parlemen di tingkat federal dan juga di tingkat negara bagian. Malaysia memiliki sistem politik yang berstruktur sebagai negara federal dengan 13 negara bagian dan 3 wilayah persekutuan.

Partai politik utama di Malaysia termasuk Barisan Nasional (BN) yang telah lama berkuasa, Pakatan Harapan (PH) yang merupakan koalisi oposisi, serta Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang memiliki pengaruh signifikan. Pemilu di Malaysia juga menggunakan mekanisme penyelenggaraan yang melibatkan registrasi pemilih, kampanye pemilu, hingga proses penghitungan suara yang diawasi oleh SPR.

Dalam situasi pemilu terkini, ketegangan meningkat antara partai politik dan isu-isu politik yang memanas. Ketegangan ini meningkat sampai raja Malaysia, Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah, turun tangan untuk meminta partai politik untuk menyelesaikan konflik politik dan menjaga stabilitas negara. Hal ini menunjukkan pentingnya peran raja dalam upaya memediasi situasi politik yang panas di Malaysia.

Sejarah Pemilu di Malaysia

Ilustrasi pemilu, pemilihan, vote
Ilustrasi pemilu, pemilihan, vote. (Image by macrovector on Freepik)

Sejarah pemilu di Malaysia dimulai sejak kemerdekaan negara tersebut pada tahun 1957. Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1959 setelah diberlakukannya konstitusi Malaysia. Malaysia menerapkan sistem pemilu umum dengan prinsip satu suara satu nilai, namun perubahan signifikan terjadi pada tahun 1969 setelah terjadinya kerusuhan etnis yang memicu pemberlakuan Undang-Undang Darurat.

Pada tahun 1973, pemerintah Malaysia melakukan perubahan besar terhadap sistem pemilu dengan menerapkan metode gerrymandering yang menguntungkan partai pemerintah. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada tahun 2012 dengan diberlakukannya UU Pemilu yang memberikan kewenangan lebih besar kepada Komisi Pemilihan Malaysia untuk mengawasi dan mengatur jalannya pemilu.

Situasi pemilu Malaysia semakin memanas menjelang pemilu pada tahun 2018, dengan munculnya isu-isu kontroversial terkait kecurangan pemilu dan ketegangan politik antar partai. Akhirnya, raja Malaysia turun tangan dengan menyuarakan keprihatinannya terhadap situasi politik yang memanas. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran raja dalam menjaga stabilitas politik negara dalam situasi yang tegang.

Partisipasi Politik di Malaysia

Ilustrasi Pemilu Pilkada Pilpres (Freepik)
Ilustrasi Pemilu/Pilkada/Pilpres (Freepik)

Partisipasi politik masyarakat Malaysia dalam pemilu dapat dianggap tinggi, dengan tingkat kehadiran pemilih yang biasanya mencapai lebih dari 80%. Faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi politik di Malaysia antara lain adalah tingkat pendidikan, kelas sosial, dan kesadaran politik. Masyarakat yang lebih terdidik cenderung lebih aktif dalam partisipasi politik, sementara golongan yang memiliki tingkat pendapatan rendah mungkin cenderung kurang berpartisipasi.

Selain itu, media massa dan pengaruh politik dari keluarga juga dapat memengaruhi tingkat partisipasi politik. Masyarakat Malaysia juga terlibat dalam berbagai bentuk politik partisipatif, seperti kampanye politik, debat publik, dan pemantauan pemilu untuk memastikan keadilan dalam proses pemilu.

Dalam situasi pemilu Malaysia yang memanas, raja turun tangan sebagai upaya untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan negara. Tindakan yang diambil oleh raja dapat memengaruhi partisipasi politik masyarakat, karena mungkin memicu perdebatan dan mobilisasi politik yang lebih tinggi dari masyarakat.

 

Perbedaan Sistem Pemilu Malaysia dan Indonesia

Ilustrasi pemilu
Ilustrasi pemilu. (Photo by Edmond Dantès on Pexels)

Sistem pemilu di Malaysia memiliki struktur politik yang berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia, terdapat sistem monarki konstitusional dengan Raja yang memiliki kuasa tertentu dalam politik, sedangkan di Indonesia, sistem politiknya adalah republik dengan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Proses pemilihan di Malaysia juga berbeda, dengan Parlemen yang terdiri dari dua rumah yaitu Dewan Rakyat dan Dewan Negara. Sementara itu, di Indonesia, anggota parlemen dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum.

Meskipun memiliki perbedaan dalam struktur politik dan proses pemilihan, kedua negara menghadapi isu-isu politik yang serupa, termasuk korupsi, pertumbuhan ekonomi, hak asasi manusia, dan juga isu agama dan etnis. Dalam situasi pemilu yang memanas di Malaysia, raja turun tangan untuk memediasi konflik politik, sedangkan di Indonesia, peran raja atau kepala negara tidak ada.

Dengan perbandingan sistem pemilu di Malaysia dan Indonesia, dapat dilihat bagaimana kedua negara mengelola proses politik dan menangani konflik yang muncul dalam pemilihan umum.

Dampak Pemilu Malaysia terhadap Indonesia

Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres
Ilustrasi pemilu, pilkada, pilpres. (Photo by Element5 Digital on Unsplash)

Hasil pemilu yang memanas di Malaysia memiliki dampak yang signifikan terhadap Indonesia, terutama dalam hal politik, ekonomi, dan sosial. Secara politik, hasil pemilu dan situasi yang terjadi dapat mempengaruhi stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kepentingan politik Malaysia juga dapat memengaruhi kebijakan luar negeri dan hubungan bilateral antara kedua negara.

Secara ekonomi, ketegangan politik akibat hasil pemilu yang kontroversial di Malaysia dapat berdampak pada kerentanan ekonomi regional, termasuk Indonesia. Perubahan kebijakan ekonomi dan investasi dari pemerintahan yang baru terpilih di Malaysia juga dapat mempengaruhi hubungan perdagangan antara kedua negara.

Dari segi sosial, situasi politik yang tegang di Malaysia juga dapat mempengaruhi komunitas Indonesia yang tinggal di sana, baik secara langsung maupun tidak langsung. Implikasi dari situasi pemilu yang memanas di Malaysia juga dapat mempengaruhi hubungan bilateral antara kedua negara, baik dalam hal keamanan, kebijakan luar negeri, maupun kerja sama di berbagai bidang.

Dengan demikian, penting bagi Indonesia untuk terus memantau secara seksama situasi politik di Malaysia dan mempersiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi dampak dari hasil pemilu yang memanas tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya