Liputan6.com, Jakarta Déjà vu, sebuah fenomena psikologis yang misterius, sering digambarkan sebagai perasaan kuat bahwa seseorang telah mengalami situasi saat ini sebelumnya, meskipun kenyataannya belum pernah terjadi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti "sudah pernah dilihat", menggambarkan sensasi familiaritas yang tiba-tiba muncul terhadap pengalaman atau lingkungan yang sebenarnya baru. Meskipun umum dialami, déjà vu masih menjadi subjek penelitian yang menarik bagi para ilmuwan dan psikolog, yang berusaha memahami mekanisme kompleks di balik fenomena ini.
Baca Juga
Advertisement
Para ahli mengajukan beberapa teori mengenai penyebab déjà vu, meskipun belum ada konsensus pasti. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa déjà vu mungkin terjadi akibat ketidaksinkronan sementara dalam proses pemrosesan informasi di otak, di mana ingatan jangka pendek secara tidak sengaja "diarsipkan" sebagai ingatan jangka panjang. Teori lain menghubungkan fenomena ini dengan aktivitas abnormal di lobus temporal otak, area yang berperan penting dalam pemrosesan memori dan pengenalan. Faktor-faktor seperti kelelahan, stres, atau gangguan tidur juga diyakini dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami déjà vu.
Dalam kehidupan sehari-hari, déjà vu dapat muncul dalam berbagai situasi yang tampaknya biasa namun tiba-tiba terasa sangat familiar. Seseorang mungkin memasuki ruangan baru di kantor dan merasa pernah berada di sana sebelumnya, lengkap dengan detail seperti posisi perabotan dan pencahayaan ruangan.
Berikut ini Liputan6.com ulas mengenai pengertian dejavu dan faktor pemicunya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (9/10/2024).
Dejavu Adalah
Déjà vu adalah fenomena saat waktu terulang kembali. Dengan kata lain, dejavu adalah kondisi ketika seseorang merasa sudah pernah mengalami sesuatu padahal belum pernah atau baru mengalaminya saat itu juga. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti "sudah pernah melihat", menggambarkan dengan tepat sensasi yang dirasakan oleh orang yang mengalaminya. Meskipun sering dianggap sebagai pengalaman yang misterius, déjà vu sebenarnya merupakan fenomena yang cukup umum dan telah menjadi subjek penelitian dalam bidang psikologi dan neurosains.
Menariknya, déjà vu bukanlah pengalaman yang langka atau abnormal, melainkan suatu hal yang wajar dialami oleh banyak orang. Studi menunjukkan bahwa sekitar 70% populasi dunia pernah mengalami fenomena ini setidaknya sekali dalam hidup mereka. Prevalensi yang tinggi ini menunjukkan bahwa déjà vu mungkin merupakan bagian normal dari cara kerja otak manusia dalam memproses dan menginterpretasikan informasi dari lingkungan sekitar. Meskipun umum, intensitas dan frekuensi pengalaman déjà vu dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya.
Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa déjà vu cenderung lebih sering dialami oleh kelompok usia tertentu, terutama orang-orang yang berusia muda antara 15 hingga 25 tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan perkembangan otak dan proses kognitif yang masih aktif pada rentang usia tersebut. Selain faktor usia, terdapat korelasi menarik antara frekuensi déjà vu dan pengalaman mimpi sadar atau lucid dream. Orang-orang yang sering mengalami lucid dream, di mana mereka sadar bahwa mereka sedang bermimpi dan bahkan dapat mengendalikan alur mimpi tersebut, dilaporkan lebih sering mengalami déjà vu dalam keadaan terjaga.
Hubungan antara déjà vu, usia muda, dan pengalaman lucid dream membuka jendela baru dalam pemahaman kita tentang mekanisme kerja otak dan persepsi realitas. Mungkin ada keterkaitan antara kemampuan otak untuk menciptakan realitas alternatif dalam mimpi sadar dengan kecenderungan untuk mengalami perasaan familiaritas yang kuat dalam situasi baru.
Advertisement
Pemicu Terjadinya Dejavu
1. Teori Split Perception
Hipotesis ini mengemukakan bahwa déjà vu muncul akibat terbentuknya ingatan oleh otak ketika seseorang melihat sesuatu secara sepintas, yang mungkin terjadi tanpa disadari pada dua momen atau kesempatan yang berlainan.
