Salat Id di Keraton Kasepuhan Cirebon Digelar 2 Kali, Ini Alasannya

Keraton Kasepuhan Cirebon kerap menggelar dua kali salat Id, mengapa?

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jun 2019, 12:00 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2019, 12:00 WIB
Menikmati Tradisi Lebaran di Keraton Kasepuhan Cirebon
Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat menikmati musik gamelan sekaten usai melaksanakan Salat Id di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Seluruh umat muslim merayakan hari kemenangan dengan melakukan Salat Id, termasuk di Cirebon. Namun, ada yang berbeda dalam pelaksanaan Lebaran di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Pada pelaksanaannya, keluarga dan abdi dalem Keraton Kasepuhan Cirebon melaksanakan salat id dua kali. Pertama di Langgar Agung, kedua di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Masing-masing pelaksanaan Salat Id tersebut memiliki cara tersendiri.

"Bedanya kalau di Langgar Agung usai salat Id dilanjutkan khotbah dengan menggunakan bahasa Arab di Masjid Agung Sang Cipta Rasa menggunakan bahasa Indonesia," kata Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat, Rabu (5/6/2019).

Dia menjelaskan, pelaksanaan salat Id sebanyak dua kali itu berawal dari anjuran pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru. Pemerintah mengimbau agar setiap khotbah menggunakan bahasa Indonesia.

Sementara, tradisi yang masih berjalan di Keraton Kasepuhan Cirebon saat itu adalah khotbah menggunakan bahasa Arab. Tak ingin menghilangkan tradisi, Arief memutuskan untuk tetap berkhotbah menggunakan Bahasa Arab.

"Namun pelaksanaannya dipindah ke dalam keraton. Kalau dulu, di Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, khotbahnya pakai bahasa Arab. Itu dilakukan setiap Idul Fitri, Idul Adha, dan salat Jumat," tutur dia.

Ada tradisi lain yang digelar keraton untuk merayakan hari kemenangan umat muslim ini. Alunan musik gamelan di area Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon menjadi tanda bahwa umat muslim Cirebon merayakan Lebaran.

Gamelan tersebut dinamakan sekaten yang selalu ditabuh setiap Idul Fitri dan Idul Adha. Gamelan berusia 600 tahun itu dibunyikan setelah Sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Mesjid Agung Sang Cipta Rasa.

Arief menuturkan, gamelan sekaten juga merupakan bagian dari media dakwa Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam di Cirebon.

Saat itu, kata dia, masyarakat yang melihat gamelan sekaten diharuskan membayar. Namun membayarnya dengan menyebutkan dua kalimat syahadat.

"Alat musik gamelan banyak, tapi di kami disesuaikan sesuai momen. Kalau momen pertunjukan biasa gamelan sekaten tidak kami keluarkan karena gamelan ini sangat sakral," ujar Arief.

Pada pelaksanaan Salat Id tahun ini, Keraton Kasepuhan mengeluarkan tongkat khotbah (Cis) milik Sunan Gunung Jati. Tongkat tersebut dikeluarkan Sultan Arief dan diserahkan kepada penghulu keraton.

Dia menuturkan, tongkat tersebut menjadi salah satu ciri khas Sunan Gunung Jati saat berkhotbah. Tongkat tersebut digunakan Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Cirebon dan sejumlah daerah yang lain.

"Menyebarkan Islam sebagai agama yang mengajarkan kedamaian. Sekarang tongkatnya hanya keluar satu tahun dua kali, yaitu Salat Idul Fitri dan Idul Adha saja," sebut Sultan Arief. (Panji Prayitno)

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya