Liputan6.com, Jakarta - Bakal capres Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rhoma Irama tengah menyanyikan lagu patah hatinya. Koalisi Islam akan dijadikan senjata untuk membalas sakit hatinya. Jika koalisi partai Islam terealisasi, maka akan berhadapan dengan koalisi partai nasionalis.
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing punya gambaran sendiri terkait peta koalisi tersebut. Menurutnya, jika melihat penyelenggaraan pemilu setelah era Reformasi, memang partai nasionalis lebih diminati masyarakat Indonesia.
"Ada beberapa fakta selama pemilu kita setelah reformasi, 2 partai besar selalu didominasi nasionalis. Artinya apa di situ? Partai nasionalis lebih diminati jika nanti akan ada kubu. Nah, kalau itu poros nasional dengan Islam, mungkin (suara) nasionalis bersatu," ujar Emrus kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (17/4/2014).
Menurut Emrus, dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Ia mencontohkan, jika nantinya 3 poros utama membentuk koalisi --PDIP, Golkar dan Gerindra-- suara partai nasionalis akan terpecah. Sementara partai Islam akan solid membentuk koalisi.
"Artinya, partai Islam menang? Bisa saja. Nasionalis pecah. Artinya PDIP koalisi, Gerindra koalisi. Tetapi partai Islam menyatu melawan Jokowi dan Prabowo. Itu dengan syarat partai Islam menyatu semua. Katakanlah, PKB, PKS, PAN, PPP, PBB itu bisa menjadi kekuatan. Tidak bisa dianggap sebelah mata. Tapi kalau satu kesatuan, dengan catatan partai nasionalis mengalami perpecahan suara koalisinya," papar Emrus.
Kendati, lanjut Emrus, yang menjadi pertanyaan apakah sesama partai Islam akan bisa menyatu dengan melupakan permasalahan latar belakang di setiap partai? Sentimen internal partai tidak segampang disatukan.
"Cuma yang menjadi pertanyaan apakah solid partai Islam ini. Sentimen perbedaan masa lalu. Artinya, apakah bisa menyatu orkestra politik yang bagus? Bisa jadi dilema nanti. Tetapi jika bisa, itu akan menjadi kekuatan baru melawan Jokowi, Prabowo dan juga Ical," pungkas Emrus.
Pascaera reformasi, sejumlah partai Islam banyak mengalami masalah. Dari mulai kasus korupsi hingga kisruh internal yang berujung pada perpecahan. Sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pecah menjadi dua kubu, yakni Gusdurian dan Muhaimin Iskandar.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menjelang Pemilu 2014 dihantam dengan isu korupsi. Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq terlibat kasus korupsi pengadaan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Kasus ini sempat menjadi trending topic selama 2013 di berbagai media massa.
Advertisement
Sementara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) baru-baru ini juga diterpa isu perpecahan internal. Kedatangan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (SDA) pada kampanye akbar Pileg 2014 Partai Gerinda di Gelora Bung Karno, Senayan beberapa waktu lalu dianggap mencoreng partainya. Bahkan dianggap melanggar aturan internal PPP.
Sejumlah pengurus DPP PPP baru-baru ini berkumpul di sebuah hotel di Sentul, Bogor, Jawa Barat untuk membahas sikap yang dilakukan Suryadharma. Mereka menuntut pengurus DPP segera menggelar rapat pleno guna membahas perilaku SDA. Namun DPP malah menanggapi tuntutan itu dengan memecat sejumlah kader yang dianggap berusaha melakukan pemakzulan terhadap SDA itu.
Melalui SK yang ditandatangani Ketum DPP PPP Suryadharma Ali dan Wasekjen DPP PPP Syaifullah Tamliha tertanggal 16 April 2014 itu, DPP memberhentikan Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan 4 Ketua DPW, yakni Ketua DPW PPP Jawa Barat Rahmat Yasin, Ketua DPW PPP Sumatera Utara Fadli Nursal, Ketua DPW Jawa Timur Musyafa' Noer, dan Ketua DPW PPP Sulawesi Selatan Amir Uskara.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) belakangan ini juga turut terseret kasus korupsi. Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Teuku Saiful Achmad baru-baru ini ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dermaga bongkar di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Aceh.
Politisi PAN lainnya, Wa Ode Nurhayati, juga diganjar 6 tahun dalam kasus suap alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) 2011.
(Shinta Sinaga)