Ilustrasinya, ketika Anda mengendarai kendaraan melewati suatu lokasi, namun karena harus berkonsentrasi pada jalan di depan, Anda hanya melihat lokasi tersebut sekilas dan kemudian melupakannya.
Saat itu, otak mulai menciptakan memori tentang hal-hal yang Anda lihat, meskipun dengan informasi yang terbatas. Jadi, ketika Anda melewati kembali lokasi yang sama di waktu berbeda, timbul perasaan familiar, padahal itu mungkin hanya kelanjutan dari pengalaman serupa sebelumnya.
2. Teori Memory Recall
Studi dalam jurnal Psychological Science mengaitkan déjà vu dengan cara individu menyimpan dan mengolah ingatan. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa déjà vu dapat terjadi sebagai respons terhadap kejadian identik yang pernah dialami seseorang sebelumnya, namun tidak teringat secara sadar. Singkatnya, teori pengingatan memori ini dapat terjadi di lokasi berbeda tetapi dengan atmosfer atau gambaran visual yang hampir identik.
3. Temporal Lobe Seizure
Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa déjà vu mungkin dipicu oleh anomali pada aktivitas elektrik di area lobus temporal otak. Lobus temporal merupakan bagian otak yang berperan sebagai pusat penyimpanan memori.
Fenomena déjà vu sering dialami oleh penderita gangguan lobus temporal sesaat sebelum serangan epilepsi. Selain déjà vu, penderita juga mungkin mengalami halusinasi dan kecemasan yang tidak beralasan sebelum terjadinya serangan epilepsi.
4. Mekanisme Rinal Cortex
Salah satu faktor pemicu déjà vu lainnya adalah mekanisme korteks rinal, yaitu area otak yang berfungsi mengenali rasa familiar atau keakraban. Bagian otak ini dapat teraktivasi tanpa memicu hipokampus, yang berperan sebagai gudang penyimpanan memori.
Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa ketika seseorang mengalami déjà vu, mereka merasakan keakraban terhadap suatu situasi namun tidak mampu mengingat kapan dan di mana mereka pernah mengalami situasi tersebut sebelumnya.
5. Gangguan Sirkuit Otak
Déjà vu juga dapat muncul akibat gangguan pada sirkuit memori jangka pendek dan jangka panjang di dalam otak. Ketika otak sedang memproses informasi yang diterima, terkadang otak secara langsung mengirimkan informasi tersebut ke bagian yang menyimpan memori jangka panjang. Hal inilah yang dapat memicu seseorang mengalami déjà vu, seolah-olah telah menyaksikan atau mengalami peristiwa saat ini di masa lampau.
Apakah Dejavu Berbahaya
Fenomena déjà vu, meskipun sering kali membingungkan dan kadang menggelisahkan bagi yang mengalaminya, pada umumnya tidak berbahaya dan merupakan bagian normal dari pengalaman manusia. Mayoritas ahli kesehatan mental dan neurologi memandang déjà vu sebagai manifestasi dari proses kognitif yang kompleks, bukan sebagai tanda adanya masalah kesehatan yang serius. Pengalaman ini dialami oleh sekitar 70% populasi, menunjukkan betapa umumnya fenomena ini terjadi.
Karakteristik déjà vu yang biasanya berlangsung singkat dan jarang berulang dengan intensitas tinggi semakin menegaskan sifatnya yang tidak berbahaya. Sensasi familiar yang muncul tiba-tiba ini umumnya berlalu dalam hitungan detik atau menit, tanpa meninggalkan efek jangka panjang pada kesehatan mental atau fisik seseorang. Bahkan, beberapa peneliti memandang déjà vu sebagai bukti kecanggihan otak manusia dalam memproses dan mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber.
Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa dalam kasus yang sangat jarang, déjà vu yang terjadi dengan frekuensi sangat tinggi atau disertai dengan gejala neurologis lainnya bisa menjadi indikasi kondisi medis tertentu, seperti epilepsi lobus temporal. Apabila seperti ini anda bisa segera berkonsultasi dengan dokter.
Advertisement