Mengapa Silent Treatment Dianggap Tidak Dewasa? Ini Penjelasan Psikologisnya

Sering menghadapi silent treatment? Ayo, pahami fakta-fakta di baliknya berikut ini!

oleh Mochamad Rizal Ahba Ohorella diperbarui 30 Sep 2024, 14:51 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2024, 14:51 WIB
Silent Treatment
gambar sunyi/hak cipta pexels/alex green

Liputan6.com, Jakarta Apakah kamu pernah mendengar tentang perilaku silent treatment? Istilah lain dari perilaku mendiamkan ini menggambarkan situasi di mana seseorang memilih untuk diam tanpa berbicara dengan sengaja dan menolak untuk menyelesaikan masalah yang sedang berlangsung di antara kalian. Penolakan ini bisa terjadi secara verbal atau melalui media elektronik, keduanya bertujuan sama yaitu menghindari komunikasi.

Mungkin perilaku ini bisa dianggap sebagai bentuk merajuk yang tidak dewasa, namun juga bisa dikatakan sebagai alat manipulatif yang menyakitkan. Menurut psikolog John Gottman, perilaku ini terkadang bertujuan untuk menyakiti pasangan dengan mengontrol mereka, yang bisa mengarah pada kondisi hubungan yang lebih buruk.

Jadi, mengapa seseorang sering menunjukkan sikap penolakan komunikasi ini? Apa alasan di balik perilaku diam yang ditunjukkan itu? Mari bersama simak ulasannya berikut ini, dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin(30/9/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


1. Kesulitan Mengelola Emosi Secara Sehat

Silent Treatment
gambar diam/copyright pexels/Liza Summer

Mengelola emosi dan konflik secara sehat adalah elemen penting untuk menjaga kesehatan mental anda. Daniel Goleman menyatakan bahwa individu yang mampu mengelola emosinya dengan baik menunjukkan kecerdasan emosional.

Oleh karena itu, ketika seseorang menggunakan silent treatment sebagai respons terhadap suatu masalah, ini menunjukkan bahwa orang tersebut belum siap dan belum memiliki kedewasaan emosional untuk menghadapi masalah secara langsung. Mereka cenderung menarik diri, enggan berkomunikasi dengan orang lain, dan akhirnya masalah yang dihadapi semakin bertambah, bukannya terselesaikan.


2. Gangguan pada Kesehatan Mental

Silent Treatment
gambar diam/hak cipta pexels/Keira Burton

Seseorang yang belum berdamai atau belum selesai dengan keadaan secara mental juga bisa menjadi penyebab mengapa mereka menunjukkan perilaku silent treatment. Menurut Sigmund Freud, ketidakmampuan seseorang untuk mengungkapkan emosi mereka dengan jelas menunjukkan adanya ketidakseimbangan mental dalam diri orang tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengurangi perasaan cemas dan depresi yang dapat memperburuk kesehatan mental, terkadang individu menggunakan silent treatment sebagai bentuk pelarian. Sikap ini juga menunjukkan kurangnya kedewasaan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang justru memperdalam konflik internal mereka.


3. Pengasuhan dan Trauma

Silent Treatment
gambar diam/copyright pexels/Liza Summer

Pengalaman traumatis di masa lalu dapat mendorong seseorang untuk menghindari berbicara sebagai cara menyelesaikan masalah. Rasa sakit yang pernah dialami bisa membuat seseorang bingung bagaimana cara mengekspresikan diri atau bereaksi ketika menghadapi masalah. Semangat solutif yang seharusnya hadir dalam setiap individu seringkali tertutup oleh bayangan pengalaman traumatik yang menghantui.

Ketiadaan kebiasaan berbicara dan mengekspresikan diri dalam pola asuh masa kecil juga berkontribusi pada munculnya perilaku silent treatment pada seseorang. Jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung ekspresi emosional atau selalu menghindari konflik, ini dapat memicu sikap penolakan tersebut. Jika terus berlanjut, dampaknya bisa sangat merugikan, baik bagi pelaku maupun penerima.

Itulah sebabnya mengapa seseorang sering kali melakukan silent treatment ketika menghadapi masalah. Dengan penjelasan dari para ahli di atas, apakah Sahabat sudah mulai memahami alasan di balik perilaku silent treatment ini? Segeralah bantu teman atau orang terdekatmu yang masih terjebak dalam siklus penolakan untuk berbicara ini!

Referensi:

Gottman, J. (1994). Mengapa pernikahan berhasil atau gagal. Simon & Schuster.

Goleman, D. (1995). Kecerdasan emosional. Bantam Books.

Freud, S. (1923). Ego dan id. W.W. Norton & Company.

Williams, K. D. (2001). Pengucilan: Kekuatan diam. Guilford Press.

Lanjutkan Membaca ↓

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya