Liputan6.com, Semarang - "Dih ya kayong puasa tahun kiye tah bakalen sepi nemen ya mbak. Biasa ana unggah-unggahan dong pan puasa, kiye laka. Pasar be sepi. (Yaaah puasa Ramadan tahun ini bakal sepi banget ya, Mbak. Biasa ada unggah-unggahan pas mau puasa ini enggak ada, pasar aja sepi)," kata Rasmah, salah satu pedagang pasar kepada Jahro, salah satu pembeli.
"Iya kiye, biasane seminggu pan puasa wis pada rame pada ider bagi-bagi panganan, kiye ora. Bada ndean sepi nyet-nyet. (Iya ini, biasanya seminggu menjelang puasa Ramadan sudah ramai orang-orang berbagi makanan, ini tidak. Lebaran mungkin nanti sangat sepi),” jawab Jahro.
Begitulah dialog yang wajar terjadi. Dialog diatas menggunakan dialek bahasa Jawa Ngapak Tegalan. Rasmah, warga Krandon, Kota Tegal, sehari-hari berdagang di Pasar Sumurpanggang, Kota Tegal. Beberapa bulan belakangan, ia selalu mengantar pesanan belanja ke rumah-rumah. Jauh sebelum wabah Covid-19 muncul.
Advertisement
Baca Juga
Pandemi Corona Covid-19 akhirnya meneguhkan gaya berdagang Rasmah. Karena juga sangat memengaruhi kehidupan masyarakat. Obrolan Rasmah dan pembelinya di teras rumah, menjadi salah satu bukti bahwa Corona Covid-19 pun mampu mengubah tradisi. Salah satunya tradisi unggah-unggahan menyambut Ramadan.
Di daerah kota dan kabupaten Tegal, ada tradisi menyambut Ramadan dengan “unggah-unggahan”. Bentuknya adalah saling berkirim dan berbagi bingkisan makanan yang sudah didoakan. Doa dalam tradisi Tegal sering pula disebut “dislameti”.
Dalam tradisi unggah-unggahan, yang paling repot biasanya kaum ibu. Jauh hari mereka berbelanja, kemudian sibuk memasak dan menempatkannya dalam sebuah wadah. Bersama keluarga warga berkeliling ke rumah-rumah tetangga, mereka saling bermaaf-maafan sebelum menjalankan ibadah puasa sekaligus bisa bertukar makanan.
Tak ada menu khusus yang harus disajikan. Tak ada sajian khas untuk menyambut Ramadan. Itulah sebabnya kaum ibu sangat repot karena ingin tampil beda dan menyajikan makanan terbaik.
Belakangan seiring gaya hidup praktis, makanan yang biasanya berupa nasi berkat atau nasi untuk kenduri meski tak ada lauk standar, kemudian berganti menjadi sajian lebih praktis. Mi instan, snack anak-anak, bahkan susu kalengan dan sirup.
“Dulu selalu berupa makanan matang. Hasil olahan tangan sendiri. Sekarang bisa berupa bahan pangan,” kata Jahro.
Gaya hidup praktis mampu mengubah tradisi menjadi lebih instan. Namun revolusi terjadi ketika pandemi Covid-19. Di satu sisi, masyarakat sudah mempersiapkan tradisi unggah-unggahan. Di sisi lain, tidak terdapat peluang melaksanakan karena ada phisychal distancing. Menghindari kerumunan, bahkan untuk bersalaman saja harus ditahan.
“Mudah-mudahan puasa ramadan tetap seperti biasa. Meski semua enggak seperti dulu, saya berharap tak ada yang hilang dalam unggah-unggahan. Takutnya kalau warga biasa komunikasi dengan hape trus tradisi ini hilang tahun depan,” kata Jahro.
Simak Video Pilihan Berikut
Tak Ada Khaul Kubur
Sementara itu di Sugihmanik, Kecamatan Tenggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, tiap menyambut Ramadan selalu ada tiga ribuan warga desa maupun yang sedang merantau berkumpul dan menyelenggarakan Khoul Kubur.
Tahun ini, kegiatan itu juga dihilangkan. Bahkan, mereka yang mudik dari perantauan justru diminta tinggal di rumah sampai dua pekan. Tak boleh ada interaksi dengan tetangga dan komunikasi dengan keluarganya juga harus berjarak.
Mujiyono, salah satu warga yang merantau ke Jawa timur menyebut bahwa mudik menyambut Ramadan hukumnya wajib bagi warga. Serbuan Covid-19 tentu saja menyebabkan penyesalan tak henti-henti.
"Harusnya menjelang puasa Ramadan. Tapi sampai sekarang belum jelas," kata Mujiyono.
Khoul kubur ini berbeda dengan tradisi nyadran di pedalaman. Sebab dalam khoul kubur selalu disertakan pengajian akbar dengan mendatangkan kiai top. Biasanya isi ceramah berkisar antara hubungan mendoakan arwah leluhur dengan kewajiban puasa dan persiapan manusia menyambut kematiannya.
"Setiap khoul ya pulang. Tapi, tahun ini tidak bisa karena Corona,” katanya.
Khoul kubur merupakan tradisi turun temurun yang diikuti warga yang tinggal di desa maupun yang merantau. Biasanya yang merantau pulang. Panitia sudah mendapat peringatan dari polisi agar khoul kubur tak digelar.
Epin, kepala dusun setempat menjelaskan, khoul merupakan bentuk kebersamaan dalam menjalankan tradisi mengingat keluarga yang meninggal. Semua warga kumpul.
Desa Sugihmanik merupakan satu dari 280 desa yang tersebar di 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kegiatan gotong royong dalam menggelar khoul kubur menjadi bentuk tolong menolong yang dilaksanakan dimana warga tidak membedakan yang kaya dan miskin.
"Semua bawa makanan. Ada yang bungkus telur ada yang bungkus lauknayam. Tapi saat makan belum tentu yang dimakan adalah barang yang dibawa. Ini bentuk kesetaraan," tambahnya
Advertisement
Apa Kabar Dugder?
Hal yang sama terjadi di daerah lain. Di kota Semarang tradisi dugder ditiadakan. Untuk dugder di Semarang sendiri tak begitu dirasa sebagai sebuah kehilangan bagi warganya, terutama para urban.
“Dugder itu lebih ke perayaan ekonomi saja. Pelaksanaan tradisi arak-arakan tak lebih dari karnaval saja. Roh dari tradisi lebih bersifat ekonomi daripada spiritual,” kata Siwi, salah satu warga.
Siwi juga menyebut tak ada kekhawatiran tradisi Dugder akan hilang karena memang sesungguhnya sudah hilang. Hanya ada pesta karnaval, saja.
Di Demak juga sama saja. Tradisi Megengan juga tak dilaksanakan tahun ini. Megengan adalah sebuah tradisi menyambut Ramadan. Megengan berarti 'menahan'. Megengan dimaknai sebagai simbol menahan hawa nafsu. Makanan yang tumpah ruah dan pertunjukan seni yang dihadirkan adalah simbol godaan duniawi.
Biasanya Megengan digelar di alun-alun di sekitar Masjid Agung Demak. Jalan raya disulap sebagai arena festival. Merujuk tradisi lama, dibuka oleh Bupati Demak dengan pemukulan bedug. Ini sekaligus tanda bahwa bulan Ramadan tinggal beberapa jam.
Bagi pengunjung, dihadirkan berbagai seni pertunjukan. Juga sajian kuliner berjejer. Tak cukup hanya alun-alun, tempat kemudian meluas hingga jalan-jalan raya di sekitar Masjid Agung Demak.
Khusus untuk kuliner, ada yang wajib dan selalu tersaji tiap tahun berupa pecel sayuran dengan keong sawah. Disantap dengan lontong yang dibungkus daun pisang.
Lalu bagaimana dengan Megengan tahun 2020? Tahun yang menjadi perubahan sosial secara merata dan struktural.
Ya. Tradisi ratusan tahun itu harus ditiadakan. Pemerintah Kabupaten Demak secara tegas menyatakan untuk tahun ini tidak menggelar kegiatan Megengan. Menurut HM Natsir, Bupati Demak, tahun ini memang ditiadakan.
"Pemkab Demak tidak menggelar Megengan menyambut Ramadan," kata HM Natsir, Rabu (15/4/2020).
Megengan dan Telanjur Utang
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Demak, Agus Kriyanto, menjelaskan lebih gamblang peniadaan itu untuk menghindari pengumpulan massa. Orang yang biasanya bertindak selaku panitia kegiatan juga menyatakan hal senada.
Tradisi yang tiba-tiba menghilang tentu menimbulkan kekecewaan. Serupa pacar yang tiba-tiba menghilang justru ketika sedang berada di puncak sayang.
Salah satunya adalah kaum pedagang. Ketiadaan Megengan tahun ini membuat para pedagang kecewa. Mereka banyak yang menjadikan Megengan sebagai salah satu sumber penghasilan untuk bekal Ramadan dan Lebaran.
Ahmad Zaeni, Ketua Paguyuban Pedagang Kaki Lima Adem Ayem Kabupaten Demak, menyebut bahwa akibat pandemi Corona Covid-19, nasib PKL seperti telur di ujung tanduk.
"Tetap taat peraturan. Tapi bingung karena tidak ada lagi sumber penghasilan. Modal sudah habis untuk biaya makan sehari-hari," kata Zaeni.
Kebingungan para PKL makin bertambah ketika pihak bank tetap menagih angsuran di tengah ekonomi rakyat kecil yang makin tercekik.
Lalu benarkah Corona Covid-19 akan melahirkan peradaban baru dan meniadakan tradisi lama? Apalagi momentum pandemi Corona ini benar-benar menjadi revolusi komunikasi masyarakat tradisional yang sebelumnya lebih suka kontak fisik.
Jawabannya baru akan terlihat setelah pandemi Corona Covid-19 teratasi.
Advertisement