Liputan6.com, Jakarta Selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah dengan berdiam diri di masjid, atau yang biasa disebut iktikaf. Tak hanya laki-laki, perempuan juga memiliki hak untuk melaksanakan iktikaf. Hal ini diceritakan oleh Aisyah RA dalam hadis berikut:
وَعَنْهَا: - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beriktikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti iktikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW,” (HR Bukhari dan Muslim).
Advertisement
Dilansir dari Nu online, ada perbedaan pandangan beberapa ulama perihal izin suami untuk iktikaf. Ulama dari Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali menyatakan bahwa perempuan yang ibadah iktikaf tanpa izin suami, maka ibadahnya tidak sah. Hal ini disebabkan izin suami menjadi salah satu syarat iktikaf seorang istri.
Sementara Mahzab Maliki berpendapat bahwa izin suami bukan syarat dari iktikaf. Perempuan yang iktikaf tanpa izin suami, ibadahnya tetap sah walaupun berdosa.
إذن الزوج لزوجته: شرط عند الحنفية والشافعية والحنابلة، فلا يصح اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها، ولو كان اعتكافها منذوراً. ورأى المالكية أن اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها صحيح مع الإثم
Artinya, “Izin suami atas istrinya menjadi syarat (iktikaf) menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Iktikaf perempuan tidak sah tanpa izin suaminya meski itu adalah iktikaf nazar. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa iktikaf seorang perempuan tanpa izin suaminya tetap sah meski dosa,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 706)
Selain izin suami, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi pada hukum penghentian iktikaf oleh suami. Imam Malik berpendapat bahwa seorang suami tidak berhak untuk meminta istrinya menghentikan ibadah iktikaf apabila telah meminta izin sebelumnya. Sementara mayoritas ulama mengatakan bahwa seorang suami boleh menghentikan ibadah iktikaf istrinya meski telah izin sebelumnya. Sebagaimana yang tertulis dalam kutipan :
والجمهور على جواز منع زوجها لها من الاعتكاف بعد الإذن وقال مالك ليس له المنع بعد الإذن
Artinya, “Mayoritas ulama membolehkan seorang menahan istrinya untuk iktikaf meski sudah izin sebelumnya. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa seorang suami tidak berhak menahan istrinya untuk iktikaf setelah istrinya mengajukan izin sebelumnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).